
WEEKLLINE.NET_Sarjana Theologi jadi guru bahasa Indonesia.
Sekolah di Mook Manaar Bulatn Kabupaten Kutai Barat, guru bahasa Inggrisnya adalah seorang sarjana kehutanan.
Ini kenyataan. Realitas pendidikan yang tidak dapat dipungkiri. Banyak sekolah yang kekurangan guru sehingga menggunakan tenaga pendidikan dengan spesifikasi pendidikan yang tidak sesuai.
Guru yang mengajar di tempat itu tidak sesuai basic atau bidang keahliannya. Contoh nyata adalah guru Bahasa Inggris adalah seorang Bapak yang bergelar Sarjana Kehutanan. Bapak Thamrin, namanya.
Lain lagi, guru Bahasa Indonesia adalah seorang Ibu yang bergelar Sarjana Teologi. Ibu Sanita, namanya.
Salah siapa? Sistem pendidikan ? atau menteri pendidikan ? atau sekolah yang menyelenggarakan pendidikan ?
Akan tetapi kenyataan yang terjadi di SMPN 2 Mook Manaar Bulatn dan SMAN 1 Mook Manaar Bulatn yang terletak di kecamatan Mook Manaar Bulatn, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, menjadi kenyatan yang miris.
Demikian tulis Yustina Kukun, S.Pd, salah seorang tenaga pengajar SM3T Undana Kupang yang ditugaskan mengaja di Kutabarat, Kalimantan kepada suluhnusa.com, melalui email, 2 September 2015.

“Ini cerita saya, tentang pendidikan di tempat pengabdian saya. Sekolah tempat saya mengabdikan diri memang tidak jauh dari kota, yang memisahkan tempat ini dan membuat akses terlambat adalah sungai Mahakam. SMPN 2 Mook Manaar Bulatn sudah berdiri sekitar 12 tahun, dan saya sendiri tidak tahu pasti kapan tepatnya. Sedangkan SMAN 1 Mook Manaar Bulatn baru dibuka sesaat sebelum saya ditempatkan di tempat ini,” tulis Yustina Kukun.
Awalnya Yustina, kaget ketika pertama kali berada di sekolah itu, sebab dia menemukan bahwa banyak guru yng mengjar disekolah tersebut tidak sesuai dengan kualifikasi akademik.
Pertama, Guru yang mengajar di tempat ini tidak sesuai basic atau bidang keahliannya. Contoh nyata adalah guru Bahasa Inggris adalah seorang Bapak yang bergelar Sarjana Kehutanan, contoh lain adalah guru Bahasa Indonesia adalah seorang Ibu yang bergelar Sarjana Teologi.
“Masih banyak yang mengganjal di hati ini. Baru saya temukan di tempat ini. Namun ini jadi kesalahan siapa?,” ungkap Yustina.
Kedua, Sekolah belum menyiapkan buku-buku pelajaran dan hanya bermodalkan pupin (buku rangkuman) yang wajib ditebus oleh siswa pada awal semester. Sedangkan di perpustakaan tidak terdapat buku-buku terbaru.
Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat di sekolah yang mungkin perlu penanganan serius. Karna kekurangan buku pegangan siswa, pembelajaran di kelas pun akhirnya menjadi monoton.
Jarang sekali terjadi proses PAIKEM (pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan). Miris memang.
Ketiga, banyak guru yang bekerja di tempat ini rumahnya berada jauh di kota sehingga sering terlambat ke sekolah.
“Akibatnya guru-guru kontrak seperti saya dan teman-teman lain harus hadir lebih awal di sekolah. Sedihnya adalah banyak siswa yang mengeluh karna jarang mendapatkan haknya sebagai siswa yakni pelajaran,” ungkapnya.
Keempat, Kekurangan guru sangat terlihat di tempat ini. Terlebih di SMAN 1 MMB, hanya ada 3 guru yang SK nya di SMAN 1 MMB. Sedangkan lainnya adalah guru honor yang dibayar dengan Rp.100.000 per bulan. Notabene guru honor adalah guru-guru SMP yang diminta kesediaan untuk mengajar siang hari di SMAN 1 MMB.
“Prihatin memang, namun inilah yang terjadi,” tulis Yustina, guru asal Solor, Kabupaten Flotim ini.
Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan setiap masalah yang terjadi di daerah-daerah pelosok. Kirimkan lebih banyak lagi guru-guru muda ke daerah pelosok untuk menangani masalah kekurangan guru di tempat-tempat seperti ini.
“Saya memang tidak banyak membantu karna saya hanyalah guru muda yang dikontrak selama setahun. Datang pada awal september tahun 2014 dan pergi di akhir Agustus 2015. Namun, setahun memang membuat saya melihat sendiri bagaimana proses pendidikan di bumi Indonesia yang memang belum merata ini. Saya mendukung kegiatan SM3T maupun kegiatan serupa yang diselenggarakan oleh pihak DIKTI maupun pihak lain yang peduli pendidikan di Indonesia agar mampu membantu mengatasi sebagian masalah seputar pendidikan di daerah pelosok Indonesia,” tulis Yustina menutup tulisannya kepada suluhnusa.com lewat email. (yus/sandrowangak)