suluhnusa.com – Menjelang hari HAM 2016, Goris Dengekae Krova seorang lamafa nelayan masyarakat adat Lamalera terancam kriminalisasi karena melakukan kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun dan menjadi sumber kehidupan bagi banyak anggota komunitasnya.
Goris terancam dikriminalisasi karena menangkap ikan pari jenis Pari Manta (Manta birostris). Goris juga mendapat penahanan sewenang-wenang tanpa diberikan surat perintah pemanggilan dan penahanan dari Pihak Kepolisian Resort Lembata.
Goris merupakan anggota dari komunitas nelayan masyarakat adat Lamalera sebagai komunitas orang asli yang menangkap ikan dengan cara yang telah dipraktekkan secara turun temurun.
Sejak abad ke-16 hingga saat ini praktek penangkapan ikan secara tradisional dengan teknologi yang sederhana masih dipraktekkan terhadap ikan-ikan besar termasuk ikan Pari dan ikan Paus.
Praktek tradisional ini terkadang memerlukan waktu hingga berhari-hari untuk menaklukkan ikan besar yang memiliki tenaga besar bahkan melampaui batas perairan teritorial Indonesia.
Setelah mendapatkan ikan para lamafa (orang yang memimpin dan menagkap dengan tombak) tidak mengambil sendiri hasil tangkapannya, namun memastikan kelompok yang paling rentan mendapatkan hasil tangkapan.
Kelompok prioritas untuk mendapat bagian hasil tangkapan yaitu ibu janda yang renta, perempuan dan anak dan termasuk yatim dan piatu baru bisa memanfaatkan hasil tangkapan.
Kriminalisasi ini dilakukan oleh Kementerian Kelautan Perikanan, Kepolisian Resor Lembata dan Wildlife Crime Unit dengan dasar Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta.
Keputusan tersebut tidak pernah melalui konsultasi publik bahkan sosialisasi kepada masyarakat adat lamalera, yang otomatis mengkriminalisasi segala penangkapan ikan pari manta jenis Manta Birostris dan Manta Alfredi.
Goris terancam dikenakan ketentuan pidana dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya khususnya Pasal 21 ayat (2) huruf b dan d jo Pasal 40 dengan ancaman pidana penjara 5 (lima) tahun dan denda Rp 100.000.000,00 (seratusjuta rupiah).
Namun jika menggunakan Undang-Undang Perikanan, Goris termasuk kategori nelayan kecil dapat dikenakan Pasal 100C UU No. 45 Tahun 2009 yang melanggar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU No. 45 Tahun 2009 mengenai pengaturan atas jenis ikan yang dilindungi dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Namun hingga kini, Goris tidak mendapatkan kejelasan status apakah menjadi tersangka atau saksi.
Tindakan kriminalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap Konstitusi UUD 1945 yang termasuk Sila kelima pancasila, Pasal 18B ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (3), Pasal 28H ayat (1), Pasal 32 ayat (1)Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Termasuk juga UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dan UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masalah yang dihadapi oleh Goris dengan kriminalisasi ini merupakan pelanggaran terhadap komitmen Indonesia atas implementasi Pedoman Perlindungan Perikanan Skala Kecil FAO Tahun 2014 yang berbasiskan pendekatan hak asasi manusia dalam perikanan.
Hal ini merupakan pernyataan sikap beberapa elemen peduli Nelayan Lamalera diantaranya KNTI, Komunitas Nelayan Tradisional Lamalera dan Orang Lamalera Perantauan yang dikirim ke Media ini melalui email, 7 Desember 2016. (sandrowangak)