
WEEKLYLIN.NET – Duka Sandosi, Duka Kemanusiaan. Empat kata, dalam satu kalimat. Sejak duka itu terjadi 5 Maret saya menahan diri untuk tidak menulis berita apapun sampai tanggal 6 Maret pagi. Saya lebih memilih untuk membuat flyer seruan, Duka Sandosi, Duka Kemanusiaan–Adonara Berdarah Saudara, Sandosi Berjanji Kasih, #PRAYforSANDOSI, #SAVEADONARA di salah satu rumah keluarga Kwaelaga, 5 Maret tengah malam dengan memilih beberapa foto Altar Toleransi di Puncak Sandosi.
Pun sekira pkl. 08.00, 6 Maret setelah bertemu dengan Lewo Alap, Yohanes Beda Sara di Lango Bele, saya ikut mengantar jenasah salah satu korban ke Desa Tobitika, yang oleh orang lokal kerap menyebut dengan nama Lewokemie 3 atau Sandosi 3 atau Woka, – Woka Taga Witi, Ruha Beu Taran.
Saya mulai menulis judul Sandosi, Duka di Tanah Keramat – Bagian I, persis di samping David Bapa Tokan, keluarga Lamatokan di saat basah air mata ratusan orang menjemput jenasah orang tua Wilhelmus. Kubur pun sudah digali persis di depan rumah almarhum, RT 2, Dusun I, Desa Tobitika.
Sesungguhnya tidak sulit menulis berita terkait kejadian ini, tetapi saya menahan diri hanya satu alasan. Menulis tentang Sandosi dan atau kasus serupa di tanah Lamaholot butuh hati bersih dan kehati hatian. Bahkan membuka judulnya saja saya sungguh butuh pertimbangan moral jurnalis yang paling tidak ada rinai damai.
Reka Ahu Tange-Makan Daging Anjing Mentah
Masih keramatkah Sandosi ? Ya. Sampai kapanpun Ia tetap keramat. Sejak Sandosi belum terbentuk menjadi desa definitif tahun 1968, ritual kebiasaan reka ahu tange-makan daging dan minum darah anjing mentah sudah dilakukan secara turun temurun. Setiap dua puluh lima tahun sekali, ritual ini dilakukan.
Usai membangun rumah adat lewo ritual Gebek Lewo-tutup kampung dilakukan selama empat hari empat malam. Tidak ada lalulintas keluar masuk kampung Sandosi selama empat hari empat malam baik itu oleh orang Sandosi atau bukan orang Sandosi. Dihari keempat, sebanyak tujuh orang dari suku Inguliman Lamalewa, Lamawuran, Lamalewa, Lambelawa dan Kwaelaga duduk kunpul bersilah. Setiap orang dibagi tiga potong dari daging, hati dan jantung anjing mentah untuk disantap dan minum darah anjing mentah.
Gebek Lewo, reka ahu tange taan lewo gerara, sebab pada hari keempat ritual reka ahu tange ada titah, barang siapa lidah bercabang, mulut berbisa membuat rusak lewotanah dia pasti mati.
“Heku tou wewen raka rua, keradun wulin gole naan tupa lewotanah, Lewo gaaro kotem puna, tanah nenuro mehi tange,” ungkap Yohanes Beda Sara, kepada suluhnusa.com, 6 Maret 2020 usai penguburan jenasah enam orang pria Sandosi, korban duka kemanusiaan dua marga bersaudara. Kalimat itu menjadi sumpah secara adat, tidak boleh merusak desa atau kampung, ake taan lewo data, ake taan tanah laga.
Ritual makan daging mentah berikut sumpah adat bersama ini, disaksikan oleh semua orang Sandosi, laki perempuan, duda dan janda, remaja dan orang tua. Dan janji ini bukan hanya untuk ketujuh orang ini bersama keturunannya tetapi untuk semua orang Sandosi. Ketujuh orang ini bersama keturunannya diwariskan oleh leluhur untuk menjaga lewo agar jangan sampai rusak.
Jauh hari sebelumnya dan dalam berbagai kesempatan Yohanes Beda Sara sebagai Belen Lewo, Lewotanah Alape, bersama Beatus Beda Nama Kepala Desa Sandosi sudah menghimbau, menegaskan bahkan memohon kepada kedua bersaudara agar tidak bertikai. Semua daya dan upaya tak dihiraukan hingga ada titah Duli Lali Wule Wata, Ake Maan Lewo Data. Jika ingin perselisihan tempatnya di Wule Wata, Bukan di Kampung Sandosi. Karena di dalam kampung Sandosi bukan tempat untuk perselisihan dan bertikai. Lewo ni, lewo gerara.
Dan selisih dua bersaudara merebut tanah garapan di Wule Wata adalah duka kemanusiaan.
Mereka Dikuburkan Bukan Sebagai Musuh
Darah yang tumpah di tanah garapan Wule Wata, itu adalah darah saudara. Enam orang bersaudara, Yakobus Masan Sanga, 70 tahun bersama adik kandung Yosep Ola Tokan, 56 tahun. Moses Kopong Keda, 80 tahun serahim dengan Daniel Seran Raden, 56 tahun. Dan ibu dari Moses Kopong Keda dan Daniel Seran Raden dan Ibu salah seorang keluarga yang satu rumpun dengan Yoseph Helu dan Wilhelmus Kewasa Ola adalah kakak beradik kandung. Dari satu rahim.
“Kalau raa ata nem ne amalake yang radiwe maka raa satu rumpun,” kisah Yoseph Bara Lamawuran.
Pastor paroki Witihama, Rm. Amatus Witak, PR, dalam misa penguburan di masing masing rumah kedua keluarga menyebutkan, mari kita semua berdoa untuk keselamatan jiwa kenam saudara kita.

Mengutip Sabda Tuhan, Romo Ama menyeruhkan dalam perayaan itu, sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu. Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara.
Mereka telah dikuburkan sebagai saudara, 6 Maret 2020. Umat Stasi St. Darius Lewokemie, St. Abas Woka dan Sta. Maria Reinha Rosari Regong bersatu baur bersama umat dari paroki witihama lainnya mengikuti penguburan itu dengan derai air mata dan duka. Secara berurutan mereka dikuburkan. Sekira jam 2 siang, almarhum orang tua Wilhelmus di kuburkan di depan kediamannya,di Desa Tobitika. Lalu sekira jam 3.15 wita misa penguburan alamarhum Yoseph Hule di dusun IV Lewokemie, Desa Sandosi
Dan sekira jam 4.20 misa penguburan empat orang bersaudara lainnya di pekuburan keluarga Dusun II Lewoengat, Desa Sandosi.
Usai penguburan, lantunan lagu ina e, ina maria, go mayan pata, kaan nani lou, peten mo anam goe, go susa tudak pi tanah lolon.. ina e, ina maria, ina senaren, go toe loran, ina go soba pole, kaan dore laran koon mo ina. Teti woka kalvari lolon e, susah oh ina.
Penggalan lagu ciptaan Almarhum Thomas T. Kwaelaga, putra Sandosi yang menciptakan ratusan lagu Maria Bahasa lamaholot ini dilantunkan dengan syaduh sedih pada sembahyang malam pertama, kedua dan ketiga untuk saudara sauaranya yang meninggal. Bahkan Rm. Ancis Kwaelaga, PR pun dengan tegar teguh berdiri disamping empat jenasah bapaknya saat mendampingi Rm. Amatus memimpin misa penguburan.
Sandosi, Munak Lewu Bangkit di Timu Lera matan
Menyebut sandosi maka ada sekian banyak sebutan lain yang mengikutinya. Munak Lewu, Kampung kera, sebab Sandosi terletak di lereng, puncak sandosi yang banyak dihuni oleh kera pada zaman dahulu sampai dengan saat ini. Khalayak diluar Sandosi kerap mamandang sebelah mata oleh sebab mereka berada di pinggir, sulit terjangkau, udik, Lewo Nerine, Kampung pingiran.
Pun dengan sebutan Orang Sandosi bukan hanya untuk orang yang berdomisili di Lewokemie I atau Lewoengat atau Sandosi I dan Lewokemie II atau Sandosi II yang saat ini terbentuk menjadi Desa Sandosi, tetapi juga meliputi Sandosi III atau Woka yang saat ini menjadi Desa Tobitika juga termasuk Sandosi IV atau Regong yang saat ini menjadi Desa Baobage. Apakah orang Sandosi tersinggung dengan sebutan ini ? Tidak.
Mereka menjadikan itu sebagai nutrisi psikologi untuk bangkit. Maka Thomas Sili Mado pendiri SMP Palu Godam, bersama beberapa kepala desa sebelumnya menyebut Sandosi-SANggup menDObrak situSI. Dan Kepala Desa Beatus Beda Nama kerap menyebut Sandosi=Saya ANak InDOneSIa, sanggup mendobrak situasi.
“Ya, dan situasi hari ini Sandosi berduka. Sandosi terluka. Ada duka. Ada air mata. Sandosi akan mampu melewati duka dan nestapa ini karena semua orang Sandosi selalu bersama sama melewati situasi yang paling sulit sekalipun. Tite ni ata marinek Lewo Nerine. Tite ni ata marinek tite munak lewu. dan karena itu saya yakin dan percaya, tite-kita bisa bangkit bersama untuk mendobrak situasi hari ini karena tite Sandosi, Tite ata-orang Indonesia yang sanggup mendobrak situasi yang paling sulit sekalipun,” ungkap Yoseph Bara Tupen dan Beatus Beda Nama kepada suluhnusa.com.

Bahkan dua bersaudara yang bertikai demi tanah garapan wule wata ini, sudah iklas keenam saudara mereka dipanggil Tuhan dengan cara demikian. Lalu apakah ada jalan damai ? atau hukum positip yang akan ditempuh ?
Seraya berdoa ikuti lirik lagu Blakalei, Group Band local asal Sandosi, alap teti kowa lolon, liko kame maan dike dike, nimun lali tanah langun, lapak kame maan sare sare, ole mean teti hau ole mean te belolo, wura wadan lali haka, haka naan hurun teda, brero redon te geridin, butak bisak uma lango, tanah data ekan laga, hau hewa ribu ratu.
Sandosi, Teti Timu Lera Matan, Gerbang Terbit Mentari
Sandro Wangak- bersambung

Di bukit ini, orang asing mana yang datang lalu tetap menjadi asing ? Sudah berapa kali aksara yang terlontarkan tentang nyamannya hidup di sini ? Jika yang asing saja menyatakan diri sebagai keluarga, lantas mengapa kita yang sedari lahir sudah bersama, tidak mengatakan demikian ? Duka dari mata angin mana yang harus kita tangisi ? Bilur luka sedalam apalagi yang harus kita gali ?
Mengapa ? Mengapa bukan peluk yang kita pilih ? Apakah darahmu tak semerah darahku ? Kalimat setajam apalagi yang harus kita tikam hingga yang damai melepaskan diri dari tanah kita dihidupkan ?
Saya ingat beberapa bulan yang lalu, sudah terikrar janji bahwa di bukit inilah toleransi terpatri.
Dari lahir sampai sebesar ini, terlalu nyaman tanahmu ku tempati. Terlalu teduh untuk berpindah. Gravitasi rindu terlalu kuat membuatku ingin kembali lagi dan lagi.
Dengan apa ku bersihkan darahmu dari luka kemanusiaan, Bumi ?
Bumi, jangan menyerah memaafkan. Jangan menyerah menghidupi. Jangan menyerah mengasihi.
Mencintaimu tak akan habis, Sandosiku. Bahkan hanya sekadar pudar pun tidak.
Saya pernah mengusungkan dada, menepuknya dengan keras sembari berkata : ” Saya bangga. Bukit ini adalah tanah ketubanku yang damai. ”
Kembalilah !!
Kembalilah damai !!
Sandosiku tak ingin bergelimang air mata duka !!
Ellen Ellena
Kupang, 05 Maret 2020

Super sekali ka sandro..
Tapi masih banyak lagi kesalahan dalam penulisannya.. Tolong di lihat baik2 ka sandro..
#prayforSandosi #saveAdonara
Dan saya pun menangis,. Terimakasih bnyak buat tulisan ini.sangat menenangkan.Semoga lebih terperinci lagi yah kak.