suluhnusa.com – Pendidikan itu buah kebijakan politik. Tetapi, tak etik apabila pendidikan dipolitisasi. Ketika pendidikan dipolitisasi, maka esensi pendidikan berhenti. Yang tersisa, retorika dan proyek muslihat politik pendidikan.
Esensi pendidikan adalah, mengutip Driyakara, “memanusiakan manusia”. Dengan pendidikan, derajat kemanusiaan dan keadaban bangsa menjadi lebih baik. Dengan pendidikan, martabat seseorang kian mulia, kecerdasan (intelektual dan sosial) bertambah dan moral dan integritas terus utuh.
Politik kebijakan pendidikan diarahkan untuk menciptakan kualitas manusia yang bermartabat, bermoral dan cerdas. Jadi, politik pendidikan adalah usaha untuk terus meningkatkan derajat dan kualitas mutu pendidikan. Mutu pendidikan linear dengan kemajuan dan keadaban bangsa. Mutu pendidikan identik dengan gagasan, dana dan manajemen.
Para pemikir dan intelektual menciptakan terobosan gagasan pendidikan yang bernas, pemerintah menyiapkan dana dan manajemen pendidikan yang benar. Pemerintahan Jokowi-JK sudah melakukan itu secara bernas dan benar. Anggaran 20% APBN, kurikulum pendidikan dan gagasan “Indonesia Pintar” (wajib belajar 12 tahun bebas pungutan) menjadi dasar harapan untuk Indonesia yang hebat. Singkatnya, kualitas pendidikan sudah lebih baik (berkualitas) dan gratis!
Pendidikan gratis ditandai dengan besarnya dana transfer yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk urusan pendidikan. Melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), setiap warga negara berhak fasilitas pendidikan hingga tingkat SMA. Ada Program Indonesia Pintar (dengan Kartu Indonesia Pintar) dan beasiswa bagi yang kurang mampu. Lalu ada Bosda (Bantuan Operasional Daerah) untuk membantu meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Jadi, pendidikan sudah gratis, tetapi tidak berkualitas “gratisan”. Tetapi pendidikan tentu tidak berhenti diurusan gratis, melainkan harus diupayakan mencapai derajat pendidikan yang benar-benar berkualitas. Jika harus memilih, pendidikan berkualitas itu lebih baik tinimbang gratis. Sebab, gratis tak identik dengan berkualitas.
Buruknya, di musim Pilkada, politisi lebih gemar berretorika pendidikan gratis, ketimbang pendidikan berkualitas. Jelas, dengan retorika pendidikan gratis atas pendidikan yang sudah gratis (Nawacita berkaitan Pendidikan) sebenarnya politisi itu sedang bersilat lidah. Lebih tepatnya hoax, sebab nilai informasinya nol (istilah Rocky Gerung). Logika seorang negarawan harus diarahkan pada peningkatan kualitas pendidikan, bukan lagi soal gratis.
Boleh jadi, “gratis” menjadi salah “kecap manis” untuk suksesi. Demi kekuasaan, semua “kecap manis” ditumpahkan di atas piring janji politik. Gratis itu diksi politik yang cukup seksi meraih dan memperdaya masyarakat. Diksi “gratis” sering digunakan dalam dunia marketing komersial untuk memperdayai calon pembeli. Persis dengan maksud seperti itulah kecap manis pendidikan gratis diobral dalam kampanye Pilkada.
Selain untuk memperdaya pemilih, kecap manis pendidikan gratis juga mengerutkan dahi para publik yang mengerti postur anggaran daerah. Apabila “bosda” menjadi dasar alur pendidikan gratis, dari manakah sumber pembiayaan daerah untuk pendidikan gratis jika anggaran daerah terbatas. Lalu bagaimana dengan dialektika persetujuan politik anggarannya dengan DPRD-(persoalan seperti ini menjadi semakin rumit bila kepala daerahnya berasal dari calon independen).
Itu berarti, materi kampanye pendidikan gratis hanyalah sebuah bentuk politisasi pendidikan. Demi meraih simpati dan dukungan, urusan “memanusiakan manusia” dipolitisasi. Padahal, urusan kampanye harus mencerminkan kualitas pikir politisi, yakni memberi pencerahan dan pertimbangan yang rasional atas persoalan publik (:pendidikan).
Untuk itu, demi kamajuan dunia pendidikan, politisasi pendidikan gratis harus dihentikan. Politik kekuasaan akan lebih bermartabat apabila politisinya memiliki tekad untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan memperhatikan kesejahteraan para guru, peningkatan kualitas guru dan sarana dan prasaran pendidikan yang mumpuni.
Dunia pendidikan akan semakin maju apabila didukung oleh politisi yang berjiwa negarawan: politisi yang berpikir soal generasi yang akan datang, bukan kepentingan kekuasaan belaka. Pendidikan semakin baik apabila politisinya memberi contoh berpikir jangka panjang, bukan pragmatis dan oportunistik.
Urusan pendidikan adalah (juga) mencerdaskan kehidupan politisi. Politisi juga berkepentingan mencerdaskan pemilih dengan orasi kampanye politik yang benar, santun dan berbudaya. Dengan begitu, pemilih bisa mempertimbangkan kualitas dan kapabilitas politisi sebelum menjatuhkan pilihan politik. Janji yang irasional dan ungkapan hate-speech bernuansa “SARA” adalah bentuk insulting the public’s intelligence. Itu membuat pemilih semakin antipati pada politisi.
Tetapi, politisi tidak boleh mencemplungkan urusan kepentingan politik kekuasaannya ke dalam dunia pendidikan. Setiap aktivitas politik memang tak lepas dari politik. Mengutak-atik urusan pendidikan untuk mencapai kekuasaan politik adalah bentuk penghinaan terhadap martabat pendidikan.
Oleh karena itu, mari memberikan pendidikan politik, bukan politisasi pendidikan. Mari bertekad mengangkat kualitas pendidikan, bukan melepas janji politik pendidikan gratis! Retorika politik pendidikan gratis hanya menambah mahal ongkos harapan publik pada dunia pendidikan.
Akhirnya, mari jadikan pendidikan sebagai senjata untuk membasmi hama pragmatisme (kampanye) politik Pilkada.***
Alfred Tuname
Penulis Buku “le politique” (2018)
Hargailah semua niat baik orang atau lembaga. “Niat baik belum tentu hoax”.