suluhnusa.com – Hiruk-pikuk pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur pada Juni 2018 tampak jauh dari urusan keselamatan rakyat dan lingkungan. Para pasangan calon, partai politik pendukung, dan tim sukses masih berkutat pada urusan ‘janji surga’ lalu tampak abai terhadap persoalan riil masyarakat Manggarai Timur.
Padahal, persoalan Manggarai Timur begitu kasat mata. Salah satunya terkait pertambangan, sebuah investasi yang telah lama menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Ekspansi pertambangan yang masih di wilayah ini, mulai dari Serise, Satarteu, Lengko Lolok, Tumbak, Legurlai, dan Weleng telah lama merampas lahan produktif masyarakat, merusak hutan, ritus budaya, dan pantai, bahkan tak sedikit masyarakat diintimidasi hingga berujung dibalik jeruji hanya karena mempertahankan tanah ulayatnya.
Ironisnya, konflik berkepanjangan di sektor pertambangan ini, tidak mendapat perhatian dari Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur. Bupati dan Wakil Bupati tampak berada di pihak perusahaan tambang, sementara rakyat yang telah memberikan mandat kepada Bupati Yoseph Tote dan Wakil Bupati Andreas Agas berjalan sendirian, tanpa ada perlindungan.
Kini, Pilkada Manggarai Timur kembali akan digelar, dan seluruh pasangan calon tidak ada yang bicara soal masalah masyarakat di daerah lingkar tambang, soal bagaimana mengembalikan tanah-tanah ulayat yang telah lama diklaim ‘kepemilikannya’ oleh perusahaan tambang, soal relasi sosial antar masyarakat yang telah lama porak-poranda, singkatnya tidak ada upaya pemulihan sosial-ekologis yang telah lama hancur akibat ulah pemerintah dan perusahaan tambang.
Dengan demikian, kami menilai Pilkada Manggarai Timur pada Juni 2018 hanya dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan bagi segelintir elit dan politisi, partai politik dan tim sukses, bahkan ada kecenderungan ditunggangi para pengusaha tambang.
Hal ini cukup beralasan, mengingat Manggarai Timur yang sebelumnya memiliki 17 Izin Tambang, masih terdapat tiga izin tambang yang masih aktif, yakni Aditya Bumi Pertambangan di Tumbak, Perkasa alam Energi di Lacu – Weleng, dan Istindo Mitra Perdana di Serise.
Kami melihat, dibalik kontestasi Pilkada Manggarai Timur, perusahaan-perusahaan tambang ini diduga kuat ikut bermain melalui praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi. Salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai bagian dari praktik ijon politik. Dan investasi pertambangan menjai salah satu bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi, mengingat tidak sedikit modal finansial yang dibutuhkan untuk berkontestasi dalam Pilkada.
Berdasarkan Laporan Direktorat Litbang KPK pada 2015, bahwa setidaknya dibutuhkan biaya Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk menjadi Bupati/Walikota, dan untuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Kebutuhan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan para kandidat yang ikut berkontestasi.
Kondisi itu diperkuat, mengingat para kandidat yang bertarung dalam Pilkada Manggarai Timur adalah para politisi lama, yang beberapa diantaranya punya rekam jejak buruk terkait pertambangan. Andreas Agas, misalnya, jelas menajdi bagian dari rezim yang tengah berkuasa, yang nota bene mengobral 17 Izin Tambang selama dua periode menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur. Para kandidat lain, pun tampak tidak ada rekam jejak jelas dalam menolak atau mendukung perjuangan masyarakat dalam menolak tambang. ***
Melky Nahar- Pengkampanye JATAM
Alsis Goa, OFM – JPIC OFM Indonesia
Marthen Djenarut – JPIC Keuskupan Ruteng