suluhnusa.com-Dua laki-laki tanpa baju dengan obor menyala di tangan, berlari mengitari panggung.
Berteriak mengumumkan sesuatu dalam bahasa Lamaholot. Di atas panggung sudah tegak berdiri, bangunan rumah adat (korke bale) yang belum beratap.
Adegan awal yang cukup membuat pertanyaan di benak penonton. Gerangan apa yang mau ditampilkan?
Di bawah judul Take Korke Bale penonton berhasil dibawa serta sebagai bagian dari proses Take Korke Bale – proses membangun rumah adat Lamaholot.
Musik tradisional mendukung setiap adegan. Hentakan kegembiraan dan sesekali terdengar nyanyian sendu.
Korke Bale dalam keyakinan masyarakat Lamaholot bernilai suci dan berdaya mempersatukan.
Tak hanya dalam masyarakat sendiri (ribu ratu) tetapi dengan wujud tertinggi yang mereka yakini dan arwah para leluhur. Penghargaan dan penghormatan pada Korke Bale memang harus dilakukan.
Seperti ditunjukan, bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap nilai luhur Korke Bale diawali sejak proses pengerjaannya.
Cukup lama waktu dengan segala persiapan-persiapannya yang matang. Kehati-hatian menjadi sangat penting agar tidak salah dalam pengerjaan. Sebab diyakini, sekecil apapun kesalahan akan berakibat fatal. Tak hanya pada orang per orang tetapi keseluruhan masyarakat adat.
Pada satu adegan misalnya, seseorang terjatuh dari atap dan ini diyakini sebagai akibat dari ketidak sungguhan yang bersangkutan memberi dirinya dalam keseluruhan proses pengerjaan Korke Bale.
Terkapar dan dia harus dimurnikan sebagai penghormatan terhadap nilai luhur Korke Bale.Lagu sendu seolah-olah meminta pengampunan atas kesalahan dan restu untuk menyelesaikan pekerjaan.
Pesta rakyat dengan tarian-tarian gembira menandai berakhirnya pengerjaan Korke Bale. Musik gong gendang mengiringi setiap gerakan penari.
“Take Korke Bale ini terlahir sebagai ungkapan sukacita serta pemurnian diri dalam proses pengerjaan rumah adat masyarakat Lamaholot.
Pesan moralnya sangat kuat. Jika, tak kau hargai leluhurmu, budayamu, selalu ada hambatan sepanjang hidupmu.
Dan ke 15 anak-anak Teater Teras (Teater Rakyat Seminari San Dominggo) Hokeng ini sukses membawa pesan ini pada penonton Festival Seni Budaya Sedaratan Flores dan Lembata, Jumat (30/9) malam.
Memukau. Tepukan tangan tidak hanya di akhir pentas. Di sela-sela adegan, kerap disambut tepuk tangan. Mereka juga sukses membuat hening suasana.
Dan, hasilnya, anak-anak Seminari San Dominggo Hokeng yang mewakili Kabupaten Flores Timur ini menyabet juara satu. Di hadapan pengamat dari Jogjakarta, DR Nur Iswantara,M.Hum, Agusta Silvana Rosita, S,SN dan Dwi Hariana mereka unjuk kemampuan dengan apik.
Teater, kata pelatih mereka Romo Silu, adalah salah satu ‘kelas’ dalam pengembangan minat dan bakat anak Seminari San Dominggo Hokeng.
Bersama beberapa frater, anak-anak ini dilatih berteater. Pantas saja mereka tampil bagus meski di panggung ada beberapa kekurangan seperti tidak didukung pengeras suara. Dan, pantas pula mereka menyabet juara satu. Proficiat! (f.bataona/sandro)