suluhnusa.com – Pemerintah Kabupaten Lembata serius mengembangkan potensi lokal sebagai potensi atau produk unggulan yang mampu bersaing dipasar lokal dan global.
Salah satuny adalah garam. Keseriusan pemerintah Kabupaten Lembata itu dibuktikan dengan mendorong beberapa desa di Pesisir Ile Ape untuk kembali memproduksi garam. Sebut saja misalnya, Desa Watodiri di Kecamatan Ile Ape dan desa Lamatokan di Kecamatan Ile Ape Timur.
Kerja bersama ini dilakukan bersama LSM Barakat dari Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah menggerakkan 25 mantan buruh migran untuk memproduksi garam beryodium di Desa Lamatokan, Kecamatan Ile Ape. Para mantan TKI itu dilatih membuat garam yang hemat biaya produksi.
“Kami mendukung program pemerintah menuju Swasembada Garam 2020. Kami melibatkan diri dalam gerakan Indonesia Memanggil Kembali 1,87 juta TKI, dengan mengajak mereka fokus membuat garam beryodium,” kata Direktur LSM Barakat, Benediktus Bedil, belum lama ini.
Dia mengungkapkan kandungan NaCl di Lembata mencapai 54%, jauh di atas kandungan Laut Madura yang hanya 30%. Kondisi itu mempercepat proses pembuatan garam dan meningkatkan kualitasnya.
“Petani garam di Lembata sangat bergairah dengan keunggulan itu.”
Pada era 1950an hingga 1990an, garam yang diproduksi secara masal di Desa Lamatokan. Lamatokan atau dikenal dengan Tokojaeng itu sejak puluhan tahun lalu menjadi sentra produksi garam lokal.
Penjualan garam di pasar pasar tradisional di Lembata, dikuasai oleh garam Tokojaeng, walau desa ini terletak persis di kaki Gunung Ile Ape, Gunung berapi yang mengandung belerang. Akan tetapi garam yang diproduksi oleh warga Tokojaeng aman untuk dikonsumsi. Tidak perlu cemas apalagi ragu.
Sejak tahun 1950 sampai 1990an garam Tokojaeng masih merajai pasar Desa Hadakewa, Tapulangu dan Waiwuring di Pulau Adonara, sementara garam produksi Warga Desa Watodiri merajai pasar Kota Lewoleba, Pasar Atadei hingga pasar Wulandoni. Kebutuhan garam di pulau Lembata dan pulau Adonara kala itu dikuasai produk garam asal kedua Desa di pesisir Ile Ape itu.
Seperti diceritakan Kepala Desa Lamatokan, Mikael Pureklolon, kepada wartawan saat launching garam Tokojaeng, 17 Maret 2018 di areal pelabuhan Jetti Tokojaeng.
Menurut Mikael, sayangnaya memasuki tahun 2000an, produksi garam lokal di kedua desa tersebut seolah seolah redum. Masayarakat tidak lagi memasak garam secara tradisional.
Dan saat ini, inisiatif Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata, menggandeng LPPM Universitas Widya Mandira Kupang, serta BP3TKI, mulai menemukan kembali jati diri warga desa Lamatokan, Ile Ape dalam Pembudidayan garam.
“Ketika itu, lahan di dua kampung ini gersang. Tidak ada gantungan hidup lain, selain membuat dan menjual garam. Bahkan, kami sekolah sampai bekerjapun karena hasil pembuatan garam ini,” ujar Kepala Desa Lamatokan, Mikael Marine Pureklolon.
Dan untuk menghapus kecemasan masayarakat akan Garam ile Ape mengandung belerang, Pemerinth Kabupaten Lembata bekerjasama dengan Peneliti Unwira Kupang, untuk melakukan penelitian terhadap kandungan belerang dalam garam Ile Ape.
Hasilnya nihil. Artinya, Garam Ile Ape bebas dari belerang. Garam Ile Ape dinyatakan bersih tanpa kandungan belerang, hasil penelitian Unwira Kupang.
Hasil penelitian ini dipaparkan oleh Gerady Tukan salah satu peneliti Unwira Kupang yang juga Dosen Fisika tersebut di Lembata, 11 Desember 2018.
Untuk memastikan garam Ile Ape tanpa kandungan belerang, demikian Gerady Tukan, para peneliti Unwira melakukan penelitian selama 60 hari.
Dengan hasil penelitian ini, Unwira pun merekomendasikan agar Pemerintah Lembata mesti menjadikan Garam sebagai salah satu produk unggulan daerah.
Wakil Bupati Lembata, Thomas Ola Langodaypun meminta Desa Desa di Pesisir Ile Ape agar menjadikan garam sebagai potensi unggulan desa. ***
sultan ali geroda/
sumberfoto : akenudjan