suluhnusa.com – Menteri ESDM Ignasius Jonan tidak pernah merasa minoritas meksipun dia satu-satunya menteri yang beragama Katolik dalam kabinet Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Itu pengakuannya yang dicatat Tempo.co (12/9/2017).
Sebagai umat, dia 100% Katolik. Sebagai warga negara, dia 100% Indonesia. Seperti itulah sikap imperatif dalam semboyan yang ungkapkan oleh Uskup dan Pahlawan Nasional Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, bahwa orang Katolik Indonesia mesti menjadi “100% Katolik, 100% Indonesia”.
Sebagai sebuah agama, umat Katolik itu minoritas di Indonesia. Itu takaran dari segi jumlah. Tetapi hidup beragama seharus berprinsip “non multa sed multum”. Bukan kuantitas tetapi kualitas. Itulah pesan tersirat dari pengakuan Menteri Jonan dalam acara Konferennsi Nasional Umat Katolik Indonesia di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta (12/8/2017).
Kualitas hidup beragama ada para pemeluk agamanya yang menjalankan hidup sesuai dengan nilai-nilai keagaman. Jelas, agama selalu mengajarkan kebaikan. Kebaikan ada untuk semua orang. Cinta kasih kepada sesama adalah keutamaan dalam kehidupan bersama.
Seorang Katolik diajarkan untuk mencintai sesama, bahkan mendoakan musuh-musuhnya. Musuh adalah mereka yang melakukan kejahatan terhadap sesama manusia. Musuh adalah “domba” yang tersesat yang mesti diajak kembali ke jalan yang benar.
Di dunia ini, tak ada yang benar, kecuali usaha setiap orang untuk mendekati kebenaran itu sendiri. Untuk itu, agama dan ilmu pengetahuan tidaklah bermusuhan. Agama dan ilmu pengetahuan hanya menjelaskan dan mendekati kebenaran itu dengan caranya sendiri.
Yang dibutuhkan hanyalah pengakuan, politik pengakuan (politics of recognition). Bahwa masing-masing bagian tidak perlu saling meniadakan ataupun saling memusuhi. Permusuhkan hanya akan menimbulkan resistensi. Peniadaan hanya akan menimbulkan perlawanan.
Seharusnya seperti itulah kehidupan beragama di Indonesia. Saling mengakui, saling mengharagai, saling menghormati adalah keutamaan dalam realitas kita yang majemuk. Dalam kemajemukan kita kaya; kita kuat; kita jaya. Rumusnya ada dalam politik pengakuan.
Setiap agama di Indonesia mengajarkan nilai-nilai kemanuisaan yang universal. Persisnya, tak ada yang saling bertentangan satu sama lain. Betul bahwa beda cara, satu tuju. Nilai-nilai universal khas dalam setiap agama. Tak ada agama yang mengajarkan nilai-nilai “minor” yang merusak harmoni kehidupan bersama. Jika itu ada, itu adalah pelaku kejahatan yang memanfaatkan agama demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Ada pula yang disebut dengan istilah, mengutip Rogers Brubaker (2002) “the error of groupism” atau “kekeliruan kelompok-isme”. Yaitu sebuah kecenderungan ekslusif, memisahkan diri, homogen dan keras ke luar. Kelompok tumbuh dalam partisi yang fundamental (dan radikal) sehingga sering mengancam eksistensi kelompok lain. Di sinilah sering muncul benih-benih konflik dan perpecahan.
“The error of groupism” lantas menjadi bekal gerakan-gerakan inteloren. Mereka menghindar dari politik pengakuan, bahkan menjadikan kelompok lain sebagai musuh dan mesti dimusnahkan. Mereka menjadi mengkhususkan diri sebagai yang paling benar, dan menjadi “minoritas dalam mayoritas”. Itulah racun bagi kehidupan bersama.
Jika demikian, setiap umat beragama mesti bersama-sama bekerja demi kebaikan bersama. Bergandengan tangan dalam satu prinsip kemanusiaan. Ketika iman adalah urusan privat, maka kebaikan mesti jadi urusan bersama. Kerja sama yang dimaksud adalah saling mengakui, sembari mereduksi “groupism” yang mengancam martabat manusia.
Lalu biarlah negara hadir sebagai bahasa bersama (sosial) untuk membantu dan menjamin warga negara menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Kita bernegara karena kita ingin hidup bersama demi cita-cita bersama. Oleh karena itu, minoritas hanyalah resiko sosial, bukan restriksi sosial.
Akhirnya, untuk Menteri Jonan: selamat menyambut Hari Kemerdekaan RI ke-72. Teruslah menjadi pribadi yang 100% Katolik, 100% Indonesia.
Alfred Tuname
Penulis dan esais