SULUH NUSA, LEMBATA – Kekerasan di dunia pendidikan baik kekerasan verbal maupun nonverbal itu ada banyak bentuk misalnya guru kepada siswa, siswa kepada guru dan sesama rekan guru.
Fenomena kekerasan terhadap guru ini seolah menjadi preseden buruk yang kian berulang. Kasus kekerasan terhadap guru ini pun seperti menjadi fenomena gunung es yang bisa terjadi di berbagai daerah lain. Padahal berbagai regulasi telah mengatur pentingnya perlindungan bagi guru.
Saat ini, terdapat banyak kasus kekerasan yang menimpa guru yang dilakukan oleh siswa juga antar rekan guru. Perlindungan hukum sangat diperlukan dalam memberikan keamanan dan kenyamanan bekerja bagi guru.
Dalam tulisan ini penulis berpendapat terkait kekerasan di dunia Pendidikan, kekerasan siswa terhadap guru atau guru terhadap guru. Kita tidak hanya cerdas melainkan cerdik melihat modus perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh siswa terhadap guru atau guru terhadap rekan guru itu sendiri.
Prinsip hukum yang perlu diperhatikan dalam proses penegakan hukum dalam kasus kekerasan yang dilakukan siswa terhadap guru. Modus perbuatan kekerasan terhadap guru meliputi perbuatan perundungan, penganiayaan, pelecehan, maupun pembunuhan.
Dari sisi guru prinsip hukum meliputi prinsip kesetaraan dihadapan hukum serta prinsip perlindungan atas pekerjaan maupun perlindungan atas kebebasan pribadi.
Kehadiran pemerintahan negara secara nyata tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alinea ke-4 (empat) yang berbunyi “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Perlindungan terhadap segenap bangsa Indonesia harus dimaknai sebagai perlindungan yang tidak bisa hanya merujuk pada komponen masyarakat namun meliputi pula masing-masing individu warga negara Indonesia.
Pada konteks ini maka dalam pengertian perlindungan terhadap individu ini maka menjadi pertanyaan kemudian apakah profesi termasuk hal yang seharusnya turut mendapat perlindungan. Pertanyaan berikutnya ialah jika kemudian profesi merupakan hal yang layak mendapat perlindungan, maka bagaimanakah dengan profesi guru? Apakah profesi guru merupakan hal yang turut memerlukan perlindungan negara?
Terhadap pertanyaan ini maka secara ideal tentu dapat dijawab sebagai sesuatu yang mutlak ketika guru mendapatkan perlindungan. Namun demikian apa dan bagaimana konsep model perlindungan guru ini perlu ditelaah lebih jauh.
Guru dalam kehadirannya merupakan pendidik professional yang mempunyai tugas pokok untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, serta kemudian mengevaluasi peserta didik untuk pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, juga pendidikan menengah.
Hal ini termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Kehadiran produk hukum sesuai cita-cita idealnya ialah salah satunya untuk melindungi profesi guru.
Namun demikian berdasarkan fakta dilapangan kehadiran produk hukum ini dalam kenyataan belum cukup mampu mewujudkan cita-cita kehadiran dimaksud.
Kekerasan terhadap guru akhir-akhir ini terus merebak terjadi disekitar kita. Kasus kekerasan nonverbal terhadap guru Damianus Dolu, S.Pd yang terjadi di SMA Negeri 1 Nubatukan, Kabupaten Lembata, NTT yang sedang diperjuangkan oleh Komunitas Penyelamat Guru Lembata, PGRI, IGI dan Komunitas Guru lainnya.
Dengan Kurikulum Merdeka dan kebijakan-kebijakan Pendidikan terkait Sekolah Ramah Anak, mungkin disalah-artikan oleh beberapa siswa ataupun guru itu sendiri. Dan ini merupakan tantangan bagi guru bahwa guru tidak hanya cerdas melainkan cerdik dalam melihat situasi ini.
Terkait dengan kekerasan ini, kita juga temui kekerasan verbal antar rekan guru. Kekerasan verbal antarrekan guru bisa terindikasi melalui sinisme, tak menghormati kreativitas dan prestasi rekan guru, bullying, gosip-gosipan di sekolah yang dilakukan oleh rekan guru. Faktor like-dislike ini mesti dilenyapkan di dalam otak guru dan lembaga Pendidikan khususnya di Lembata.
Fenomena ini adalah bagian dari kekerasan yang anti pendidikan. Guru yang menampakkan diri model ini mesti diberi mata pelajaran etika untuk memformat cara berpikir tentang bagaimana membangun hubungan harmonis dan saling mendukung sesama guru demi tercapainya pendidikan yang berkualitas.
Situasi dunia Pendidikan yang penulis kritisi adalah kekerasan verbal. Selain kekerasan nonverbal, sering terjadi juga kekerasan secara verbal.
Misalnya, siswa tidak etis saat berkomunikasi dengan guru atau guru dengan guru. Kekerasan secara verbal merupakan salah satu tindakan perundungan. Pembiaran terhadap kondisi ini tentu saja merupakan hal yang tidak diinginkan terutama bagi individu warga negara yang memiliki profesi sebagai guru. Pada kondisi demikian maka hal ini tentu saja berdampak negatif secara psikologis terhadap guru. Guru akan merasa kehilangan kewibawaannya di sekolah dalam melakukan pengajaran.
Efeknya berimbas kepada sikap, perilaku dan moral siswa dalam kesehariannya seperti siswa akhirnya berani melawan guru, bahkan siswa tidak takut apapun dalam kesehariannya.
Di luar daripada itu guru akan merasa tidak aman dan nyaman dalam melakukan dan menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Guru dapat dengan mudah terintimidasi baik dari dirinya sendiri maupun dari pihak luar serta kondisi lingkungan sekolah yang ada. Sementara itu dari pihak siswa peristiwa-peristiwa diatas dapat mendorong hadirnya persepsi buruk terhadap profesi guru. Kehadiran negara dalam hal ini pemerintah untuk melindungi profesi guru merupakan sesuatu hal yang sifatnya mutlak. Pengaturan hukum merupakan sarana menghadirkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat termasuk dalam konteks permasalahan ini.
Di tengah terjadinya peristiwa-peristiwa diatas maka hadir pertanyaannya kemudian yakni bagaimana sebenarnya keberadaan hukum di Indonesia mampu memberikan solusi terhadap keadaan ini.
Kekerasan verbal merupakan hal yang tidak bisa dibiarkan berlarut, dianggap hal yang biasa-biasa saja atau lebih parahnya lagi ini dianggap bahwa korban kekerasan verbal memberikan peluang sehingga terjadinya kekerasan verbal, ini adalah hal yang sangat konyol bagi guru yang mempunyai pemikiran mengubah sampah menjadi karya yang indah dan berguna.
Dalam dunia Pendidikan, dari sisi guru, kadang kita menganggap status golongan atau senioritas yang tinggi, sering kita lupa akan cara berkomunikasi yang baik dan beretika. Etika komunikasi sering digunakan untuk melihat baik atau buruknya cara berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat. Etika ini mencakup bidang komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam komunikasi verbal, etika yang dimaksud adalah penggunaan bahasa, baik secara lisan maupun tulisan.
Sedangkan etika komunikasi nonverbal mencakup cara berpakaian, cara berperilaku, dan sebagainya.
Menurut Abdul Samad Arief, dkk dalam buku Dasar-Dasar Komunikasi Bisnis (2021), etika adalah prinsip untuk mengatur perilaku dalam masyarakat. Sedangkan komunikasi adalah hubungan interaksi antarmanusia, berupa pengiriman dan penerimaan pesan. Jadi etika komunikasi bisa diartikan sebagai prinsip yang mengatur hubungan interaksi antar manusia. Etika komunikasi juga dapat diartikan sebagai norma, nilai, dan tingkah laku dalam menjalin komunikasi.
Melansir dari situs Encyclopedia, etika komunikasi (communication ethics) adalah tanggung jawab etis dalam berkomunikasi, baik yang dilakukan secara langsung atau lewat teknologi komunikasi, seperti gawai dan media sosial. Jika dilihat dari latar belakang historisnya, etika komunikasi berakar dari etika jurnalisme.
Karena banyaknya media komunikasi selama paruh terakhir abad ke-20, istilah etika media kadang digunakan sebagai sinonim untuk etika komunikasi. Penggunaan etika dalam berkomunikasi bertujuan untuk menyampaikan informasi dengan tepat, membangun relasi yang baik, sebagai bentuk sopan santun, dan bagian dari rasa saling menghormati serta menghargai orang lain.
Dikutip dari buku Etika Komunikasi dalam Media Sosial: Saring Sebelum Sharing (2021) karya Rahmanita Ginting, dkk, fungsi etika komunikasi: Berfungsi sebagai landasan moral Etika komunikasi membangun landasan moral antarmanusia. Misalnya berkomunikasi dengan Bahasa yang baik, berperilaku sopan saat berbicara dan sebagainya.
Mempermudah proses penyampaian pesan Dengan menjalankan etika komunikasi, manusia akan lebih mudah dalam menyampaikan dan menerima pesan. Karena bahasa yang digunakan mudah dimengerti kedua belah pihak. Sebagai panduan manusia dalam berkomunikasi. Fungsi lain etika komunikasi ialah sebagai panduan manusia dalam menjalin komunikasi. Panduan ini meliputi penggunaan bahasa, baik komunikasi lisan maupun tertulis, hingga cara berperilaku.
Masih maraknya kasus kekerasan terhadap guru menjadi penanda bahwa perlindungan terhadap guru masih belum berjalan secara optimal. Banyak faktor yang menyebabkan belum optimalnya perlindungan guru.
Pertama, belum atau tidak ada TATIP sekolah yang kemudian disosialisasikan kepada warga sekolah.
Kedua, belum memadainya regulasi perlindungan guru di tingkat peraturan daerah provinsi/kabupaten/kota. Padahal regulasi di tingkat daerah ini penting demi memberikan perlindungan guru secara teknis dan komprehensif.
Ketiga, secara kelembagaan, sudah saatnya perlu dibentuk komisi perlindungan guru (KPG) oleh pemerintah daerah guna memberikan pelayanan khusus terkait perlindungan guru. Hal ini demi mencegah dan menindak maraknya kasus-kasus kejahatan, kekerasan, ancaman, intimidasi, pelecehan, pemerasan, bullying, perlakuan diskriminatif, dan perlakuan tidak adil dari oknum-oknum tertentu terhadap para guru.
Ketika terjadi kasus kekerasan terhadap guru, semestinya organisasi profesilah yang menjadi motor penggerak untuk memberikan perlindungan bagi para guru. Hal ini mengingat Pasal 41 ayat (2) dan Pasal 42 huruf c UUGD yang mengatur bahwa salah satu fungsi dan kewenangan organisasi profesi ialah memberikan perlindungan profesi guru.
Adanya kasus kekerasan terhadap guru sangat melecehkan dan merendahkan harkat, martabat, dan kehormatan profesi guru. Oleh karena itu, organisasi profesi guru harus menjadi garda terdepan dalam melindungi guru dari berbagai tindakan yang mencederai atau melukai profesi guru.
Akan tetapi, problematika di lapangan masih terdapat guru yang belum mengikuti organisasi profesi guru. Padahal dalam Pasal 41 ayat (3) UUGD dinyatakan dengan tegas bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.
Untuk itu, ke depan, selain perlunya pembenahan regulasi, para guru juga harus memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya menjadi anggota organisasi profesi demi memperkuat penegakan perlindungan profesi guru. Begitu pun sebaliknya, organisasi profesi guru pun diharapkan lebih proaktif untuk mengajak dan mengedukasi para guru agar bergabung menjadi anggotanya, tanpa menyalahi hak kebebasan berkumpul dan berserikat dari para guru.
Di samping itu, organisasi profesi guru dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk melakukan aduan jika ditemukan adanya oknum guru yang melakukan berbagai tindakan pelanggaran.
Organisasi profesi ini dapat menjadi jembatan dengan masyarakat, sekaligus mekanisme kontrol terhadap perilaku guru agar senantiasa selaras dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, berbagai upaya di atas diharapkan dapat memperkuat upaya perlindungan guru dengan organisasi profesi sebagai faktor penggerak utamanya.+++Maria Dolorosa Bahy • Guru Honorer di Lembata/Seniman