suluhnusa.com_Kasus sengketa lahan di Kampung Bugis, Serangan terus memanas.
Pasca dilakukan eksekusi yang urung dilakukan dan akhirnya terjadi kesepakatan antara Pemohon eksekusi dalam hal ini Hj. Maisarah yang diwakili anak ketiganya Siti Sapurah, SH dan kuasa hukum Haposan Sihombing, SH melawan termohon eksekusi dalam hal ini 36 KK Kampung Bugis yang diwakili oleh kuasa hukum Rizal Akbar Maya Poetra, SH.
Bahwa dalam waktu tiga bulan 36 KK tersebut harus meninggalkan lahan tersebut dengan sukarela, kini muncul babak baru. Sengketa yang dimenangkan Pemohon eksekusi rupanya disinyalir ada permainan besar di belakang pemilik lahan. Seseorang yang tidak mau dikorankan, menyebut jika lahan seluas 9400 M2 itu diduga telah ada yang siap membeli.
Investigasi suluhnusa.com, investor yang disebut-sebut sebagai pengusaha minyak asal Bali yaitu Wayan Rastika alias colo diduga akan membeli kampung Bugis seharga 20 milyar. “Memang ada pengusaha Minyak asal Bali namanya Wayan Rastika alias Colo dia yang akan membeli lahan itu seharga 20 milyar,” kata sumber suluhnusa.com.
Nilai yang fantastis itu sepadan dengan kawasan Serangan yang memang lokasi pariwisata, sumber Koran ini juga mengatakan jika nantinya tanah yang akan digusur itu akan dijadikan hotel, supermarket dan kawasan ekslusif.
“Jelas mahal, sekarang per meter saja harganya Rp 5 juta jadi satu are harganya Rp500 juta berapa tuh jadinya puluhan milyar pasti apalagi prospek Serangan kedepan ada di kawasan BTID,” katanya.
Atas hal itu, JarrakPost pun mengkonfirmasikan kepada Rizal Akbar Maya Poetra, SH selaku kuasa hukum warga, perihal adanya pengusaha minyak, Wayan Rastika yang akan membeli lahan Kampung Bugis setelah nanti digusur.
“Ya memang benar Hj. Maisarah itu hanya kepanjangan investor saja, untuk nominalnya sekira 20 milyar itu benar bahkan waktu eksekusi saya ketemu dengan notaris si pengusaha namanya I Gede Semester Winarno, SH,” kata Rizal.
Karena itulah, imbuhnya warga Bugis tak mau menerima uang kompensasi yang nominalnya Rp50 juta/KK bukan karena nilai uang dalam tanah itu. Melainkan nilai history, budaya, fakta akulturasi budaya dan fakta toleransi umat beragama di wilayah itu.
“Ada fakta di kuburan Bugis, bahwa tahun 1323 sudah ada kawasan itu, jadi bukan nilai psikologis jumlah uang itu namun terkait budaya dan jejak sejarah,” jelasnya.
Mengadu ke Jusuf Kala
Di Bali ada masyarakat yang dituakan yaitu H. Zaenal Thayeb (Ketua Ikatan Keluarga Sulawesi Selatan/IKSS) da nada Ida Cokorda Pemecutan serta ada warga Bugis yang sudah menasional yaitu Jusuf Kalla. Atas kondisi ini pun, dipastikan warga Bugis akan mengadu ke Jusuf Kalla.
Bukti baru atau novum yang baru ditemukan setelah putusan MA yaitu tertanggal 7 Februari 2014 sudah didaftarkan ke PN. Lokasi yang benar, papar Rizal adalah, di sebelah selatan kuburan, bukan di sebelah utara kuburan, pungkas dia.
Dikonfirmasi terpisah, Siti Sapurah dan kuasa hukum Haposan Sihombing serempak mengamini jika lahan yang sengketa yang telah dimenangkan olehnya itu hingga saat ini belum dijual.
“Bohong itu, kabar yang menyebut tanah orang tua saya sudah akan dijual ke siapa itu Wayan Rastika saya aja tidak tahu orangnya, hingga saat ini sertifikat lahan masih ada di saya jadi tidak benar itu,” tutur Siti Sapurah atau Ipung ini emosional, Sabtu 1 Maret 2014.
Lebih jauh Ipung mengungkapkan perihal dirinya yang pernah mendatangai Ida Cokorda Pemecutan perihal lahan yang menjadi sengketa orang tuanya dengan warga kampung Bugis, yang disebut Ipung merupakan anak buah kapal kakeknya Abdul Kadir dahulu kala.
“Saya pernah datangi Ida Cokorda Pemecutan tahun 2002, waktu itu saya bilang gini ‘Cokorda saya datang kesini dengan maksud untuk memastikan apakah benar, Cokorda punya lahan di kampung Bugis? Kalo memang benar mana dokumen legalitasnya yang Cokorda punya, kalau itu punya Cokorda silahkan saat ini juga saya robek sertifikat yang ada sama saya kalau itu memang punya Cokorda,” tutur Ipung.
Jawaban Cokorda, lanjut Ipung begini, ‘saya tidak tau pastinya tanah leluhur saya itu yang jelas jumlahnya kurang lebih 10 hektar. Ipung pun menegaskan kepada Cokorda jika memang tidak tau pasti sebaiknya Cokorda tidak usah ikut membela warga Bugis itu karena memang lahan itu adalah milik orang tuanya.
“Cokorda kan orang hukum pasti mengerti hukum sama dengan saya jadi dimana keterkaitan Cokorda dengan warga Bugis disana, saya hanya kasian dengan orang Bugis disana mereka orang bodo semua,” urai Ipung.
Terkait isu adanya investor pun baik Ipung maupun Haposan enggan berkomentar.
” Saya suda capek mbak, seandainya ada investor memang kenapa karena ini tanah orang tua saya tapi sertifikat masih ada di saya,” sekali lagi Ipung memberikan penegasan. Toh kalau memang akan dijual, lanjutnya itu bukan lagi hak mereka,” saya malah heran kok mereka lebih tau dari saya, jadi untuk sementara ini tidak ada rencana untuk dijual,” tutupnya.
Sementara itu, Haposan Sihombing selaku pengacara keluarga mengatakan tidak ingin menanggapi isu tersebut karena pada faktanya saat ini masih dalam proses pelaksanaan yang tertunda.
“Tiga bulan dengan alasan kemanusiaan kami harapkan kepada para termohon dalam waktu tiga bulan berharap hukum ditaati termasuk para penjamin yang menandatangani ikut mendorong supaya ditaati apa yang sudah dinyatakandalam pernyataan para termohon keluar dan membongkar secara sukarela bisa terlaksana dengan baik. Setelah objek kosong dalam penguasaan yang berhak atau pemohonlah yang tau mau diapain tanahnya,” kata Sihombing.(kresia)