Strategi Merawat Literasi Digital

Beranda » Jurnal » Strategi Merawat Literasi Digital

SULUHNUSA.COM – Semenjak bertahun-tahun yang lalu kita sudah akrab dengan slogan “Buku adalah jendela dunia”. Pada zaman dulu istilah ini sangat tepat, karena belum adanya internet dan gadget. Semua ilmu pengetahuan di seluruh dunia terdokumentasikan di dalam buku. Sehingga satu-satunya cara untuk mendapatkan ilmu dari berbagai dunia adalah dengan membaca buku. Makin beragam buku yang dibaca, makin luas ilmu yang didapat.

Sebagai generasi milenial yang lahir di tahun 1993, penulis masih ingat masa-masa menyenangkan ketika semasa SD diajak ayah ke toko buku bekas dan perpustakaan untuk membaca buku-buku dan majalah pengetahuan. Halaman demi halaman terasa begitu menakjubkan karena banyak informasi dari berbagai penjuru dunia yang baru penulis ketahui, yang bahkan tidak penulis peroleh dari sekolah maupun orang tua, benar-benar seperti mengintip seluruh dunia dari balik buku dan majalah.

Namun di era industri 4.0 ini dimana ekspansi jaringan internet dilakukan semakin luas, harga gadget semakin terjangkau, dan manusia semakin kreatif dalam memanfatakan teknologi, tren pendokumentasian ilmu dan informasi bergeser dari buku menjadi media online, seperti e-book, youtube, website, koran online, majalah online, maupun aplikasi belajar. Posisi buku sebagai jendela dunia mulai digeser oleh internet sebagai jendela dunia. Hebatnya lagi dengan internet sebagai jendela dunia, kita tidak hanya dapat membacanya seperti buku, tapi juga mendengar dan menontonnya.

Bisa kita lihat sekarang bermunculan aplikasi pembaca buku online seperti Scribd dan Google Books. Ada juga channel-channel youtube edukatif yang dikemas dengan interaktif, seperti Sisi Terang, Hujan Tanda Tanya, Zenius Education, bahkan media besar seperti National Geographic, sudah masuk ke dunia youtube. Aplikasi belajar seperti Brainly dan Ruang Guru juga hadir di Play Store. Koran-koran dan majalah pun sudah bergeser haluan menuju koran dan majalah online.

Keberadaan ilmu dan informasi di media online ini memberikan beberapa keuntungan, selain ramah lingkungan karena paperless, lebih murah, juga lebih ringan dibawa karena semuanya dapat diakses melalui gadget.

Sayangnya Indonesia tidak memanfaatkan internet sebagai jendela dunia dengan optimal. Berdasarkan data yang dirilis UNESCO, tingkat literasi Indonesia hanya 0,001. Yang artinya dari 1000 orang Indonesia hanya satu orang yang gemar membaca, padahal berbagai fasilitas memberikan kemudahan untuk membaca tidak hanya dari buku namun juga dari internet.

Menurut data BPS, sebanyak 73,75% penduduk Indonesia sudah memiliki akses ke internet. Waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet rata-rata 7 jam 59 menit per hari, dengan 3 jam 26 menit dihabiskan untuk mengakses media sosial, sisanya untuk aktivitas lainnya (Wearesocial, 2020).

Mari kita berfikir positif bahwa tingkat literasi yang rendah namun waktu akses internet cukup tinggi mungkin saja karena penduduk Indonesia memang tidak suka mengakses ilmu dengan membacanya, namun menontonnya melalui internet, dan media untuk menontonnya adalah melalui Youtube, sebab menurut data wearesocial 2020, Youtube adalah media platform yang paling sering diakses oleh penduduk Indonesia. Sehingga sisa waktu setelah mengakses media sosial mungkin digunakan untuk mengakses ilmu dan informasi melalui Youtube.

Sayangnya kita lagi-lagi harus kecewa karena rata-rata video yang trending di Youtube Indonesia adalah tentang musik, prank, wawancara artis, dan challange. Sementara berdasarkan kata kunci, 10 kata kunci yang paling sering dicari penduduk Indonesia pada tahun 2020 adalah: “lagu”, “indonesia”, “film”, “DJ”, “live”, “lucu”, “karaoke”, “dangdut”, “ipin upin”, dan “blackpink”. Ternyata berdasarkan trending dan kata kunci, masyarakat Indonesia lebih senang mengisi waktu menontonnya untuk menghibur diri daripada memperoleh ilmu dan informasi.

Dengan akses ke media sosial yang intens sementara tingkat literasi dan keingintahuan terhadap informasi rendah, tidak heran jika penduduk Indonesia menjadi sasaran empuk para penyebar hoaks. Terbukti berdasarkan riset yang dilakukan Dailysocial (2018), sebanyak 44,19% penduduk Indonesia belum bisa mendeteksi hoaks.

Melihat data-data di atas hendaknya kita menyadari betapa pentingnya ilmu dan informasi. Ilmu dan informasi tidak hanya dibutuhkan untuk mengembangkan wawasan dan meningkatkan intelektualitas sebagaimana pesan para guru dan orang tua dari zaman dahulu, tapi juga menangkal hoaks yang datang, apalagi zaman sekarang hoaks sangat mudah disebarkan dengan bermodalkan handphone, internet, dan jempol, tinggal kirim sambil berbaring-baring, tidak perlu toa, selebaran, atau papan pengumuman seperti zaman dahulu.

Kita dapat memulai gerakan melihat jendela dunia itu dari diri kita sendiri, seperti membiasakan membaca buku, koran, atau majalah baik cetak maupun online minimal beberapa menit sehari kemudian ditingkatkan menjadi beberapa jam. Jika ada berita yang datang, biasakan untuk mencari tahu dahulu kebenarannya, tidak langsung menerimanya atau bahkan menyebarkannya.

Kemudian kita dapat menyebarkan kebiasaan tersebut kepada orang-orang di sekitar kita yang memiliki kebiasaan literasi dan akses informasi rendah, seperti orang tua, teman-teman, atau kolega. Salah satu caranya, jika ada berita hoaks tersebar di grup atau ada keluarga yang menyampaikan berita hoaks, kita jelaskan bahwa itu tidak benar, dan memberikan link untuk membaca info yang sebenarnya. Dengan kebiasaan seperti itu, maka orang yang bersangkutan akan lebih hati-hati untuk menyebarkan informasi dan mencari tahu terlebih dahulu.

Lalu kepada generasi muda seperti anak-anak kita, cara yang dapat diterapkan adalah dengan “pembiasaan” dan “pembatasan”. Pembiasaan dengan cara terbiasa membacakan mereka buku sebelum tidur, membawa mereka ke perpustakaan dari kecil, dan memberi hadiah buku. Sehingga mereka merasa buku adalah hal yang sangat penting dan menyenangkan. Lalu pembatasan, dengan membatasi dari kecil apa-apa saja yang boleh mereka baca dan tonton. Jika ingin menonton Youtube harus didampingi, dibatasi waktunya, dan dibiasakan menonton channel yang berisi ilmu pengetahuan dan informasi. Dengan menerapkan cara tersebut, diharapkan generasi penerus kita akan menjadi generasi yang menggunakan buku dan internet sebagai jendela untuk melihat dunia.


Meidiana Pairuz

Statistisi Ahli Pertama di Badan Pusat Statistik

 

Bagikan:

Sandro Balawangak
Sandro Balawangak

bagaimana engkau bisa belajar berenang dan menyelam, sementara engkau masih berada di atas tempat tidur?

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *