![](https://suluhnusa.com/wp-content/uploads/2024/11/IMG_20241120_130430.jpg)
SULUH NUSA, LEMBATA – Sebagai kabupaten di ujung timur Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Lembata, terkenal akan kekayaan budaya dan keragaman suku, ras, dan agama. Dari Kedang (Buyasuri dan Omesuri), Lebatukan, Ile Ape, Ile Ape Timur, Nubatukan, Atadei, Nagawutung hingga Wulandoni.
Masyarakat Lembata hidup dalam keberagaman, bersatu dalam semangat gotong royong (“gemohing”) dan kebersamaan. Namun, menjelang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Lembata pada Rabu, 27 November 2024, isu politik identitas kadang mencuat, mengguncang harmoni sosial yang selama ini dijaga.
Baru-baru ini, dalam opini Abdul Gafur Sarabiti yang mengangkat frasa “Kedang Bodo Bayang Wato” (dalam media Suluh Nusa, 20/11/2024) menuai kontroversi. Pernyataan Abdul Gafur Sarabiti yang menyebutkan “Kedang Bodo Bayang Wato” dalam konteks “politik identitas” patut kita kaji secara mendalam. Ungkapan ini, yang secara harfiah berarti “sampai kucing bertanduk, orang Kedang tidak akan menjadi Bupati Lembata,” memuat pesan yang bukan hanya simbolis tetapi juga problematis dalam konteks masyarakat pluralis seperti Lembata.
Dalam konteks pluralitas Lembata, isu ini perlu dijawab secara kritis, bukan dengan emosi, tetapi dengan akal sehat dan semangat kebangsaan (nasionalisme). Lembata bisa dikatakan sebagai miniatur Indonesia yang kaya akan keberagaman suku, agama, dan budaya. Dalam keberagaman ini, prinsip demokrasi, yakni vox populi, vox dei: suara rakyat adalah suara Tuhan seharusnya menjadi landasan utama dalam proses politik, termasuk pemilihan kepala daerah.
Menghadapkan masyarakat pada narasi eksklusif yang berbasis “politik identitas” bukan hanya merusak tatanan sosial tetapi juga berpotensi menciptakan sekat yang memperlemah persatuan. Ungkapan seperti “Kedang Bodo Bayang Wato” memuat bias sejarah dan prasangka yang bertentangan dengan prinsip kesetaraan.
Dalam demokrasi modern, tidak ada ruang bagi diskriminasi berbasis asal-usul geografis, etnisitas, atau identitas lainnya. Setiap individu memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah, termasuk menjadi pemimpin, selama mereka memenuhi kriteria hukum dan mampu mewujudkan harapan masyarakat.
Masyarakat Lembata harus bersatu melampaui politik identitas sempit ini. Demokrasi memberi kesempatan bagi siapa saja, terlepas dari latar belakang mereka, untuk mencalonkan diri dan dipilih berdasarkan kompetensi, visi, dan rekam jejak. Jika narasi seperti ini terus dikembangkan, ia hanya akan menghambat kemajuan daerah dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Pemilihan pemimpin tidak boleh didasarkan pada asal-usul suku, agama, atau identitas budaya lainnya, melainkan pada kemampuan, integritas, dan visi untuk membawa Lembata ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, kita perlu membedah frasa kontroversial ini dalam kerangka demokrasi yang sehat dan inklusif.
Makna di Balik “Kedang Bodo Bayang Wato”
Frasa “Kedang Bodo Bayang Wato” mencerminkan pesimisme yang mendalam terhadap peluang kelompok tertentu, dalam hal ini masyarakat Kedang, untuk mencapai posisi kepemimpinan di Lembata. Ungkapan ini dapat dipandang sebagai cerminan ketidaksetaraan historis dalam struktur politik di Lembata.
Namun, pandangan seperti ini tidak mencerminkan semangat demokrasi modern. Demokrasi bukan tentang asal-usul seseorang, melainkan tentang kemampuan untuk memimpin dengan adil dan bijaksana. Jika kita terus terjebak dalam narasi seperti ini, maka kita telah menghianati semangat “Ta’an Tou” yang menjadi fondasi Lembata.
Vox Populi, Vox Dei: Suara Rakyat yang Berdaulat
Dalam demokrasi, vox populi, vox dei bukan sekadar slogan. Ini adalah prinsip yang menegaskan bahwa rakyat memiliki kedaulatan penuh dalam menentukan pemimpin mereka. Ungkapan Vox Populi, Vox Dei pertama kali dicetuskan Wiliam dari Malmesbury pada abad dua belas. Gagasan Wiliam ini juga diucapkan Alcunius dalam suratnya kepada Carolus IX. Ia mengkritik absolutisme raja Carolus IX. Dalam sistem pemerintah absolutistis, pemegang kuasa (raja) memerintah secara mutlak.
Simbol absolutisme memuncak pada Louis XIV, Raja Prancis yang terkenal dengan diktum “L’etat c’est moi”: Negara itulah saya. Melawan absolutisme, Alcunius menegaskan bahwa suara rakyat merupakan suara Allah. Ia yakin bahwa kebenaran yang dipercayai rakyat tidak mungkin keliru karena telah melalui proses diskursus panjang dan mendalam di antara mereka. Karena itu, suara mereka perlu didengarkan. Dikatakan demikian, karena Sacra populi lingua est – “bahasa rakyat itu sakral” (Sumber: ELC hal. 233).
Masyarakat Lembata harus memegang teguh prinsip ini. Pemilihan bupati bukanlah soal suku atau identitas, tetapi soal siapa yang mampu membawa Lembata menuju kemajuan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang memahami kebutuhan masyarakat, mampu merangkul perbedaan, dan memiliki visi yang jelas untuk masa depan.
Oleh karena itu, sebagai rakyat, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memilih berdasarkan kapasitas dan integritas, bukan berdasarkan identitas primordial. Dengan cara ini, kita tidak hanya memperkuat demokrasi, tetapi juga membuktikan bahwa Lembata adalah rumah bagi semua, tanpa diskriminasi.
Mematahkan Narasi “Kucing Bertanduk
Narasi seperti “Kucing bertanduk” harus dilawan dengan fakta dan semangat optimisme. Di banyak daerah di Indonesia, pemimpin dari “kelompok minoritas” telah membuktikan bahwa mereka bisa membawa perubahan besar. Ini adalah bukti bahwa keterbatasan bukanlah penghalang, melainkan tantangan yang bisa diatasi dengan kerja keras dan dukungan masyarakat.
Di Lembata, sudah saatnya kita melampaui sekat-sekat sempit yang membelenggu potensi daerah. Semua kelompok, termasuk masyarakat Kedang, memiliki hak dan peluang yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan. Yang terpenting adalah bagaimana kita bersama-sama memastikan bahwa pemimpin yang terpilih adalah yang terbaik untuk semua, bukan hanya untuk kelompok tertentu.
Lembata adalah rumah bagi semua. Tidak ada tempat bagi narasi yang merendahkan kelompok tertentu. Frasa “Kucing Bertanduk” harus menjadi pengingat bahwa kita masih memiliki pekerjaan rumah besar dalam membangun demokrasi yang inklusif.
Sebagai masyarakat, kita harus bersatu melawan narasi sempit yang memecah belah.
Demokrasi adalah tentang kebersamaan, tentang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Dengan semangat vox populi, vox dei, mari kita buktikan bahwa Lembata adalah kabupaten yang mampu merangkul semua anak bangsa, tanpa diskriminasi, tanpa prasangka. “Ta’an Tou”, Ayo Memilih untuk Lembata, Rabu, 27 November 2024 demi Lembata sejahtera dan berkelanjutan (sustainable).+++
***Rakyat Biasa, Tinggal di Lembata