suluhnusa.com – Selain wisata alamnya yang indah, Larantuka juga memiliki tempat wisata rohani yang unik. Semua sudah tahu, kota ini juga dijuluki Kota Reinha Rosari (Bunda Maria). Hal itu mungkin ada kaitannya dengan kedatangan bangsa Portugis dulu yang membawa ajaran agama Katolik di sana, sampai-sampai Larantuka menjadi pusat kerajaan Katolik.
Kemudian ada juga cerita penemuan pantung Bunda Maria (Tuan Ma), Tuhan Yesus (Tuan Ana), dan Tuan Meninu pada zaman dahulu sebagai awal mula Larantuka dijadikan sebagai Kota Bunda Maria. Hingga kini, tempat-tempat itu menjadi pusat penyembahan agama Katolik, khususnya saat prosesi Semana Santa yang dilakukan menjelang perayaan Paskah.
Selama berada di Larantuka, ada tiga tempat doa yang sempat dikunjungi. Pertama di Kapela Tuan Ana, lokasinya dekat dengan taman kota. Kedua, di patung Reinha Rosari. Sebuah patung Bunda Maria yang menyanggah Yesus kecil di dekat bahu dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan memegang tongkat panjang. Patung itu berwarna keemasan, berukuran besar dengan tinggi sekitar 3 meter. Ketika, tempat doa baru di Bukit Fatima.
Lokasi yang disebutkan terakhir akan saya ceritakan khusus setelah #JalanPagi hari ini. Bila Anda mengikuti kisah #JalanPagi sebelumnya, ceritanya berakhir saat kami menikmati air panas di Pantai Kawaliwu. Inilah lanjutkan ceritanya.
***
Saat itu matahari sudah tenggelam dengan sempurna. Alam sudah gelap. Kini diganti dengan pencahayaan listrik.
Menikmati berkas cahaya di kejauhan dengan formasi segela rupa, merupakan salah satu kenikmatan tersendiri. Sepanjang perjalanan pulang ke pusat Kota Larantuka, kami tenggelam dalam lamunan sambil memandang cahaya tersebut yang berasal dari kapal di laut dan lampu rumah di pulau seberang.
Mestinya kami langsung ke tempat makan di taman Kota Larantuka. Tapi beberapa orang megusulkan ke bukit Fatima terlebih dahulu. Semua sepakat.
Bukit Fatima merupakan destinasi wisata rohani Katolik atau tempat doa yang terbilang baru. Dulunya dinamakan Bukit San Dominggo. Dalam rangka memperingati 100 tahun penampakan Bunda Maria Fatima, maka tempat itu ditata menjadi tempat doa baru dengan sebuah Patung Bunda Maria Fatima berdiri megah di sana. Kini nama tempat itu lebih dikenal dengan sebutan Bukit Fatima.
Namanya juga bukit, jalan menuju ke sana menanjak tajam. Kalau dengan kendaraan bermotor, pastikan kondisinya sangat fit dan pengemudinya sudah profesional. Jika tidak, kita berpotensi celaka yang biasa disebut “lari mundur.”
Suasananya sangat tenang karena cukup jauh dari jalan umum dan pemukiman warga. Dari sana, kita makin leluasa melihat berkas cahaya di lautan (dari kapal) maupun di pulau seberang (Adonara, Solor dan Lembata). Kalau datangnya lebih sore sebelum matahari tenggelam, maka pemandangan yang tersaji berupa birunya laut, hamparan pulau dan gunung-gunung.
Selain menikmati suasana alamnya, saya manfaatkan waktu untuk berdoa di sana. Saya bersyukur dengan segala hal yang saya peroleh selama ini, termasuk kesempatan mengunjungi Larantuka-Flotim. Saya tidak membayangkan sebelumnya bisa mengalami peristiwa istimewa seperti ini. Dan saya sangat meyakini, tidak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Semua terjadi atas kehendak-Nya. Saya bisa ke Larantuka, bertemu dengan kru Agupena Flotim yang baik hati, menikmati keindahan alam dan wisata rohaninya, dan semua hal lain terjadi atas kehendak Tuhan. Nikmat mana lagi yang saya bisa dustai?
Dari sana, kami bergerak ke taman kota. “Kita makan malam di sana,” jelas ketua panitia.
Taman kota ini menjadi salah satu pusat kuliner yang sudah terkenal di Larantuka. Area tamannya remang-remang. Di area pinggir tempat penjualan makanan saja yang benderang.
Remang-remang yang saya maksudkan bukan berarti jarak pandang kita sangat pendek. Remang-remang romantis. Kalau cewek kita memiliki tahi lalat di pipi, masih bisa terlihat jelas lah.
Taman kota ini juga langsung berbatasan dengan laut. Di hadapannya ada pulau Adonara yang dipisahkan oleh selat Gonzalu. Menurut saya lokasinya sangat strategis.
Ternyata tidak hanya lokasinya saja yang bagus, makanannya juga enak-anak. Malam itu kami tamu dari luar Flotim mencoba menu ikan bakar. Sedangkan panitia sebagai tua rumah lebih memilih ayam goreng. Mungkin mereka sudah bosan makan ikan.
Ama Pion Ratulolly menjelaskan kalau mereka mau makan ikan, langsung presensi saja nama-nama ikan di tepi pantai. “Ayo ikan belang kuning, cumi, udang, ikan paus, dll. Ikan itu akan lompat sendiri ke kuali di dapur.” Tentu saja itu candaan yang membuat kami terpingkal-pingkal. Tapi memang benar, ikan begitu melimpah di sana. Tidak heran bila mereka bosan makan ikan dan lebih memilih ayam goreng.
Karena rombongan kami cukup banyak, pemilik warung menyilakan kami duduk di sebuah kafe yang sangat lengang malam itu. Begitu kami masuk dan duduk, kafe itu berubah menjadi tempat hiburan paling menarik se-kota Larantuka.
Kafe itu menyediakan fasilitas live karaoke. Ama Azam dan Pion langsung memegang kendali di sana. Keduanya bergantian mengisi memandu acara.
Kedua awak Agupena Flotim itu memiliki banyak talenta. Selain bisa menulis, mereka juga pembicara publik yang baik (bisa jadi MC dan comic), pandai bernyanyi, berpantun, dan bermain musik.
Lalu ada Ama Ary Toekan dan Zaeni Boli yang ahli membaca puisi. Sebuah puisi yang biasa-biasa saja akan menjadi luar biasa bila dibacakan keduanya.
Malam itu, Ama Zaeni membacakan puisi yang berisi kritikan atas tingkah laku Papa Novanto saat berkelit wakti dipanggil KPK dulu. Sedangkan Ama Ary membawakan puisi yang ada nama “Sophia” di dalamnya. Penggalan puisi itu selalu saya ingat, kurang lebih begini:
…air mata mu Sophia…
Ngalir deras dalam dompet dan celana dalamku
Makin seliwer, makin asyik…
Oh…No, Oh….Yes… (dan seterusnya. Saya hanya mampu mengingat bagian itu saja).
Sebagai penyemangat penampilan di panggung, ada Ama Amber Kabelen yang tidak berhenti bergoyang dan bersorak. Saking berisiko membahayakan suasana, Ama Pion memberi peringatan: “Kita boleh goyang sampai subuh, asalkan tetap dalam iman dan taqwa.” Kami terbahak-bahak lagi mendengar lelucon itu.
Ama Pion juga menawarkan tamu dari luar Flotim untuk bernyanyi atau menunjukkan kebolehan lain. Dari sekian banyak kami yang ada, hanya Ibu Valen (Kepala Kantor Bahasa NTT) yang berani tampil dan menyanyikan dua lagu sekaligus. Ibu berdarah Ambon itu memang memiliki vokal yang baik dan tampaknya sudah terbiasa menyanyi.
Sementara dalam suasana meriah itu, mungkin saya saja yang sedang gelisah. Saya berusaha membatalkan tiket pesawat pulang ke Kupang keesokan harinya. Ada tawaran dari kru Agupena untuk ikut tur literasi ke Pulau Adonara. Berhasil dan lega. Nantikan cerita selanjutnya tentang Adonara. ***
Saverinus Suhardin
Penulis Tinggal di Kupang