suluhnusa.com – Kelompok Mahasiswa yang menamakan diri ORDA Titehena di Malang diminta untuk mementasan tarian Hedung dari Lamaholot di hadapan Yudi Latif, saat Kuliah umum tentang Pancasila di Kampus Universitas Kanjuruan Malang.
Mereka menari penuh penghayatan. Hedung adalah uangkapan dari Nedung yang artinya menang, bagi Flores Timur, Lembata, Solor dan Alor atas kuasa kolonial dengan politik adu domba sering mendatangkan pertikaian yang berujung pada perang tanding antar desa (Lewo) atau antar suku. Bagi yang menang perang akan kembali dengan membawa kepala lawannya atau barang lain sambil menari.
Ungkapan kemenangan para pejuangnya akan dijemput oleh penduduk kampung dengan bunyi-bunyian dengan taria-tarian penjemputan. Hedung merupakan tarian yang tersebar hampir disetiap desa seluruh wilayah Flores Timur, Lembata, Alor (Lamaholot).
Nama yang sama tapi memiliki perbedaan baik ritme musik, pola gerak kaki dan penggunaan kostum dan aksesorisnya.
Mereka menari dengan kostum Sarung Tenun Asli (Nowing/Senai/Krio) bagi Laki-laki, dan Perempuan Kewatek berikut Geba/Selendang, parang, lembing, busur panah. Dan ada Kenobo dari daun lontar/kelapa anyaman dan nidok.
Hal ini disampaikan oleh Ketua ORDA TITEHENA Malang, Kamarudin Ola Songan, saat menghubungi suluhnusa.com, 22 November 2017.
Adalah Maria Generasi Kerans, Maria Imakulata Wadon, Maria Stefani Kula Piran, Angela Paola N. Doren penari perempuan saat pementasan di hadapan sekitar 800 peserta yang hadir. Sedangkan penari pria adalah Kanisius Soni Baba, Hermilianus Dibala, Marianus Doni Molan, Emilianus Ama Makin, Arnoldus Reno Makin, Adrianus Adrianto Palihama.
Menurut Ola Songan, Pancasila secara resmi dinyatakan lahir 1 Juni 1945. Pun Presiden Jokowi menetapkan Hari Lahir Pancasila sebagai hari libur nasional. Pancasila memang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Karena Pancasila itulah Indonesia sampai detik ini masih berdiri. Bung Karno, dengan Pancasila yang digali dari nilai-nilai bangsa Indonesia, berhasil melahirkan ideologi luar biasa yang tak lekang dari zaman – abadi. Bung Karno memiliki visi yang tak terbantahkan dari pengalaman berproses dalam diri Bung Karno.
Pancasila. Satu, ke-Tuhan-an yang maha esa. Dua, kemanusiaan yang adil dan beradab. Tiga, persatuan Indonesia. Empat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lima, keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
Mari kita telaah 7 pondasi alasan Bung Karno menciptakan Pancasila dan kehebatan Pancasila yang digali oleh Bung Karno dengan dengan hati gembira ria riang senang bahagia sambil merayakan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dan bersuka-suka jingkrak-jingkrak koprol menari menyanyi pesta-pora suka-cita dansa karaoke guling-guling menikmati tambahan hari libur selamanya senantiasa.
Pertama, Bung Karno menyatukan seluruh potensi bangsa-bangsa di Hindia Belanda – dengan menjadi Indonesia – dengan melakukan down-graded, penurunan status bangsa (nation) seperti bangsa Jawa, Sunda, Batak, Minang, Banjar, Moi, Ayamaru, Aceh, Bengkulu, Lampung, Ambon, Rote, Bali, Osing, Palembang, Melayu, Manado, Dayak, Sasak, dan ratusan nation lainnya hanya menjadi suku-bangsa alias sub etnik bangsa (baru) yang diciptakan oleh Bung Karno: bangsa besar Indonesia.
Dengan cara menghapus dan menurunkan nation Jawa, Ambon, maka potensi pecah-belah sebagai a new-born nation Indonesia menjadi lebih kecil – itulah penumpasan pemberontakan di Indonesia seperti Permesta dan DI TII dengan mudah dapat dipatahkan karena rasa nasionalisme baru sebagai bangsa (nation) baru Indonesia lahir.
Kedua, Bung Karno mengakomodasi seluruh isme, ideologi, agama, kepercayaan – dengan menyampingkan konflik eksistensi tuhan dalam polemik atheisme dan theism karena sesungguhnya atheism dan theism adalah hanya sekedar isme yang paradoksikal dan tak perlu diperdebatkan – yang diyakini oleh bangsa-bangsa (atau suku-suku bangsa) yang terdiri dari ratusan keyakinan dan kepercayaan baik dalam bentuk agama maupun kepercayaan tradisional.
Oleh sebab itu, maka kepercayaan tradisonal yang menjadi peletak dasar penganutan agama-agama impor seperti Hindu, Buddha, Islam, Konghucu, Kristen, Katholik, tetap hidup seperti kepercayaan bangsa Sunda asli di Badui.
Dengan kecerdasan historis dan spiritual, Bung Karno memilih kata absurd akomodatif yang sejuk: ke-Tuhan-an yang maha esa, yang diterjemahkan sebagai suatu keyakinan terhadap eksistensi tuhan yang satu – semua manusia secara alamiah meyakini tuhan tidak banyak: satu, yakni satu tuhan, bukan meyakini tuhan ini tuhan itu. Believe in (One) God. Ketuhanan yang maha esa.
Ketiga, dari ratusan nations (bangsa-bangsa) yang telah di-down-graded oleh Bung Karno menjadi suku-suku bangsa itu, tentu kelanjutannya adalah menyatukan dengan satu kalimat ajaib: Persatuan Indonesia. Bung Karno selalu menyebut sejarah dan nasib dijajah Belanda selama 350 tahun sebagai sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan. Ada nasib bersama, we are in the same boat, sehingga bangsa-bangsa Indonesia merasa sebagai satu kesatuan. Beruntung Sumpah Pemuda 1928 meletakkan dasar bangsa, bahasa, dan tanah air Indonesia.
Keempat, di mata Bung Karno penyatuan bangsa-bangsa tersebut hanya akan mungkin dilakukan jika dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, spiritual, kesejarahan, dan politik yang manusiawi yakni semua bangsa-bangsa anggota bangsa besar Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama, setara dan sederajat dalam peradaban yang maju dan berkembang. Dan, itu hanya ada dalam kemanusiaan – humanity.Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kelima, Bung Karno memandang bangsa dan negara besar Indonesia yang berakar pada demokrasi gotong-royong sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur tradisional dan akulturasi kepercayaan dan agama-agama impor (asal luar Indonesia). Potret kehidupan sejarah harmoni dalam bentuk gotong-royong dalam memecahkan masalah di desa-desa adat dengan kearifan dan kebajikan (hikmah) menjadi gambaran besar nilai luhur musyawarah dalam perwakilan. Bung Karno mengambilnya dan menjadikannya nilai demokrasi khas Indonesia yakni: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Keenam, Bung Karno pun melihat bahwa bangsa yang besar harus memiliki kepedulian akan kesejahteraan dan negara Indonesia harus memilki cita-cita sebagai negara sosial yang meladeni dan melayani rakyat sesuai dengan porsi dan kemampuan serta partisipasi warganya dilindungi dalam kemanusiaan yang berkeadilan. Maka, lahirlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketujuh, visi Bung Karno yang melahirkan pancasila jauh ke depan. Bung Karno yang berdarah campuran Bali-Jawa dengan dasar keyakinan dan kepercayaan tradisional mengalir dalam diri Bung Karno plus keyakinan agama Hindu-Buddha dan Islam. Percampuran bangsa dan agama yang memengaruhi cara pandang Bung Karno yang telah melihat potensi konflik jika agama dijadikan sebagai dasar negara mengingat Indonesia adalah negara dengan bangsa dan bahasa dan keyakinan yang terbuka, egaliter, dan menghargai koeksistensi.
Untuk itu dengan cerdasnya Bung Karno mengakomodasi eksistensi Tuhan dalam dasar negara Pancasila untuk meredam niatan pendirian dan pengubahan Pancasila – terbukti banyak pemberontakan seperti DI TII, NII, Permesta digagalkan karena pondasi Pancasila adalah yang paling tepat sebagai dasar negara. Dan … itu terbukti sampai sekarang.
Dalam perkembangannya, ketujuh alasan penciptaan Pancasila sebagai dasar negara itu berkembang menjadikan Pancasila sebagai ideologi khas Bung Karno yang bersifat terbuka. Dalam tatanan berbangsa dan bernegara Indonesia, segala kepentingan warga negara secara mendasar telah terpenuhi. Hak beribadah, kepercayaan kepada tuhan, kemanusian, ke-Indonesia-an, demokrasi dan kesejehteraan sosial diakomodasikan dalam Pancasila. Bahkan sebagai ideologi terbuka Pancasila mampu menjawab hubungan antar manusia secara universal. Luar biasa Bung Karno.
Sangat tepat Presiden Jokowi ketika Pancasila mampu menjawab persoalan ideologi bernegara mampu membuat ketentraman dan stabilitas kehidupan bangsa Indonesia yang kuat, dan tantangan separatisme dan isme yang kebablasan, maka penetapan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai hari libur nasional.(mr.dont/sandrowangak)