SULUH NUSA, LEMBATA – USKUP Larantuka, Mgr. Fransiskus Kopong Kung meminta pihak PLN untuk mendengarkan kemauan masyarakat di sekitar lokasi PLTP Atadei.
Permintaan Yang Mulia Uskup Larantuka ini sekaligus restu untuk PLTP dapat dibangun dengan syarat kondisi sosial yang saat ini menjadi polemik di masyarakat harus ditelusuri penyebabnya.
Namun ia menegaskan, jika
Potensi Panas Bumi itu berguna baik untuk umum, kenapa tidak dikelola.
Hal ini disampaikan saat tim PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara, Selasa, 8 Oktober 2024, bertemu Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung.
Selain bersilaturahmi, pihak PLN menyampaikan progres pengembangan PLTP 10 MW Atadei serta sejumlah kendala yang terjadi hingga saat ini.
Saat ditemui, Uskup Larantuka yang didampingi Vikjen, Rm. Gabriel Unto Da Silva dan Sekjen Keuskupan Larantuka, Rm. Ancis Kwaelaga serta Romo Deken Lembata, Rm. Sinyo Da Gomez. Pertemuan itu berlangsung di rumah pastoran Gereja St. Maria Baneux Kota Lewoleba.
Uskup Larantuka, Mgr Fransiskus Kopong Kung, menandaskan, jika proses membagi pengetahuan tentang PLTP Atadei, hukum adat juga sudah dijalankan, Kerjakan.
“Kalau dari saya harus mendengar langsung. Jangan mengerti tapi buat seolah-olah tidak mengerti. Kalau ada bahaya, jangan tangkap bahayanya saja. Para ahli ada solusi, pengendalian dan kontrol. Saya percayakan pada proses yang sudah jalan. Urusan di lapangan tetap dijalankan PLN dan jajaran pemerintah,” ujar Uskup Larantuka, Mgr Fransiskus Kopong Kung, Pr.
Bobby Robson Sitorus, Manager Pertanahan dan Aset PLN UIP Nusra mengatakan, menghadapi krisis energi global, PLN sedang konsen ke Green Energy sesuai rencana Net Zero Emission (NZE) 2060.
Ia menandaskan, Potensi panas bumi di Kabupaten Lembata, cukup untuk menyumbang ketersediaan energi Nasional.
Tri Satya Putra Pamungkas, Team Leader Perizinan dan Pertanahan PLN UIP Nusra dihadapan Yang Mulia Uskup Larantuka mengatakan, pihaknya telah melaksanakan rangkaian tahapan sosialisasi pengembangan PLTP 10 Mw di Atadei yakni di Desa Atakore dan Desa Nubahaeraka.
Selain itu, pihaknya memboyong warga setempat untuk studi banding di contoh proyek Geothermal di Kamojang, Jawa Barat. Pihaknya juga memfasilitasi pelaksanaan Seminar Budaya memperkuat komitmen PLN dan Warga untuk melestarikan Budaya Atadei.
Selain itu, PLN juga telah menginventarisasi lahan maupun tegakan di calon lokasi PLTP.
“Hari ini (7 Oktober 2024-red) kami mengumumkan hasil identifikasi kepemilikan lahan dan inventarisasi tegakan di Desa Nubahaeraka,” ungkap Tri Satya.
Selanjutnya, Pemerintah Desa serta pemangku adat setempat melakukan ritual adat Ahar Tu di lokasi Ina Kar, pertanda dimulainya kegiatan di lokasi seturut tradisi budaya setempat.
Menurut Tri Satya, seluruh tahapan dan proses sosialisasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berjalan lancar. Selain melakukan sosialisasi, pihaknya juga menggelar seminar budaya yang diinisiasi para pemuda Desa Atakore.
Disaat itu, Uskup Larantuka, Mgr Frans Kopong Kung, meminta pendapat Romo Vikjen dan Romo Sekjen serta Romo Deken Lembata.
Sebab menurut Uskup Larantuka, pihaknya berada di wilayah penggembalaan Umat, sedangkan dalam hal teknis PLTP secara khusus diluar bidang yang digeluti.
“Bahwa ada masalah sosial berkaitan dengan itu dan menjadi perhatian coba ditelusuri ada apa dibalik itu,” ungkap Uskup Larantuka, Mgr Frans Kopong Kung, Pr.
Vikjen Keuskupan Larantuka, Rm. Geby Unto Da Silva mengatakan, pihaknya pernah pergi melihat tambang timah ke Bangka Belitung, pulau itu menjadi tidak elok, pulaunya rusak rusak.
“Kami juga melihat lumpur panas Lapindo. Maksudnya hal-hal seperti itu diselidiki, kalau ada ahli dapat menjelaskan adanya fenomena ini dan akankan dampak seperti ini dapat di cegah jika di Lembata dilakukan eksplorasi PLTP,” ujar Romo Vikjen, Geby Unto Da Silva.
Ia menandaskan, bagaimanapun Panas Bumi adalah gift, pemberian. Tentu kita perlu bersyukur. Kalau ada ahli yang mengatakan bisa dipergunakaan, kenapa kita harus menolak. Karena berbeda dengan tambang emas, di Lembata ini eksplorasi Panas Bumi. Kalau ada dampak pengrusakan lingkungan dan ada pula cara atau teknologi yang mengurangi dampak kerusakan lingkungan, tolong disampaikan kepada publik,” ungkap Rm. Vikjen, Geby Unto Da Silva.
Namun ia menegaskan, jika
Potensi Panas Bumi itu berguna baik untuk umum, kenapa tidak dikelola.
Sementara itu Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga, dalam kesempatan itu menandaskan, Soal energi baru terbarukan hendaklah dapat dikembangkan dengan satu konteks ramah lingkungan dan dimanfaatkan untuk kebaikan banyak orang.
“Seperti apa ilmu dan teori kita awam. Belajar dari pengalaman, pertambangan pasti ada dampak lingkungan. Ini pemahamam dasar masyarakat. Soal gas bumi, ada hal pemicu dampak. Proses pengembangan PLTP Memacu migrasi gas di dalam bumi dan disemprot keluar. Ini Gas yang begitu besar, secara teori, dampak ini diminimalisir, agar tidak mengganggu lingkungan dan berdampak luas.
Namun, Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga mempertanyakan, jika sudah dilakukan Sosialisasi oleh para ahli, Studi banding dan seminar, kenapa masih ada penolakan.
Menurut Kwaelaga, ada kesenjangan pengetahuan warga tentang PLTP yang kemudian dibalut kepercayaan menurut budaya Lamaholot.
“Titik dipikirkan, soal kearifan budaya lokal, mendarah daging dengan leluhur. Itu yang susah. Namun Kita perlu dapat tantangan, agar sosialisasi lebih kuat. Secara umum, masyarakatnya tidak menjangkau ke sana, konsep budaya, hak ulayat warisan, itu pertiwi, bagaimana kita ganggu. Dampak aspek budaya mendarah daging dalam diri umat. Kalau ada teori baru mereka sulit menerima. Budaya Lamaholot bertumpu pada kekuatan Ama Lerawulan dan Ina Tana Ekan,” ungkap Rm Ancis Kwaelaga.+++sandro.wangak