Catatan Pementasan Festival Wulublolong-Solor Timur
suluhnusa.com – Tulisan ini merupakan sebuah catatan pementasan dalam Festival di Solor selama dua hari. Penulis membuat catatan terhadap pementasan tersebut.
Pementasan Monolog “Perempuan yang Meracau”, dalam festival Wulublolong (Kamis 30 Agustus-Sabtu 31 Agustus 2018) adalah sebuah representasi kegelisahan yang tampak dalam situasi hidup masyarakat setempat. Bisa jadi monolog ini adalah panggung hidup manusia yang tidak disadari secara laten dan menjadi hal biasa dalam keseharian. Penulis naskah ini, Rm, Inno Koten, Pr sengaja membuka ruang baru kepada masyarakat untuk melihat kembali apa yang tampak tapi tak disadari, apa yang ada, tapi seolah tak ada.
Ada banyak nilai yang tampak dalam kolaborasi pemanggungan dari lekak-lekuk tubuh dari Evin Johanes (pemeran monolog) tersebut. Ia bermain apik dengan segala gestikulasi yang amat lihai serta menampilkan energi bahasa yang melecut keluar dari bibirnya sebagai kritik atas banyak soal yang menggigit kehidupan masyarakat. Misalnya saja, tampak erangan dan raungan atas ketiadaan air bersih yang menjadi kebutuhan masyarakat setempat.
Lain dari pada itu, di depan panggung terdapat tiga batu yang disiapkan sebagai tungku. Gambaran tiga tungku (Pemerintah, Adat-Istiadat dan Agama). Sebuah harapan agar tiga tungku mempererat tali persaudaraan dan menjalin komunikasi demi membangun hidup yang lebih baik.
Segala pementasan monolog tersebut sangat berkesan, mulai dari tata kelolah panggung, pemeran monolog, energi bahasa yang keluar sejalan dengan gestikulasi tubuh. Pencahayaan dalam monolog tersebut belum tertata dengan baik, sehingga sebagian besar pementasan terkesan agak gelap. Tetapi siapa yang tak sangka pementasan Evin Johanes menjadi begitu gemilang berkat kepiawaiannya dalam berekspresi. Ia bisa saja lantas menggulingkan kritik dengan letupan bahasa yang aduhai. Matanya bisa saja melotot, tubuhnya bisa saja berdebar, dan tangannya gemetar sambil berteriak penuh histeris.
Selain itu ada juga pementasan teater “Take Koke Bale”. Teater ini merupakan sebuah teater yang berkaitan dengan renovasi rumah adat. Teater yang dipadukan dengan seni tari tersebut amat berkesan. Artinya, gaya pementasan yang dipadukan dengan tarian menjadi amat khas serta membuat orang penasaran akan apa yang tampak.
Seni ini tak lain menghantar kita melihat kembali bagaimana orang merenovasi rumah adat sebagai tempuling indah dari rasa syukur yang amat bernilai. Di akhir dari teater dipentaskan tarian “ua” (memukul rotan di betis). Sebuah seni teater yang apik. Di sinilah kita melihat ada sederet seni lahiriah yang muncul ke riak permukaan hidup masyarakat setempat.
Nilai seni ini tampak dalam renovasi rumah adat, pangkal kayu, bentuk rumah serta pengatapan. Selain itu muncul juga bagaimana seni menghentakan kaki, mengekplorasi tubuh sebagai seni yang keluar dari diri.
Terlepas dari segala riak dan risau. Pembacaan saya ini terkesan amat dramatis. Walaupun ada banyak serpihan yang terlepas sana – sini, saya bisa jadi menulis sesuai dengan kekaguman saya, tetapi tak menutup kemungkinan pegiat seni yang lain memandang realita yang sama dari cara pandang yang berbeda. Bagi saya, apapun karya seni yang bergerak selalu memiliki ruang bertindaknya sendiri.
Ada yang memandang sebagai ruang kritik-konstruktif tetapi serentak ada yang menilai dari aspek keindahan, budaya, penokohan, pemanggungan dan lantas juga ada kritik- simbolik yang kadang tak dapat dijelaskan secara logis. Tapi itulah seni sebagai ruang kita mengolah rasa tanpa melupakan budaya sebagai ujung tombak, di mana masyarakat hidup dan berkolaborasi dengan alam dan segala seni yang tinggal di dalamnya.
“seni sebagai ruang kita mengolah rasa tanpa melupakan budaya sebagai ujung tombak, di mana masyarakat hidup dan berkolaborasi dengan alam dan segala seni yang tinggal di dalamnya.”
Yurgo Purab
(Pengagum Seni Lamaholot. Tinggal di Adonara)