suluhnusa.com – Dua Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang sedang berkontestasi dalam Pilgub Jawa Timur belum ada yang serius membicarakan persoalan krisis dan masalah rakyat dan lingkungan, terutama terkait dampak buruk industri ekstraktif. Dua pasangan calon yang bertarung tampak abai terhadap masyarakat korban tambang, bahkan cenderung mengusung visi dan misi yang jauh dari persoalan riil masyarakat korban tambang.
Fakta yang menunjukkan pengabaian terhadap persoalan masyarakat korban tambang ini terlihat dari absesnnya upaya untuk menghentikan laju kerusakan lingkungan dan ruang produksi masyarakat akibat ekspansi tambang, mulai dari Lapindo di Porong, Sidoarjo, Tumpang Pitu di Banyuwangi, Lumajang Selatan, Jember, Lakardowo, Mojokerto, Pantai Utara Gresik, Perairan Madura dan wilayah lainnya di Jawa Timur. Padahal masyarakat di beberapa wilayah itu sudah dan tengah berhadapan dengan gempuran korporasi tambang, tanpa ada upaya perlindungan dari pemerintah.
Dalam konteks pertambangan migas, misalnya, maraknya pengeboran pengeboran di kawasan padat huni, mulai dari Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Mojokerto, Sidorajo dan Madura juga menjadi salah satu persoalan penting di Jawa Timur. Paling parah adalah kasus semburan Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, yang terus terjadi sejak 12 tahun lalu, terhitung mulai 29 Mei 2006. Akibatnya, lebih dari 20 ribu keluarga terusir yang tersebar di 19 desa di tiga kecamatan.
Bahkan, kondisi saat ini, seiring berjalannya waktu, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis, membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat.
Selain pengeboran migas yang terus berlangsung, persoalan tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi juga mengancam lebih dari 13 ribu nelayan yang tersebar di Kecamatan Pesanggaran. Hutan Tumpang Pitu yang sebelumnya sebagai kawasan hutan lindung, sengaja diturunkan statusnya menjadi hutan produksi melalui surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 oleh Menteri Kehutanan hanya untuk memenuhi ambisi korporasi tambang.
Padahal wilayah Tumpang Pitu merupakan gugusan pegunungan yang menjadi penyangga kawasan selatan Jawa dan Taman Nasional Meru Betiri. Potensi kerusakan kian nyata, dan tentu saja akan mengorbankan ribuan masyarakat setempat.
Krisis dan masalah di atas diperparah dengan pemberlakukan Kepmen ESDM No. 1204 K/30/MEM/2014tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Jawa dan Bali, di mana seluruh pertambangan mineral diproyeksikan dan diarahkan seluruhnya ke selatan Pulau Jawa, termasuk Jawa Timur. Kepmen ini tentu kontradiksi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Jawa Timur yang telah menggarisbawahi kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur sebagai kawasan rawan bencana tsunami.
Kami berpandangan, Pilgub Jawa Timur tidak akan berimplikasi pada upaya perbaikan kondisi sosial ekologis para korban tambang, tetapi tampak hanya dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan serta menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan pelaku bisnis yang berkepentingan untuk mendapat jaminan politik dan keamanan dalam melanggengkan bisnis mereka. Pertemuan kepentingan antara politisi dan pelaku bisnis inilah yang menjadi celah terjadinya praktik ijon politik. Apalagi dua pasangan calon yang bertarung dalam Pilgub Jatim ini adalah politisi lama, tidak mempunyai rekam jejak dalam mendukung perjuangan masyarakat dalam menolak pertambangan. ***
Melky Nahar – Jatam