
LEWOLEBA – Akhir tahun 2024 publik Indonesia heboh dengan kasus uang palsu di Makasar. Peristiwa pembuatan dan peredaran uang palsu yang ditemukan oleh Kepolisian Makassar pada sekitar 19 Desember 2024 tempo lalu membuat heboh publik. Bukan hanya karena jumlahnya yang sudah beredar di tengah masyarakat namun diduga dilakukan oleh aktor-aktor intelektual.
Kejadian serius juga terjadi di Lembata. Ada dugaan peredaran uang palsu di Kabupaten Lembata, Provinsi NTT.
Kabupaten Lembata kembali dikejutkan dengan dugaan peredaran uang palsu, 16 Juni 2025.
Dugaan peredaran uang palsu ini terjadi di salah sagu Pub yang ada di pinggiran Kota Lewoleba.
Kasat Reskrim Polres Lembata, Donatus Sare membenarkan hal ini. Katanya, terduga pelaku penyebaran uang palsu telah diamankan oleh Polres Lembata pada Senin, 16 Mei 2025.
Barang bukti juga telah diamankan oleh Polres Lembata dan masih dalam tahap penyelidikan awal.
“Kami sudah amankan uang sejumlah Rp500.000,- dengan pecahan Rp100,000,-, ada lima lembar,” kata Donatus.
Informasi yang dihimpun media, dugaan penyebaran uang palsu ini terjadi sekitar pukul 21.00 WITA pada hari Senin, 16 Juni 2025.
Terduga pelaku mendatangi salah satu Pub di pinggir Kota Lewoleba. Memesan jasa pada salah satu pekerja seks, sebut saja namanya Melati.
Melati kemudian meminta pembayaran dilakukan di awal sebelum menggunakan jasa.
Terduga pelaku kemudian membayar sebesar Rp200.000,-. Setelah menggunakan jasa Melati, terduga pelaku secara tidak sengaja menjatuhkan uang Rp100.000,- satu lembar.
Warna uang yang diduga palsu itu sangat kontras. Sisi lainya berwarna merah, sisi yang lain berwarna putih. Saat uang jatuh, sisi yang berwarna putih berada di atas sehingga Melati berpikir jika itu adalah kertas yang membungkus uang.
Namun setelah dipungut oleh Melati, ternyata 1 lembar uang yang diduga palsu.
“Saat jatuh saya pungut. Karena mengira kertas yang dipakai untuk bungkus uang. Kaget saya setelah melihat yang sebenarnya. Saya cocokan dengan uang yang tadi dibayar. Saya duga ini uang palsu”, ungkap Melati kepada wartawan di Mapolres Lembata, 16 Juni 2025 malam.
Melati usai mencocokan uang itu dengan uang diterima sebelumnya. Ia menduga uang dengan total Rp300.000,- ini palsu.
Pekerja Seks itu kemudian mengurung terduga pelaku dan melaporkan kepada pemilik Pub dan menghubungi pihak Polres Lembata dan Polres Lembata membawa terduga pelaku.
Saat ini pelaku bersama barang bukti sudah diamankan oleh kepolisian.
Sejarah peredaran uang palsu
Muhammad Trianda Kusum, Asisten Manajer Departemen Hukum Divisi Penasihat Hukum Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia yang dilansir berbagai media menjelaskan pembuatan dan peredaran uang palsu sendiri bukan merupakan kejahatan baru. Bahkan, mengutip dari penelitian Lesta Alfatiana dari Universitas Gadjah Mada, uang palsu sempat berkembang dengan masif di Jawa pada periode 1900-1940.
Pemberantasan uang palsu kemudian dilakukan oleh Pemerintah kolonial dengan menandatangani konvensi Jenewa 1929 yang kemudian disahkan oleh Pemerintah era Presiden Soeharto melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan International Convention for The Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929.
Dewasa ini, kejahatan terhadap mata uang palsu semakin berkembang. Salah satunya adalah hasil studi yang dilakukan oleh Financial Action Task Force (FATF) dalam FATF Report Money Laundering and Terrorist Financing Related to Counterfeiting of Currency yang menjelaskan bagaimana mata uang palsu digunakan untuk tujuan pendanaan teroris dan kejahatan lainnya.
Kejahatan terhadap mata uang rupiah sendiri dapat mengutip Denico Doly terbagi menjadi dua berdasarkan UU Mata uang, yaitu pembuatan uang palsu dan pengedaran uang palsu. Kejahatan baik pembuatan dan pengedaran uang palsu akan berdampak pada perekonomian suatu negara.
Bahkan jika disangkutkan, kejahatan terhadap mata uang seharusnya dapat masuk ke dalam kategori extraordinary crime apabila mengutip dari pengertian extraordinary crime Sukardi yang pada pokoknya menjelaskan bahwa extraordinary crime termasuk ke dalam kejahatan yang berdampak besar dan multidimensional terhadap sosial, budaya, ekologi, ekonomi dan politik.
Dalam kerangka yuridis di Indonesia, Rupiah palsu sendiri sebagaimana dimaksud dalam UU Mata Uang adalah suatu benda yang bahan, ukuran, warna, gambar, dan/atau desainnya menyerupai Rupiah yang dibuat, dibentuk, dicetak, digandakan, diedarkan, atau digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum. Definisi dimaksud secara eksplisit menjelaskan tujuan Rupiah palsu adalah digunakan sebagai alat pembayaran secara melawan hukum.
Peran dan Tantangan Bank Sentral
Pengedaran uang merupakan salah satu kewenangan tertua yang dimiliki oleh Bank Sentral. Secara historis, pendirian De Javasche Bank (kini Bank Indonesia) pada tahun 1828 oleh pemerintah Kerajaan Belanda memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Belanda melalui octroi atau hak-hak Istimewa untuk bertindak sebagai bank sirkulasi.
Saat ini, melalui amanat yang diberikan oleh UU Mata Uang, Bank Indonesia merupakan satu-satunya Lembaga yang berwenang melakukan pengeluaran, pengedaran, dan/pencabutan dan penarikan Rupiah. Ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya dengan tetap memperhatikan perluasan akses dan Perlindungan Konsumen juga merupakan cerminan mandat Bank Indonesia terkait dengan stabilitas sistem pembayaran.
Sebagai guardian of Rupiah, salah satu tantangan yang dihadapi oleh Bank Indonesia dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan uang Rupiah adalah peredaran Rupiah Palsu. Mengingat luasnya Indonesia maka Bank Indonesia bersama instansi pemerintah seperti Badan Intelijen Negara, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Keuangan melalui Badan Koordinasi Pemberantasan Rupiah Palsu (Botasupal) bekerjasama dalam pemberantasan Rupiah palsu.+++goe/utami/sandro.wangak