WEEKLYLNE.NET – Setiap pagi sejak pukul 07.00 Wita, kecuali hari Minggu. Mereka sudah tiba di lokasi. Mereka empat orang. ibu ibu yang saban hari memasak garam secara tradisional. Keseharian mereka adalah petani kebun, sayangnya faktor cuaca tidak mendukung dan penghasilan menurun, maka mereka beralih menjadi petani garam tradisional.
Mereka adalah Maria Tukan, Rosa Piran, Maria Badin dan mama Katarina. Mereka rata rata berumur separuh baya. Saban pagi, mereka pergi ke pinggir pantai dan memasak garam secara tradisional jelang matahari terbenam.
Tugas Mama Maria Tukan mengumpulkan kayu. Sementara Mama katarina, Rosa Piran dan Maria Badin mengumpulkan tanah yang digunakan untuk menyaring air laut. Keempat ibu yang suaminya adalah petani ini nampak kompak dan ceria menjalankan pekerjaan mereka.
Ada tiga tempat yang dibuat pada tiga sudut berbeda untuk menyimpan tanah (tanah pesisir bukan pasir) pada wadah yang disiapkan. Wadah itu terbuat dari anyaman daun lontar dan alasnya dibuat empat tiang. Bagian bawahnya berbentuk keruncut. Wadah tersebut diisi dengan tanah hingga rata. Air laut yang dicedok ditungkan di wadah ini.
Dibagian bawah diletahkan ember untuk menampung resapan air pada wadah di atasnya. Setelah air laut tersaring, dipindahkan pada tempat berikutnya yang juga berjumlah tiga. Wadah ini terbuat dari seng polos berbentuk persegi.
Dalam wadah ini akan diisi dengan air resapan pada wadah pertama tadi, dan dipanaskan dengan api. Kurang lebih tiga jam lamanya, menunggu hingga garam terbentuk. Setelah garam terbentuk (airnya mengering) dicedok ke dalam satu wadah lagi tidak jauh dari tungku ini, hingga mengering. Pada bagian ini, garam sudah bisa dinikmati.
Mama Rosa menuturkan, setiap hari, garam yang dihasilkan maksimal dua karung ukuran 20kg. Garam dijual di Pasar Inpres Larantuka dengan harga 10kg Rp. 150.000.
“Kalau diantara kami berempat tidak ada halangan misalnya sakit atau urusan keluarga, setiap hari garam yang kami hasilkan maksimal dua karung,ukurang 20kg. Garam kemudian dijual di Pasar Inpres Larantuka dengan harga Rp.150.000/ 1 karung”ungkap Rosa Piran.
“Sehingga dalam satu hari, pendapatan kami Rp. 300.000. Hasil yang ada, kami bagi berempat dan sedikit kami sisihkan untuk kebutuhan kami setiap hari,”tutur mama Katarina menambahkan.
Garam yang sudah dijual, oleh pembeli pertama dapat menjualnya kembali dengan ukuran satu rantang seharga Rp. 5000. Namun jika ada yang membeli langsung di lokasi, dilayani dan takarannya lebih banyak dari biasannya. Garamnya asli, bersih dan putih.
Maria Badin mengatakan, hasil penjualan garam, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga untuk membiayai pendidikan anak anak mereka yang saat ini duduk di bangku SMP. “Rejeki yang kami dapat dari usaha ini untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga untuk membiayai pendidikan anak anak kami yang saat ini duduk di bangku SD dan SMP.
“Karena keterbatasan biaya, anak anak kami sebelumnya tidak sempat kuliah. Kami berharap dengan menekuni usaha ini, ke depannya bisa kami manfaatkan untuk membiayai anak dan cucu kami yang saat ini di bangku SD, SMP,” kata Maria.
Ada secuil harapan untuk pemerintah daerah, jika ada pos anggaran untuk mendukung usaha usaha swadaya masyarakat seperti ini dapat direalisasikan, sebagai dukungan dalam meningkatkan pendapatan.
“Usaha kami ini swadaya dan serba terbatas. Jika ada pos anggaran untuk mendukung usaha usaha swadaya masyarakat seperti ini semoga dapat direalisasikan, juga untuk kami, sebagai dukungan dalam meningkatkan pendapatan, misalnya membantu menyiapkan fasilitas yang lebih moderen dan juga membantu membuat kemasan yang lebih menarik untuk mendorong warga membeli garam di tempat ini,”tutur Maria.
Kisah keempat ibu petani garam tradisional ini, dikisahkan kepada rombongan siswa/i SMP Lewolema saat mengunjungi ibu petani garam ini sebagai bentuk mengisi liburan akhir pekan, Sabtu, 23 September 2017.
Tambak garam tradisonal ini terletak di Pantai Waro, Desa Halakodanuan, Kecamatan Ilemandiri. Lokasi persis di pinggir kanan jalan utama arah dari Kota Larantuka menuju Tanjung Bunga. Kurang lebih 14 Km dari Kota Larantuka.
Mereka menjadi petani garam karena kondisi alam yang kurang mendukung untuk berkebun, ditambah kebutuhan ekonomi yang setiap hari harus dipenuhi, termasuk beban biaya sekolah anak.
“Peluang penghasilan dari berkebun sangat kecil. Alam kurang mendukung. Di kebun ada jambu mente namun pada musim tertentu tidak berbuah. Sementara kebutuhan ekonomi harus dipenuhi setiap harinya. Ini yang mendorong kami berinisiatif secara swadaya untuk membuka usaha tambak garam di tempat ini,” tutur Maria Piran.
[maksimus masan kian]