Novanto “Berbulu Domba”

Setya Novanto, “bapa dewan” terhormat DPR RI, kini menjadi super news maker. Setiap media baik cetak maupun elektronik mengulas jejak dan sepak terjang Ketua DPR RI itu setelah menjadi “makelar” di PT. Freeport. Publik memang susah membayangkan seorang anggota dewan terhormat menjadi “makelar” proyek. Tetapi publik akan sangat gampang membayangkan seorang Setya Novanto menjadi makelar.

Publik sudah mengenal baik rekam jejak Novanto. Sejak zaman Orde Baru hingga pasca-Reformasi, muslihat dan bisnis kotor Novanto seringkali luput dari taring hukum. Donald Trump bahkan pernah menyebutnya sebagai “orang kuat dari Indonesia”. Tentu saja, Novanto adalah orang kuat. Ia menjadi kuat karena posisi kelas politik dan bisnis. Karena bisnis, ia menjadi elite politik. Setelah memegang kekuasaan politik, bisnisnya semakin menggeliat dan meluas. Karena kekuasaan politik itu, abuse of power Novanto semakin merangsek segala arah.

Maka munculah meme “papa minta saham” yang baru-baru menjadi tranding topic. Meme tersebur meramaikan segala bentuk media dan netizen. Tentu bukan karena publik sedang merayakannya, tetapi publik sendang mencerca pejabat negara yang berubah jadi makelar proyek. Maka publik semakin menyadari, khususnya masyarakat NTT Dapil II, bahwa dalam Pileg 2014, sosok yang dipilih bukan wakil rakyat, melainkan seorang makelar proyek dan seorang mafia. Sebagai makelar dan mafia, Novanto jelas-jelas tidak bisa mengelak status melekatnya itu, meskipun ia terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan RI.

Itulah Setya Novanto, “singa berbulu domba”. Dalam penampilannya yang kalem dan tenang, ia ternyata merendam bertumpuk-tumpuk gunung es persoalan mental koeli van de koeli sekaligus riwayat “nyamun” uang rakyat dan bisnis kotor demi istana ekonomi sendiri.

Lucunya, Novanto masih saja tidak bisa mengakui kesalahannya. Atau seandainya ia seorang negarawan, ia pasti sudah mau mengundurkan diri sebagai Ketua Pimpinan DPR RI. Itu jika moral dan etika melekat dalam prinsip dan sikap hidup seorang negarawan. Tetapi Novanti tidak melakukan itu. Justeru ia masih merasa tidak melakukan kesalahan. Ia merasa tidak melakukan kesalahan, meksipun jutaa rakyat Indonesia sedang mencercanya.

Boleh jadi, itulah problem psikologis yang mendiami seorang pejabat negara kita. Dengan menggunakan pendekatan pseudo-filosofis Donald Rumsfeld, ada tiga jenis problem “known knowns”. Pertama, known knows, yaitu saya tahu bahwa saya tahu. Kedua, know unknown, yaitu saya tahu bahwa saya tidak tahu. Ketiga, unknown unknow, yaitu saya tidak tahu bahwa saya tidak tahu.

Pada seorang Novanto, ia berada dalam tipikal unknown unknowns. Novanto tidak tahu bahwa ia tidak tahu; Ia tidak tahu bahwa dirinya sedang mengecewakan segenap rakyat Indonesia; ia tidak tahu bahwa ia sedang mempermalukan bangsa Indonesia di muka publik internasional; ia tidak tahu bahwa ia sedang sedang kehilangan power, sebab emosi tidak percaya sedang digalang oleh rekan-rekannya di DPR RI.

Boleh jadi, nilai-nilai etika dan moral sudah mandul dan tumpul dalam curriculum politik Novanto. Kejahatan ekonomi dan politiknya yang begitu lumrah membuat semua hal itu menjadi biasa. Hannah Arendt menyebebut tindak-tanduk penjabat negara seperti ini dengan banality of evil. Pada Novanto, banalitas itu begitu melekat dalam dirinya. Ia tidak merasakan nasib dan penderitaan rakyat. Yang ia pikirkan hanya melulu soal saham, jet pribadi, bermain golf, perusahaan tambang, dan lain-lain yang hedonis dan elitis.

Karena itulah, mosi tidak percaya kepada Novanto melambung. Mosi tidak percaya karena sebagai Ketua Pimpinan Dewan DPR RI, Novanto tidak menunjukan kebajikan ing ngarso sung tulada. Sebagai pemimpin Novanto justru menarik lembaga perwakilan rakyat ke jurang terjal politik legislasi. Karenanya, Novanto sedang berada di ujung tanduk. Ia harus berhadapan denga Mahkama Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI. Novanto, wakil rakyat yang tidak merakyat, harus diadili sebab ia melanggar etika wakil rayat. Tentu, masyarakat Indonesia berharap Setya Novanto dipecat dari parlemen RI.

Tetapi, rekan-rekan Novanto, anggota parlemen yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, tidak menghendaki “the Don” dipecat. Karenanya, KMP pun merapatkan barisan. Mereka bermaksud menggoyang power MKD sekaligus membuatnya “masuk angin”. Rekan-rekan Novanto pasang badan untuk membela Novanto. Seperti dalam kamus mafia, rekan tetaplah rekan; anggota geng mafia harus menjaga “the godfather” mafia.

Maka kasus Novanto sedang ditarik ulur. Jari-jari gurita mafianya sedang mengerang. Tujuannya merontokan gigi MKD dan menciutkan nyali hukum. Mulai dari pergantian anggota MKD sampai penyuapan dilakukan. Jelas saja, bagi para mafia, bahasa hukum dan politik adalah bahasa uang. Demokrasi bukan soal kepentingan umum, tetapi soal uang, kekayaan dan kekuasaan. Sebab, anggota dewan terhormat yang tergabung dalam mafia loyal Novanto lahir dari demokrasi uang, vox populi vox argenti.

Tetapi publik berharap banyak pada MKD untuk bekerja seturut nurani rakyat. Bahwa yang bersalah harus mendapat ganjaran. Novanto telah meruntuhkan martabat bangsa Indoensia dengan “kepit kepala harimau” atau mencatut nama presiden demi kepentingan pribadi dan mengemis saham untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, MKD harus memulihkan martabat bangsa Indonesia dengan menendang Novanto dari wakil rakyat, sekaligus mengembalikan keadadan lembaga perwakilan rakyat tersebut. Jika tidak, lembaga itu hanya merupakan kumpulan orang-orang hipokrit dan tidak punya integritas moral dan etika.

 

Ruteng, 2015
Alfred Tuname

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *