Boli Belutowe Jadi Ketua, Beginilah Cerita Tentang KEMADABAJA

Beranda » Seni Budaya » Boli Belutowe Jadi Ketua, Beginilah Cerita Tentang KEMADABAJA

suluhnusa.com – Keluarga Besar Mahasiswa dan Pemuda Lembata Jabodetabek (KEMADABAJA) telah digelar. Acara tersebut diselenggarakan pada hari sabtu, 21 april 2018 (16:00 – 01:00 wib ) yang berlangsung di Wisma NTT, Tebet Timur Dalam Raya, Nomor 42-Jakarta Selatan.

Acara yang dibuka oleh Ketua Umum KemadaBaja periode 2017-2018 sdr.Choky Askar Ratulela berjalan dengan  Beberapa agenda sidang, yaitu laporan Pertanggungjawaban

Akhir Tahun Badan Pengurus, Pembahasan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dan Pemilihan Ketua Umum. Acara yang di ikuti oleh 44 undangan tersebut menghadirkan dua kandidat yaitu Robbyn Belutowe dan Glen Paokuma, dengan perolehan 37 – 11 suara. Rolandus Boli Belutowe terpilih menjadi Ketua terpilih di periode 2018-2019.

Pesan dari ketua terpilih adalah ” semoga Kemadabaja akan menjadi organisasi daerah yang melahirkan mahasiswa dan pemuda yang peka, kritis dan  peduli terhadap persoalan-persoalan baik yang terjadi di Lembata maupun Indonesia”. Sementara Glen Paokuma pun mengatakan walaupun belum terpilih, dirinya akan selalu ada untuk Kemadabaja dan mari kita bersinergi dalam asas kekeluargaan dan semangat kepemudan.

Hadir pula beberapa organisasi daerah yang ikut menyaksikan proses akhir periode ini diantaranya Angkatan Muda Adonara (AMA JAKARTA) dan Orang Muda Flores Timur Jakarta (OMFJ)

Untuk informasi bahwa beberapa minggu kedepan Kemadabaja akan mengadakan Pelantikan Badan Pengurus periode 2018- 2019.

Cerita Tentang KEMADABAJA

Cerita kecil ini dimulai sejak 13 tahun silam, persis di tanggal 27 Februari 2005. kala itu segelintir anak-anak muda Lewotana memilih meninggalakan kampung halamannya lalu merantau ke Ibu Kota demi mengais ilmu dan melunasi mimpi-mimpi yang begitu luhur.

Cerita ini adalah riwayat singkat  tentang sedalam-dalamnya angan  anak-anak rantau yang datang jauh dari ujung timur pulau Flores untuk mengharumkan nama lewotana di tanah metropolitan ini, cerita tentang kebersahajaan orang-orang luar biasa yang selalu bersatu tekad untuk bisa memberi sesuatu yang berarti buat lewotana, cerita tentang anak-anak berhati peduli yang terus berkumpul dan bertukar ide bagi kemajuan lewotana.

Dan cerita-cerita itu coba saya ringkas dalam sebuah narasi kecil yang berkisah secara mengalir  tentang sebuah rumah yang selama ini menjadi peneduh bagi kami, rumah pelindung kami dari hujan-hujan konflik, rumah tempat kami merajut persaudaraan yang mesrah. Dan rumah itu bernama KEMADABAJA.

Kemadabaja  adalah  sebuah organisasi daerah, Keluarga Besar Mahasiswa dan Pemuda Lembata Jabodetabek. Secara pribadi, saya baru mengenal Organisasi ini lebih dekat sejak tiga tahun silam. Ketika itu awal-awal saya mulai mengenyam pendidikan di tanah Ibu Kota ini. Awal perkenalan, kami rasankan biasa-biasa saja. Namun, begitu semakin  ke sini, saya makin mengenal secara lebih dalam apa itu Kemadabaja, untuk apa organisasi ini ada, dan bagaimana kehidupan Kemadabaja.

Selama hari-hari ada dan berada bersama Kemadabaja, saya mendapati ada begitu banyak nilai-nilai hidup yang disemaikan ke dalam hati dan budi saya, dan tentu saja semua mereka yang ikut bergabung dalam organisasi ini pun mengalami hal serupa.

Di sana, kami diajar membudayakan apa yang telah diteladankan oleh para leluhur Lewotana semasa hidup mereka. Kesederhanaan mereka mengingatkan kami untuk  sekali-kali tidak boleh melupakan kampung halaman, sekalipun kami telah hidup di kota metropolitan.

Roh perjuangan mereka menjadi api inspirasi yang terus membakar semangat kami untuk terus berarak maju. Ini semua tentu akan bermuara pada satu tujuan yang bermartabat, yakni menghadirkan kemajuan-kemajuan konstruktif untuk lewotana Lembata dan tanah air Indonesia pada umumnya.

Kini, tanpa terasa usia Kemadabaja telah bertambah. Februari tiga belas tahun silam adalah momen kelahiran Kemadabaja, dengan seribu satu motivasinya. Ia tidak hadir semata-mata hanya untuk menjadi wadah tempat orang menciptakan euforia semu, tapi lebih dari itu, Kemadabaja hadir untuk boleh ambil bagian dalam memajukan lewotana Lembata.

Motivasi demikian menjadikan Kemadabaja semakin eksis terlibat dalam persoalan-persoalan riil kemasyarakatan yang menimpa baik di lewotana, pun di tanah rantau. Kemadabaja juga telah membuat begitu banyak kegiatan yang patut mendapat apresiasi.

Kreativitas-kreativitas yang dimunculkan oleh anak-anak Kemadabaja  tak pernah lepas dari konteks ke-lamaholot-an. Salah satu misalnya, Tarian Baleo. Melalui tarian ini, Kemadabaja ingin menggali kembali kearifan lokal yang barangkali selama ini sudah dalam terkubur, serentak melestarikan nilai-nilai budaya yang lambat laun mulai terkikis oleh arus westernisasi.

Ah Kemadabaja, kata orang Lembata; Ko Sa Gemar le! Hehehehe.. Rasanya selalu baru dari waktu ke waktu. Selalu saja ada hal-hal mengasyikan yang ditemukan di sana.

Tak ada kata bosan, sebab yang ada adalah justru Kemadabaja menjadikan hidup kami lebih ringan. Ia membantu kami membangun eksistensi kami sebagai manusia yang seutuhnya.

Tiga belas tahun sudah Kemadabaja hadir. Tiga belas tahun bukan sebuah periode waktu yang singkat, tapi itu adalah sebuah rentang waktu panjang yang mengalir melewati begitu banyak gejolak. Aneka tantangan tentu tidak sedikit, bahkan mungkin pernah berpotensi  Kemadabaja. Tapi waktu telah membuktikan, Kemadabaja hari ini masih ada!

Maka pertanyaan-pertanyaan  penting yang mesti dijawab adalah: Sudakah Kemadabaja mencapai target sebagaimana yang menjadi cita-cita didirikannya?

Apakah di usia tiga belas tahun ini, Kemadabaja telah  berkontribusi banyak bagi   kemajuan lewotana Lembata?

Tentu saja Kemadabaja belum bisa memberi jawaban yang memuaskan. Kemadabaja masih perlu dan akan terus berbenah diri sambil tetap membaca tantangan-tantangan yang bisa dijadikan sebagai kesempatan.

Sebab persoalan-persoalan yang kerap kali harus dihadapi Kemadabaja adalah persoalan-persoalan yang sifatnya temporal, yang tidak bisa final  dalam sekali turun tangan.

Namun terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, Kemadabaja tak pernah berpikir untuk menyerah. Bahwasannya,  Kemadabaja tak  ingin generasi Lembata tumbuh seperti dalam dunia mimpi, di mana semua orang menatap dengan mata terpejam.

Tapi begitu terbangun dari mimpi, mereka mendapatkan dirinya terdampar pada realita pahit yang mesti dihindari. Sebab itu, Kemadabaja ingin membangunkan mereka dari tidur, membekali mereka segudang filosofi hidup, lalu mendorong mereka menghadapi pahit-manisnya kenyataan hidup.

Ah lewotana Lembata, lihatlah anak-anakmu dalam Kemadabaja ini. Mereka datang dari jauh demi cita, namun tak pernah lupa pula akan cinta kepadamu. Lihatlah jiwa anak-anakmu yang tak pernah letih berjuang untukmu. Lihatlah betapa besar hasrat menjadikanmu bintang yang bisa dikagumi setiap mata yang memperhatikanmu.

Taman Genjing Pramuka, Tugu Proklamasi, Pelataran Monas-Istana Negara, Wisma Bogor, Gedung Dekenat, Taman Kota Lewoleba, Lapangan Karet, Palad Matraman dan masih banyak lagi tempat yang tak pernah jenuh menjadi saksi bisu perjuangan Kemadabaja.

Di jalan-jalan kota, di tengah hiruk pikuk kebisingan Ibu Kota, kami tampilkan talenta kami, mengais sesen dua untuk saudara-sudara yang jadi korban Ile Lewotolok.

Di tengah sesaknya urusan-urusan pribadi, kami terpaksa mesti tinggalkan itu untuk bisa turut mempersiapkan pementasan budaya dari Lembata. Dan lain lagi pengalaman bersama Kemadabaja yang terlalu panjang untuk diringkas dalam cerita singkat ini.

Ahhh.. Andai kata Lembata dapat bicara, ini sudah berteriak bangga memiliki perisai-perisai Kemadabaja hari ini yang begitu kuat dan tangguh. Terhadap ini, barangkali kalian merasa saya terlalu berlebihan, namun demikianlah adanya. Apa yang saya catat di sini tidak lari jauh dari kenyataan hari-hari perjuangan kami bersama Kemadabaja.

Tapi kami tak butuh puja-puji, sebab kami tahu lelulur lewotanah telah memotret ini semua dari singgasana mereka. Kemadabaja hanya melanjutkan apa yang sebelumnya telah mereka rintis dengan keringat dan darah. Demi Lembata yang semakin baik, kami siap menjadi garda paling depan bersama Kemadabaja. Tak peduli usia kami yang masih terlalu belia untuk ikut ambil bagian dalam tanggung jawab besar ini, sebab yang ada dalam kepala kami: Lembata adalah kepunyaan bersama!

Lembata bukan tentang sederetan  huruf yang membentuk namanya. Lembata juga bukanlah sebuah negeri yang didongengkan kakek nenek sebetul tidur; bukan sebuah tempat mati yang tidak perlu dirawat. Tapi lembata adalah kita. Lembata adalah daging yang diberi napas kehidupan seperti kita. Ia bisa sedih, bisa juga marah, bisa gembira tapi bisa juga menjadi murka.

Maka dari itu, Kemadabaja hadir untuk turut memastikan bahwa  Lemabata hari ini baik-baik saja. Bila Lembata terluka, Kemadabaja siap menjadi obat yang dapat menyembuhkannya, atau meski hanya sebagai pengurang perih pedih yang ditimbulkan luka tersebut.  Dan untuk menjadi itu, Kemadabaja punya sejuta jurus yang bisa diandalakan untuk menyiasatinya. Demi Lembata, apapapun itu, Kemadabaja senantiasa siap!

Mungkin, jauh di luar sana, banyak yang memandang Kemadabaja hanya sebuah tulisan belaka, lalu kemudian hanya meliriknya tanpa dibaca. Hehehe… Kawan, ketahuilah; everything we do, we do it for us! Kemadabaja sadar, tak ada gunanya menuai tanpa menabur. Mari sama-sama kita rawat lewotana kita, tempat segala rindu berpulang. Surga kecil yang dititip Tuhan ke dunia.

Demi Lewotana tercinta, mengabdi tiada henti. Demi Lewotana tercinta, berkontribusi tiada putus. Atas nama lewotana Lembata, bunga cintaku terus mekar di teras rumah  KEMADABAJA!***

 

Athyn Withyn

Share your love
Suluh Nusa
Suluh Nusa

bagaimana engkau bisa belajar berenang dan menyelam, sementara engkau masih berada di atas tempat tidur.?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *