suluhnusa.com – Namang berada di tengah-tengah Kampung Lewoeleng, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Dan di tengah Namang atau lapangan luas itu terletak bangunan kecil beratap. Bangunan itu, bagi orang Lewoeleng di Lembata, dipercaya sebagai bangunan suci. Bangunan sakral. Bangunan mistis. Karena di dalam banguna itu terletak altar nenek moyang orang Lewoeleng.
Di tengah-tengah Namang (berupa lingkaran besar) itu ada satu batu besar yang sangat keramat bagi masyarakat kampung. Yang di sebut Buhtu. Dimana buhtu adalah tempat dilakukan upacara-upacara adat dan hajatan-hajatan besar.
Menurut salah seorang tua adat Tinus Tanah Maing, Buthu tersebut adalah tempat atau altar mistik para leluhur di jaman dahulu. Karena sakral dan suci, wanita yang sedang mengalami menstruasi atau datang bulan tidak oleh melewati tempat suci itu. Juga wanita yang sedang mengandung dilarang lewat.
Diceritakan, pada zaman belanda dahulu Buthu dijadikan sebagai tempat doa para leluhur sebelum berperang melawan pemerintah.
Di altar itu, saat ada upcara adat maka para tetua adat Desa Lewoeleng, duduk dan bermusyawarah, menyiapkan senjata seraya membaca mantra dan mengambil keputusan sebelum ‘meko tabe’ atau “berperang” melawan para penjajah. Dan setelah berperang mereka membuat syukuran di tempat itu juga.
Di keliling batu besar yang di sebut Buhtu itu terdapat enam batu besar yang di miliki oleh masing-masing suku di Kampung Lewoeleng, yaitu; Suku Tanah Maing sebagai Suku Tuan Tanah, Suku Bao Langun, Suku Atawollo, Suku Langotukan, Suku Raring dan Suku Kowa Lolong. Batu itu di sebut Nobo.
Setiap ada upacara adat dan hajatan yang dibuat di namang maka masing- masing suku beserta kepala sukunya mnempati batu (nobo) yang sudah ada sejak jaman nenek moyang itu.
Ini bagian dari cultur yg harus di jaga dan di lestarikan sbg warisan shg jgn sampai termakan oleh arus modernisasi. Perlu juga di sampaikan ke generasi skrg utk juga menghormati cultur ini.