suluhnusa.com – Ketahanan gizi perlu dibangun lewat produksi dan konsumsi pangan lokal sebagai salah satu strategi jangka menengah dan panjang. Budidaya pangan beragam berbasis potensi lokal merupakan sebuah strategi pemenuhan pangan yang sejak lama dilakukan oleh umumnya masyarakat pedesaan di Nusa Tenggara Timur.
Berbagai jenis pangan lokal masih ditemukan di kebun-kebun, pekarangan, bekas kebun masyarakat maupun tumbuh liar di hutan dan dirawat alam. Bahkan, dalam kajian Pikul sejak tahun 2013, di setiap pulau di Provinsi NTT, sumber-sumber pangan lokal bergizi dapat ditemukan mulai dari serealia (jagung, padi, sorghum, jali, jewawut), umbi-umbian (keladi, talas, singkong, ganyong, ubi jalar dan berbagai umbi hutan) serta beragam kacang-kacangan.
Pun, pangan lokal ini pada kondisi tertentu masih dikonsumsi dalam jumlah yang cukup. Beragamnya pangan lokal yang tersedia, mestinya didorong agar tersaji di meja makan keluarga.
Mengkonsumsi pangan beragam akan bermanfaat bagi tubuh dalam memperoleh gizi yang cukup dan seimbang. Karena dengan gizi yang cukup dan seimbang, tubuh manusia tidak mudah terkena penyakit infeksi, terlindung dari penyakit kronis, serta produktivitas kerja lebih tinggi.
Kemenkes RI (2014) menulis bahwa semakin beragam jenis pangan yang dikonsumsi semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi. Bahkan semakin beragam pangan yang dikonsumsi semakin mudah tubuh memperoleh berbagai zat lainnya yang bermanfaat bagi kesehatan, sebab tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung semua jenis zat gizi yang dibutuhkan tubuh.
Dengan demikian, konsumsi pangan beragam merupakan salah satu kunci utama untuk mencegah terjadinya berbagai persoalan gizi yang kerap melanda anak-anak Nusa Tenggara Timur seperti hal anak pendek/stunting.
Hasil Riset Kesehatan dasar Kementerian Kesehatan RI tahun 2018, menunjukkan Prevelensi Stunting Prov. NTT sebesar 42,6% dan tertinggi se-Indonesia. Munculnya stunting diakibatkan kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi.
Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Karena itu tidaklah berlebihan jika semua pihak terutama Pemda Provinsi Nusa Tenggara Timur perlu mendorong konsumsi pangan beragam berbasis sumber daya lokal pada 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Agar beragam pangan lokal bisa diolah dan tersaji di meja makan, maka dibutuhkan dukungan teknologi untuk mempermudah proses pengolahan, menghemat waktu dan tenaga terutama perempuan di pedesaan untuk meragamkan konsumsi pangan bagi keluarganya. Selain itu, pemerintah perlu pula memastikan prasyarat-prasyarat lain untuk produksi pangan lokal seperti keamanan akses pada tanah, sumber air, dan juga menciptakan permintaan.
Program-program pemberian makanan tambahan, dan juga inisiasi program makan di sekolah, penitipan anak, dan juga PAUD yang berbasis pangan lokal dapat menjadi strategi dalam pemenuhan gizi sekaligus insentif bagi produsen pangan lokal. ***
Zadrak Mengge
Program Officer Young Female Farmers, Perkumpulan Pikul)