WEEKLYLNE.NET – Sidang Komite Pekerja Migran PBB dengan agenda review atas laporan inisial pemerintah Indonesia terhadap implementasi pekerja migran telah berakhir 6 September 2017 lalu. Salah satu delegasi Indonesia berasal dari Kabuaten Lembata, NTT, saat kembali ke Lembata, menggelar jumpa pers bersama pemerintah Kabupaten Lembata sealigus menyampaikan pesan Komite Pekerja Migran PBB yang digelar di Genewa, Swiss.
Saverrapall Sakeng Konvardus, dari Yayasan Kesehatan Untuk Semua (YKS) yang menjadi salah satu delegasi dalam sidang Komite tersebut dalam saat jumpa pers, 24 September 2017 menjelaskan, secara keseluruhan Komite mengajukan sebanyak 88 pertanyaan kepada pemerintah Indonesia. Dari 88 pertanyaan yang disodorkan, delegasi Indonesia lalu menyimpulkan menjadi 13 isu krusial yang menjadi pesan khusus kepada pemerintah Indonesia.
Ketigabelas isu krusial tersebut adalah, revisi UU Nomor 39 tahun 2004 harus berbasis pada prinsip prinsip konvensi dan dengan membatasi peran agen perekrutan, moratorium pengiriman PRT migran ke 19 negara harus dilakukan dengan pengawasan dan dilihat dampak positif dan negatifnya, kebijakan situasi dan pengelolaan detention center di Indonesia yang overcrowding, alternative bagi penanganan orang yang masuk ke Indonesia tanpa tujua mencari suaka, ratifikasi konvensi ILO ke 181 tentang private service dan konvensi mengenai refuge, situasi buruh migran yang perempuan yang mengalami kekerasan seksual, MoU dengan 13 negara yang belum sesua dengan Konvensi harus segera di revisi.
Selain itu, Komite pekerja Migran PBB juga merekomendasikan agar intervensi pemerintah atas atas lebih dari 200 pekerja migran yang dilaporkan sedang menghadapi hukuman mati di luar negeri, pengelolaan remitance dari luar negeri untuk keluarga pekerja migran, pembangunan daerah dan nasional, sertifikat kelahiran anak anak pekerja migran yang lahir diluar negeri, kebijakan dan program bagi anak anak pekerja migran yang ditinggalkan, mekanisme untuk mencegah perdagangan orang dan kontribusi inisiatif lokal pada perlindungan pekerja migran.
Untuk implmenetasi Perda Lembata no 20 Tahun 2015 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Lembata, disosialisasikan Kor Sakeng dalam privat meeting dengan Komite Migrant Workers PBB di Kantor Wilzon Jenewa-Swizterland (5/9). Demikian penjelasan Kor. Sakeng dalam jumpah pers bersama Pemda Lembata di pondok Nugu Terpadu, Muruona-Lembata (24/9).
Yayasan Kesehatan untuk Semua yang disingkat YKS, merupakan sebuah lembaga non profit yang sejak tahun 2014 bekerja di Lembata dengan locus program “Advokasi Kebijakan Perlindungan Buruh Migrant baik di level desa maupun di level pemerintah daerah. Alhasil, demikian Sakeng, hingga saat ini kita sudah mendapatkan beberapa produk sebagai indikator capai program yakni, Perda no 20 Tahun 2015, Perbup no 3 Tahun 2017, 6 perdes perlindungan buruh migran di desa Tagawiti, Beutaran, Dulitukan (Ile Ape), Lamawolo, Lamatokan dan Bao Lali Duli (Ile Ape Timur) serta penyelenggaraan Desa peduli buruh migran (Desbumi) di 6 desa. beber Sakeng.
Perda 20/2015 dan aturan turunannya, lanjut koordinator ALDIRAS ini, dari sisi materi perda, porsi rujukan ke Konvensi Internasional 60 % dan rujukan ke regulasi Nasional 40 %. Mengapa? Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migrant dan diundangkan dengan UU No 6 Tahun 2012, sehingga tidak salah jika spirit dari perda 20/2015 ini lebih mengedepankan spirit Konvensi jika dibandingkan dengan UU No 39 Tahun 2004. pungkas Kor.
Lebih lanjut mantan relawan Flores Volunteers for Hummanity of Timor Leste ini mengungkapkan bahwa, Perda 20/2015 dan aturan turunannya adalah hasil kolaborasi dari 3 pihak yakni, CSO/YKS, DPRD dan Pemda Lembata. Ini membuktikan bahwa, Lembata telah menumbuhkan partisipasi sinergis dalam meletakan dasar pijak perlindungan buruh migran atau TKI asal Lembata, mulai dari level hulu yakni kebijakan daerah.
Dari hasil kajian dan penilaian group Migrant CARE dan berbagai pihak termasuk Direktorat Hukum dan HAM Kementrian Luar Negeri, lanjut Sakeng, Perda 20/2015 merupakan salah satu indikator capaian dari implementasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migrant dan Keluarganya, sehingga berhasil merangsek masuk dalam Laporan Pemerintah Indonesia yang disampaikan ke Komite Migrant Workers PBB. Tidak heran jika hasil capaian ini yang mengantarkan Kor. Sakeng (Saverrapall Sakeng Corvandus) menuju ruang sidang Sesi 27 Komite Migrant Workers PBB di Jenewa-Swizterland (4-6/9).
Di hadapan insan pers Lembata dan Wakil Bupati Dr. Thomas Ola Langoday, Kor. Sakeng menceriterakan secara detail proses sidang bahwa, Sidang Sesi 27 MW PBB terbagi dalam beberapa sesi dan terkhusus dengan Indonesia terbagi dalam 4 sesi. Sesi 1 di hari pertama (14/9), Komite dengan CSO dari Indonesia, Mexico dan Equador. Di sesi ini, masing-masing CSO menyampaikan laporannya kepada Komite MW PBB terkait implementasi Konvensi dalam tata kelola perlindungan pekerja migran. Sesi ke dua (5/9) privat meeting (tertutup) dengan group Migrant CARE dilanjutkan dengan sesi ke tiga yakni Komite mendengarkan laporan dari pemerintah Indonesia dimana CSO dari Indonesia yakni group Migrant CARE hadir dalam ruang sidang dan menjadi pemantau. Kemudian sesi 4 (6/9) sesi lanjutan dengan pemerintah Indonesia (29 orang) dan group Migrant CARE tetap menjadi pemantau.
Group Migrant CARE yang semuanya adalah mitra program dengan Migrant CARE, diikuti 7 orang utusan yakni; Anis Hidayah (Migrant CARE Jakarta, Melani Subono (Duta Anti Perbudakan), Alex Oong (Migrant CARE Malaysia), Mulyadi (SARI Solo), Saverrapall Corvandus (YKS Lembata), Miftahul Munir (Kepala Desa Dukudempok Jember) dan Siti Badriyah (mantan buruh migrant).
Perda 20/2015 tentang Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia asal Lembata yang merupakan hasil capaian implementasi Konvensi, demikian Kor Sakeng, dipresentasikannya dalam privat meeting dengan Komite Migrant Workers PBB.
Point-poin penting dalam perda 20/2015 yang dipaparkan Kor Sakeng di privat meeting itu meliputi pola migrasi kultural (mengikuti dan/atau difasilitasi keluarga) dan migrasi kontraktual yang difasilitasi agency, hak-hak buruh migran berbasis HAM Rumah singgah dan sister city antara kabupaten Lembata dan kabupaten Nunukan (wilayah transit), Penyelenggaraan Balai Latihan Kerja (BLK) oleh pemerintah daerah sebagai bentuk peningkatan kapasitas calon TKI, pelayanan dan pengawasan oleh pemerintah daerah, Sanksi-sanksi tegas kepada Agency yang melanggar atau terlibat dalam Trafficking baik secara langsung maupun konspiratif, Penyelenggaraan Desa TKI atau Desa Peduli Buruh Migran (Desbumi), Mekanisme perlindungan yang dimulai dari desa melalui Desbumi dan pelayanan satu pintu di tingkat kabupaten, Tata kelola remitansi berbasis unit produksi dengan mendapat suporting dari desa yang bersumber dari dana desa atau dari Pemda yang bersumber APBD atau sinergi anggaran dari pihak kementrian, Intervensi anggaran yang bersumber dari dana desa dan APBD untuk aspek perlindungan terhadap buruh migran dan keluarganya, Mendirikan kantor imigrasi untuk meminimalisir cost public dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
Presentasi substansi Perda 20 tahun 2015 yang ditranslate Yuyun Wahyuningrum dari HRWG ini, lanjut Sakeng, Komite Migrant Workers mengapresiasi insiatif masyarakat sipil Lembata, DPRD dan Pemda Lembata yang melahirkan regulasi dengan berbasis pada semangat Konvensi. “Komite berharap, regulasi nasional apa pun bentuknya, hendaknya mengikuti semangat ini,” papar Kor Sakeng.
Wakil Bupati Lembata, Dr. Thomas Ola Langoday, kepada insan pers Lembata mengatakan bahwa pemda Lembata sangat mengapresiasi kerja keras YKS yang berhasil menumbuhkan kolaborasi sinergis hingga terlahirnya perda 20/2015, bahkan membawa Lembata ini dalam sidang Komite Migrant Workers PBB di Jenewa – Swiss dan didengarkan dunia. Apresiasi yang sama ini kepada Migrant CARE Jakarta melalui Anis Hidayah yang sudah memilih Yayasan Kesehatan untuk Semua (YKS) sebagai mitra program hingga membawa perubahan banyak hal dalam konteks perlindungan buruh migran dan keluarganya melalui skema Desbumi.
“Pemda Lembata akan senantiasa bekerjasama dengan NGO yang ada di Lembata sehingga capaian yang kita dapatkan menjadi bukti kerja sama semua kita. Karena itu, bagi NGO di Lembata dan juga insan pers, jangan sungkan-sungkan memberikan pikiran kreatif dan cerdas demi kemajuan Lembata dalam semangat Taan Tou,” tandas Wabup Thomas Ola Langoday.
[sandrowangak]