Menghirup Nafas Politik Lamba Leda Raya

suluhnusa.com – Pada mulanya adalah kedaluan Lamba Leda. Lalu berdasarkan Keputusan Gubernur NTT Nomor Pem.66/1/2 dan Nomor Pem.66/1/33 pada tahun 1962 terbentuklah Kecamatan Lamba Leda pada wilayah bekas kedaluan Lamba Leda. Kecamtan Lamba Leda terbentuk bersamaan dengan 10 (sepuluh) kecamatan di Kabupaten Manggarai.

Atas pertimbangan luas wilayah, Kecamatan Lamba Leda terbagi secara administratif menjadi Kecamatan Lamba Leda yang ibukotanya Benteng Jawa dan Perwakilan Kecamatan Lamba Leda di Mano.

Kecamatan Lamba Leda meliputi bekas kedaluan Lamba Leda dari pesisir laut Flores sampai sebelah utara Rejo, sebelah baratnya sepanjang Wae Naong dan Wae Pesi, sebelah timurnya sepanjang Wae Togong sampai pesisi laut Flores. Perwakilan Kecamatan Lamba Leda meliputi sebelah utara Rejo, sebelah selatan Compang Necak (bagian utara), bagian barat dari kaki gunung sepanjang Wae Reno. Bagian selatannya sepanjang sepanjang pegunungan yang membujur dari hulu Wae Reno sampai desa Ngkiong Dora. Bagian timur desa Wunis dan sebelah barat Watu Nggong (Doroteus Hemo, 1987/1988).

Lalu, Perwakilan Kecamtan Lamba Leda berubah secara definitif berubah menjadi Kecamatan Poco Ranaka. Setelah terbentuknya Kabupaten Manggarai Timur (mekar dari Kabupaten Manggarai), pada tahun 2014 pemerintah daerah “membelah” Kecamatan Poco Ranaka dengan terbentuknya Kecamatan Poco Ranaka Timur yang ibu kotanya Lawir. Bagi masyarakat Lamba Leda, Kecamatan Poco Ranaka disebut sebagai “anak” dan Kecamatan Poco Ranaka Timur sebagai “cucu” (empo).

Atas nama penggunaan nama “Poco Ranaka”, di tahun-tahun belakangan ada semacam protes. Nama “Poco Ranaka” pada kabupaten di wilayah Manggarai Timur dinilai janggal. Sebab, Poco Ranaka adalah nama sebuah gunung yang justru terletak di wilayah administrasi Kabupaten Manggarai. Penggunaan nama “Poco Ranaka” itu juga menimbulkan keterbelahan sosiologis dan politis di wilayah bekas kedaluan Lamba Leda tersebut. Masyarakat Poco Ranaka dan Poco Ranaka Timur seakan pecah dan luput dari memori kolektif akan kesamaan sejarah kedaluan dan ikatan genealogis.

Idealnya, Kecamatan Poco Ranaka menjadi Kecamatan Lamba Leda Utara dan Kecamatan Poco Ranaka Timur menjadi Kecamatan Lamba Leda Timur. Dengan begitu, ingatan akan kesamaan sejarah dan ikatan genealogis orang Lamba Leda tetap terpelihara dan menjadi warisan historis penting dari generasi ke generasi. Wilayah bekas kedaluan Lamba Leda tersebut boleh disebut Lamba Leda Raya: terbentang dari Poco Pene hingga Nanga Lirang.

Regresi politik kedaluan orang Lamba Leda Raya tampaknya terus muncul dalam kontestasi politik modern. “Rang” atau gen politik terus tumbuh pada elite-elite politik asal Lamba Leda Raya. Nama politisi Chistian Rotok yang pernah menjadi bupati Manggarai (dua periode) adalah bukti aktivasi gen politik atau “rang” kedaluan Lamba Leda. Ia pun menjadi cerita kebanggaan politik masyarakat Lamba Leda Raya.

Pada konteks politik Manggarai Timur (Matim), pencarian akan kebanggaan dan kedigdayaan politik masyarakat Lamba Leda tampak begitu ambisius. Di awal politik Pilkada, beberapa elite politik Lamba Leda Raya berjibaku saling sikat-sikut merebut kekuasaan politik. Pilkada Matim 2008, ada David Sutarto (dalam paket Virgo: David Surtarto-Agustionus Liontas), Yoseph Biron Aur (dalam paket ABBA: Yoseph Biron Aur-Gregorius D. Bajang), Sabinus Suardi (dalam paket Salus: Sabinus Suardi-Galus Ganggus), Martinus Nahas (dalam paket Maju: Martinus Nahas-Ferdinandus Jerau) dan Agas Andreas (dalam paket Yoga: Yoseph Tote-Agas Andreas). Terdapat empat politisi dari gen politik kedaluan Lamba Leda merebut posisi bupati dan satu posisi wakil bupati. Pasca putaran dua Pilkada Matim 2008, pasangan Yoseph Tote dan Agas Andreas atau paket Yoga terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Manggarai Timur.

Pada Pilkada Matim 2013, pemerintahan Yoseph Tote dan Agas Andreas sebagai incumbent tetap terpilih menjadi bupati dan wakil bupati Manggarai Timur. Dua politisi asal Lamba Leda Raya yang ingin merebut posisi bupati terpaksa kandas. Willibrodus Nurdin Bolong (dalam paket Wintas: Willibrodus Nurdin Bolong-Tarsisius Sjukur Lupur), Sensi Gatas (dalam Paket Setia: Sensi Gatas-Yoseph Jehalut) dan Yoseph Biron Aur (dalam paket Bravo: Yoseph Biron Aur-David Sutarto). Duet politisi asal Lamba Leda Raya dalam paket Bravo tersebut tidak berhasil menggantikan pemerintahan Yoseph Tote dan Agas Andreas.

Pada Pilkada Matim 2008, masyarakat Lamba Leda Raya menyumbang suara sangat minim untuk Paket Yoga. Masyarakat Lamba Leda Raya menyumbang suara terbesar untuk Paket ABBA pada putaran pertama sehigga terjadi putaran ke dua untuk Pilkada 2008. Sementara pada Pilkada Matim 2013, masyarakat Lamba Leda Raya menyumbang suara cukup sebesar untuk Paket Wintas. Jumlah suara yang besar tersebut cukup menggentarkan incumbent yang lagi-lagi hanya mendapat suara yang minim di Lamba Leda Raya.

Dari pengalaman politik pada Pilkada Matim Tahun 2008 dan 2013, terbaca ada keinginan masyarakat Lamba Leda Raya untuk melahirkan pemimpin politik yang berasal dari Lamba Leda Raya. Ada keingingan untuk mengulang sejarah kejayaan politik Christian Rotok di Kabupaten Manggarai Timur. Memori kolektif itu ingin diletakan kembali di Kabupaten Manggarai Timur.

Akan tetapi, para elite politik Lamba Leda Raya tampak terlalu berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan politik. Bukan soal, sebab itu hak politik dari setiap insan politik. Sayangnya,ambisi politik itu tidak berbuah hasil. “Caki cerut” alias “saling sikut” antar kandidat asal Lamba Leda membuat suara pemilih terbelah. Semacam ada block within politik antar-elite politik Lamba Leda Raya.Persisnya, semua ingin jadi bupati.

Jelas, masyarakat Lamba Leda Raya tidak bersalah sebab mereka ingin politisinya jadi bupati. Atas keinginan itu, ada beban moral-politik yang harus ditanggung oleh para elite politik Lama Leda Raya yang kalah dalam Pilkada 2008 dan Pilkada 2013. Bahwa para elite politik itu tidak boleh lepas tangan atas konsekuensi politik yang tanggung oleh segenap masyarakat Lamba Leda Raya. Sebab dalil politik “kebijakan politik pembangunan bergantung pada kontribusi politik (suara)”, berlaku pada kebijakan pembangunan di Lamba Leda Raya.

Memasuki Pilkada 2018, nafaspolitik masyarakat Lamba Leda Raya sudah mulai lega. Harapan kepemimpinan politik sudah mulai terbuka. Bahwa representasi Agas Andreas sebagai putra Lamba Leda Raya sudah cukup 10 (sepuluh) tahun sebagai wakil bupati. Masyarakat Lamba Leda Raya tak ingin lagi mencari atau memilih wakil bupati sebagai representasi politik Lamba Leda Raya. Untuk lima tahun mendatang, masyarakat Lamba Leda Raya ingin memilih bupati sebagai representasi politik kedaluan Lamba Leda.

Keinginan dan harapan politik masyarakat bekas kedaluan Lamba Leda itu terbaca dari goet atau ungkapan metaforis yang sebut terus menenerus. Misalnya, “cau corang deit, toe cau harat”, “cau stempel”, “kawe ulu”, dll. Keinginan dan harapan itu bergayung-sambut setelah tetua Kota Komba (gendang Remong dan pat wa’u Mokel) yang berjasa secara politik memenangkan Paket Yoga I dan II, bersehati dan bersumpah (adat) untuk “leko leles” kepemimpinan Manggarai Timur.

Bahasa “ngger eta ulun, neka lemon ketiakn dite” terdengar menjadi “deklarasi politik” untuk masyarakat Lamba Leda Raya: pasca Kota Komba, tampuk kepemimpinan diserahkan untuk masyarakat Lamba Leda Raya, tetapi dengan syarat representasi politik wakil bupatinya berasal dari Kota Komba.

Oleh karena itu, Pilkada Matim 2018 merupakan kesempatan emas untuk keutuhan politik masyarakat Lamba Leda Raya. Pilkada Matim 2018 mesti dibaca dalam skema “attacking the impossible” bagi masyarakat Lamba Leda Raya. “Rang” politik sudah diserahkan untuk masyarakat bekas kedaluan Lamba Leda. It is a point of no return!Ca nai kudut cau corang, toe cau harat” mesti menjadi filosofi politik pemilihan masyarakat Lamba Lamba Leda Raya.

Angin politik sudah bertiup dari timur menuju barisan bukit dan lemba Lamba Leda Raya. Angin itu akan membawa kebebasan sebab ia akan menghalau kabut politik yang lama mendekap di langit Poco Pene hingga Nanga Lirang. Hiruplah angin politik kebebasan itu dalam-dalam biar terjadi perubahan yang lebih baik.

Reje lele bantang cama, pantil cama laing kudut agil, padir wa’i rentu sa’i, manik deu main! Salam demokrasi.***

[avatar user=”alfred” /]

Alfred Tuname

Penulis Buku “le politique” (2018)

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *