suluhnusa.com_Demokrasi bukanlah sebuah idealitas ringkas dalam pengaturan “ritual” politik.
Tetapi sebagai konsensus, kita telah mengamininya sebagai sistem politik. Demokrasi memungkinkan kesetaraan dan menjamin kebebasan individu untuk berekspresi.
Reformasi politik pun harus beralas pada horizon demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai “our last best hope” dan solusi bagi setiap persoalan. Tetapi ternyata belum ada bahasa dan frame yang memadai untuk memahami demokrasi secara menyeluruh. Setiap orang (dan mazhab) hendak memahami demokrasi dengan caranya masing-masing. Tetapi melting point demokrasi adalah “everything and everyone is included, respected, valued and entitled” (Jodi Dean, 2009). Bahwa, setiap orang harus didengar, dipandang dan diakui.
Seorang ahli bahasa Amerika, George Lakoff, pernah mengidentifikasi Barak Obama sebagai figur “new politics”, tepatnya “politics of unity, emphaty and understanding”. Pada dirinya, ada kesatuan, empati dan pemahaman akan berbagai kepentingan dan perbedaan. Politik memang seharusnya demikian, bukan hanya persoalan kekuasaan tetapi juga menerobos setiap sekat perbedaan. Politik seharusnya mengelola perbedaan demi kebaikan bersama. Hal itu ditandai dengan politik pengakuan (recognition) dan empati. Politik tidak bertujuan untuk memperuncing dan memproliferasi perbedaan dan kepentingan dalam pragmatisme kekuasaan, atau politik “neo-devide et impera”.
Kekuasaan akan memperburuk laju demokrasi manakala politik “neo-devide et impera” terus dipacu dalam Realpolitik dan diunggah ke ruang publik. Yang terjadi bukan lagi demokratisasi politik, melaikan de-demokratisasi politik. Langgam de-demokratisasi politik ditandai oleh pembedahan publik dalam katergori suku, ras, etnik, golongan dan agama untuk kalkulasi politik kekuasaan. Pembedahan itu dilakukan dengan dikotomisasi dan stratafikasi sosial-kultural. Logic politik seperti ini tidak hanya menghambat proses demokrasi, tetapi juga menyumbat akses pengetahuan politik publik. Politik yang komunikatif dan deliberatif semakin bisu dalam kotak-kotak sosial-politik. Kotak-kotak itu akan ditandai dengan sebaran identifikasi fanatis oleh setiap individu dalam ruang sosial. Dari sinilah gelombang rambat sentimen politik mencuat.
Demokrasi hanya menjadi lips service manakala tembok penyekat diletakan pada politik atas alas sentimen politik. Politik perlu dimengerti dalam horizon kesaling-samaan dalam perbedaan. Dalam kesaling-samaan itu, setiap orang melampaui kerangkeng dan batasan antropologis kultur dan aliran untuk masuk dalam komunitas yang egaliter. Politik yang demokratis memugkinkan komunitas politik yang terbuka. Di dalamnya, setiap orang merumuskan kepentingan dan tujuan bersama.
Politik Arkais
Dalam ruang publik, imajinasi kolektif publik telah disesaki oleh jargon-jargon politik. Politisi tidak lagi menawarkan pikiran-pikiran politik bernas, tetapi hanya slogan berat membelah publik dalam kepentingan-kepentingan politik. Persis, berat kotor dari setiap slogan itu adalah menjaring pengikut, loyalis fanatik untuk ikut merwat posisi, gengsi dan privilege politisi tersebut.
Imaginasi politik pun kian kedap dalam sekat-sekat fragmentaris. Sebab, ruang publik telah diisi oleh snobisme materi, kesalehan, budaya dan jargon komunal-primordial. Maka Realpolitik kita, mengutip Rocky Gerung, “hanya mengkuatkan dalam kesan, tetapi memburuk dalam pesan”. Pesan politik yang rasional dan cerdas luput dari nalar publik. Sebab, politisi-nya tidak pernah menitikan kecerdasan politik, selain tanggkas memperkaya diri dan licik melanggengkan kekuasaan.
Kekuasaan seharusnya imbang dengan proyek kesejahteraan. Negara yang kita idamkan adalah negara yang mengakui setiap komunitas komunitarian dengan distribusi kesejahteraan yang adil. Setiap komunitas berbasis etnik, ras, klan, suku, golongan dan agama diakui dalam marka kesejahteraan yang setara dan adil.
Oleh karena itu, seorang politisi atau pemimpin seharusnya juga negarawan yang mengakomodasi setiap kepentingan. Kaca mata pluralisme perlu dimengerti dalam konteks akses akan kesejahteraan, bukan dalam “modal” sosial kontestasi politik.
Sayangnya, realitas politik kita seringkali berjibaku pada gerakan politis berbasis fragmentasi dan dikotomi etnis dan golongan. Semua itu bergeliat dalam politik dukung-mendukung. Tentu, politik mengamini antagonism dalam tubuhya, tetapi itu tidak dalam pengertian pembelahan kelompok komunitas kultural untuk saling “serang”.
Nalar politik yang sektarian akan merubuhkan konsep demokrasi politik modern. Hal ini akan berujung pada “new-apharteid” politik di zaman modern. Politik pecah-belah seperti Kristen versus Kaltolik, Muslim versus Nasrani, kota versus desa, kedaluan Todo versus Cibal (di Manggarai), Sabu-Rote versus Timor (di Kupang) et cetera, adalah contoh kerangkeng “new apharteid” dalam politik lokal kita.
Publik seharusnya keluar dari nalar politik komunitarian-segmentaris seperti itu. Politik seharusnya berarti perjuangan bersama untuk kebaikan semua yang berbeda-beda. Politik bukan organisasi kekuatan kultural dan kelompok etnik yang organis dan homogen. Politik bukan pula “perang-tanding” atas panji kesakralan etnik atau simbol religius tertentu. Politik yang disebut Jacques Ranciere sebagai “archi-politics” ini akan menarik demokrasi politik kita pada politik pra-sejarah. Seakan-akan kita hidup dalam alam politik arkais, “siapa punya taring, dia punya dunia”.
Politisi selalu menarik publik dalam alam pikir politik arkais. Politisi selalu terjebak dalam pragmatisme politik dan menyekap politik sebagai urusan kekuasaan. Politisi seperti ini bukanlah seorang negarawan. Ia bukanlah seorang pemimpin yang menjadikan politik sebagai perjuangan untuk perubahan yang lebih baik.
Civic Virtue
Perjuangan untuk perubahan dan kebaikan bersama merupakan civic virtue. Pembangunan dan kesejahteraan berpangkal selalu berpangkal civic virtue. Jeffrey Sachs (2012) pernah menulis, “at the root of America’s economic crisis lies a moral crisis: the decline of civic virtue among America’s political and economic elite”. Kedangkalan civic virtue tersebut merupakan epicenter instabilitas ekonomi, turbulensi social dan political paralysis (kelumpuan politik). Politisi kita, elite politik dan elite ekonomi, telah kehilangan civic virtue tersebut. Elite politik dan elite ekonomi lebih mementikan kepentingan egotistikal mereka tinimbang kepentingan bersama. Laku politik dan ekonomi hanya untuk pelanggengan kekuasaan dan penggandaan keuntungan.
Merawat kepentingan bersama adalah melawan “narsisme” politik dan ekonomi para elite. Melawan “narsisme” politik dan ekonomi adalah merestorasi etos tanggung jawab sosial yang diinisiasi publik. Dalam pada itu, public secara pertisipatif terlibat dalam aksi sosial dan politik. Keterlibatan tersebut harus bersandar rasionalitas dan kesadaran akan kebaikan bersama, bukan atas fanatisme dan sentimen sektarian.
Kualitas publik ditakar dalam keikutsertaan dalam memperjuangkan kepentingan dan “kemaslahatan umum” (istilah Mohammad Hatta). kualitas itu ditandai dengan berpartisipasi mewujudkan cita-cita bersama, melampaui perbedaan kelas, suku, agama dan golongan.
Ruteng, 2015
Alfred Tuname