Suluh Nusa, Kupang – LKBH Fakultas Hukum Undana Kupang yang konsen pada advokasi dan pendampingan hukum dan hak asasi manusia (HAM) mendesak Polda NTT untuk memberikan keterangan dengan tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi Awololong yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tahun 2020. Hal itu untuk menjawab kegelisahan publik Lembata akhir-akhir ini terkait kasus Awololong.
Pernyataan tersebut tetuang dalam 10 pernyataan sikap LKBH Undana terkait proses kasus korupsi Awololong yang oleh penyidik Polda NTT sudah ditetapkan dua orang tersangka tetapi tidak ditahan. Istimewanya apa ?
Tim penyidik Direktorat Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Nusa Tenggara Timur telah menetapkan dua (2) orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan titian apung dan kolam renang, beserta fasilitas penunjang lainnya di Pulau Siput Awololong, Kabupaten Lembata pada Senin, 21 Desember 2020 lalu.
Kedua tersangka tersebut, masing-masing, SS selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dan AYTL selaku kontraktor pelaksana proyek.
Sesuai hasil penyelidikan kepolisian, kasus proyek yang ditangani Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lembata pada tahun anggaran 2018/2019 itu telah merugikan negara sebesar Rp1 miliar lebih, dari pagu anggaran Rp6,9 miliar.
Meski demikian, hingga kini kedua tersangka belum ditahan dan diperiksa kembali oleh Direskrimsus Polda NTT.
Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum (FH) Universitas Cendana Kupang Husni Kusuma Dinata mengatakan, selama ini aparat penegak hukum selalu menahan tersangka kasus korupsi.
Menurut Husni, penahanan tersangka dengan alasan yang jelas, yakni didasarkan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam penyelesaian perkara, aparat penegak hukum selalu berpedoman pada KUHAP. Penahanan pada tersangka didasarkan pada alasan-alasan subyektif dan obyektif.
“Harusnya APH (aparat penegak hukum) memiliki SOP terkait lama waktu penanganan perkara korupsi. Seperti di KPK perkara harus selesai dalam rentang waktu 90 hari, hal tersebut untuk menjamin kepastian hukum,” jelas Husni dalam rilis yang diterima Suluh Nusa (weeklyline media network), Rabu, 20 Januari 2021 malam.
Ia kembali mengingatkan bahwa penahanan terhadap tersangka diatur dalam Pasal 21 KUHAP.
Pada pasal ini disebutkan ‘Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.’
“Ketentuan ini disebut sebagai syarat subyektif penahanan,” sambung dia.
Selanjutnya, syarat formil tercantum dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP.
Di sana disebutkan bahwa ‘Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan’.
Syarat tersebut adalah syarat obyektif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP.
Husni menambahkan, penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut. Dalam hal tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
Ia menegaskan, seharus SS dan AYTL ditahan seperti para tersangka lain di Indonesia.
Padahal, kata dia, penetapan tersangka kasus Awololong dari tahun lalu 2020. Artinya, saat menetapkan tersangka penyidik sudah mengantongi 2 (dua) alat bukti sesuai KUHAP.
“Jika penyidik hendak menahan tersangka tidak perlu lagi ada keraguan,” tegas Husni.
“LKBH Fakultas Hukum Undana Kupang yang konsen pada advokasi dan pendampingan hukum dan hak asasi manusia (HAM) mendesak Polda NTT untuk memberikan keterangan dengan tidak ditahannya tersangka kasus dugaan korupsi Awololong yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tahun 2020,” imbuh dia.
Menurut Husni, keterangan itu penting untuk menjawab kegelisahan publik Lembata akhir-akhir ini terkait kasus Awololong.
Sebab bagi dia, korupsi ini erat kaitannya dengan perampasan hak publik (HAM). Selain itu erat kaitannya dengan kerugian negara (ekonomi).
Oleh karena itu publik perlu diberitahu agar tidak melahirkan tanda tanya terhadap kasus ini dan tentu dalam kaitan dengan penegakkan hukum di Indonesia.
Ia pun membandingkan kinerja Kejaksaan Tinggi NTT, yang mana akhir-akhir ini aktif menetapkan dan menahan tersangka kasus dugaan korupsi.
Sayangnya, kasus Awololong yang sedang ditangani Polda NTT malah justru sampai saat ini belum melakukan penahanan terhadap tersangka.
“Soal bersalah atau tidak menjadi ranah pengadilan untuk mengujinya, tapi hak-hak tersangka jangan digantung dalam ketidakpastian hukum setelah mereka ditetapkan menjadi tersangka,” tegas Husni. (y.edangwala/SN/weeklyline media network)