Perayaan liturgi sabda yang diikuti secara virtul melalui media live treaming mestinya tidak mengubah otoritas iman gerejani yang kuat mengakar dalam tradisi yang selama ini dijalankan oleh gereja katolik.
MEDIA WLN – Virus corona atau yang lebih populer disebut Covid–19 pertama kali muncul di kota Wuhan, Cina pada akhir Desember 2019. Kemunculan covid-19 ini mendapat respon dari Organisasi Kesehatan dunia (WHO) dan menetapakan Covid-19 sebagai pandemi, karena covid-19 menular antarmanusia di berbagai belahan dunia. Ada beberapa penelitian menemukan bukti bahwa, virus ini berasal dari infeksi kelelawar ke tubuh manusia. Sistim penularan virus ini menyerang sistem pernapasan dan komplikasi penyakit karena infeksi virus ini bisa menyebabkan kematian.
Secara garis besar penularan virus Corona yaitu demam dengan suhu di atas 38 derajat, batuk kering, sesak napas. Gejalah ini umumnya muncul dalam waktu dua hari sampai dua minggu setelah penderita terpapar virus Corona. Penularan virus ini melalui beberapa cara yang sangat cepat dan tanpa disadari. Hal ini menyebabkan beberapa Negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown. Selain itu, kampanye massif social and phisical distancing oleh para pemegang otoritas pemerintah, membuat kita berjarak satu dengan yang lain. Semua semata-mata demi memutuskan mata rantai penyebaran covid-19.
Di Indonesia, pemerintah melakukan beberapa kebijakan untuk mengatasi penularan Covid–19, antara lain: bekerja dari rumah, sekolah dari rumah, kegiatan keagamaan dilaksanakan di setiap keluarga masing-masing. Bahkan di kota-kota besar diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial berskala Besar ( PSBB ).
Pemberlakuan kebijakan tersebut mengakibatkan kehidupan tatanan sosial mengalami perubahan yang sangat drastis. Relasi atau hubungan sosial antarmanusia mengalami kemunduran. Komunikasi dibangun dengan media online/dalam jaringan. Cara komunikasi tatap muka terjalin melalui jaringan virtual. Tidak hanya itu, kegiatan keagamaan pun mengalami perubahan. Komunitas gerejani melakukan ritus melalui medi live streaming melalui media elektronik.
Ritus keagamaan tersebut menunjukan adanya dinamika baru dalam keimanan orang katolik. Setiap orang katolik harus mempersiapan mental dan pendalaman iman yang sungguh-sunggu. Perayaan liturgi sabda yang diikuti secara virtul melalui media live treaming mestinya tidak mengubah otoritas iman gerejani yang kuat mengakar dalam tradisi yang selama ini dijalankan oleh gereja katolik.
Prioritas pendalaman iman dan keseriusan mengikuti perayaan ekaristi melalui media online harusnya menjadi dasar yang kuat untuk mempertahankan otoritas iman gerejani umat katolik. Keimanan yang ilahi harus tetap mengakar dalam diri orang katolik agar pemaknaan terhadap hari Tuhan menjadi yang utama.
***
Pada awal tulisannya Paus Yohanes Paulus II ingin mengajak para Uskup, Imam, serta semua umat beriman untuk melihat hakekat Hari Minggu. Hal ini perlu disampaikan di awal karena mengingat bahwa hari Minggu, hari Tuhan, telah menjadi kekhasan dalam sejarah Gereja sejak zaman Rasuli. Hari Minggu ini dilihat dalam hubungannya dengan pengenangan misteri Kebangkitan Kristus. Dengan kata lain, Paskahlah yang terulang minggu demi minggu. Kita mengenangkan dengan gembira misteri penyelamatan umat manusia, yang diawali dengan sengsara Kristus, wafat-Nya di salib, hingga pada kebangkitan-Nya yang mulia.
Kebangkitan Yesus ini merupakan peristiwa mendasar yang melandasi iman Kristiani (bdk. 1Kor 15:14). Peristiwa ini merupakan suatu hal yang menakjubkan dan misteri kebangkitan ini berada pada jantung misteri waktu sendiri. Dengan pengenangan misteri Paskah ini, Gereja berusaha menunjukkan poros sejarah yang sejati, yaitu: misteri asal mula dunia hingga tujuan terakhir manusia (alfa dan omega).
Merayakan hari Minggu sebagai Hari Tuhan, secara khusus sebagai pengenangan misteri kebangkitan, harus dilihat pula relevansi apa yang dapat diperoleh darinya. Konsili Vatikan II pun menegaskan dan menyatakan pentingnya relevansi dasar hari Minggu. Sejak tradisi para Rasul hingga sekarang, hari Minggu ini mengajak kita semua untuk menemukan ulang intensitas yang baru dari makna yang terkandung di dalamnya.
Pada zaman ini, kiranya lebih mudah bagi negara-negara Kristen tradisonal untuk selalu merayakan hari Minggu. Dalam dunia kerja masyarakat saat ini, terutama masyarakat sipil, hari Minggu pun tetap dianggap sebagai bagian yang tetap dalam acara kerja. Lebih-lebih dalam masa ini, marak istilah “weekend“, dan dalam pelaksanaanya sering digunakan untuk beristirahat dan bersenang-senang bersama keluarga. Hal ini merupakan fenomena budaya dan sosial baru. Yang perlu dipahami secara sungguh-sungguh, bahwa hari Minggu ini tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan untuk beristirahat secara fisik, tetapi juga untuk sebuah perayaan yang dekat dengan kemanusiaan kita. Sayangnya, kita cenderung melihat hari Minggu ini hanya sebagai bagian dalam “akhir pekan“.
Keadaan tersebut harus direfleksikan oleh setiap orang katolik dan berusaha untuk memahami secara lebih mendalam apa yang dimaksud dengan hari Minggu. Kita diajak untuk menggali ulang dasar-dasar ajaran yang mengakar dalam tradisi gerja katolik dan mendalaminya secara sungguh-sungguh. Oleh karen itu, kita perlu mencontoh kehidupan jemaat perdana/gereja perdana yang merayakan liturgi kristiani pertama.
Pada akhirnya, kita dituntun untuk menuju pada sebuah penghayatan, bahwa Hari Minggu adalah jantung dalam hidup Kristiani. Seruan Paus Yohanes, “Jangan takut! Bukalah pintu lebar-lebar bagi Kristus!“ merupakan ajakan untuk senantiasa meluangkan waktu untuk Kristus, supaya Ia selalu memancarkan cahaya pada kita dan memberi arah kepada-Nya.
Untuk memahami lebih jauh tentang hakekat hari minggu, Gereja Katolik menyerukan umatnya untuk merayakan hari Tuhan (Dies Domini) dan sekaligus hari gereja (Dies Ecclesiae) dari rumah. Secara teologis, hari Minggu merupakan dasar dan inti dari segenap tahun liturgi. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II, khususnya Sacrosanctum Concilium tentang Liturgi Suci, dikatakan bahwa, hari minggu itu pangkal dari segala pesta. Hari minggu menjadi hari kegembiraan dan bebas dari segala pekerjaan. Sedangkan dalam bab pertama surat Apostolik St. Yohanes Paulus II tentang Dies Domini menegaskan bahwa, hari minggu adalah hari Tuhan karena umat merayakan karya Sang Pencipta.
Hari Tuhan harus dilihat sebagai perayaan kebangkitan Yesus Kristus dan kurnia Roh Kudus, hari Gereja di mana Jemaat Ekaristi meyakini sebagai ‘jantung Ekaristi’ di mana diperingatinya kebangkitan Kristus. Sedangkan secara pastoral, hari Minggu sebagai hari gereja adalah kesempatan di mana segenap umat beriman berkumpul bersama. Kebersamaan tersebut adalah untuk membangun dan memupuk rasa komunitas Gerejawi. Dalam pertemuan itu tidak hanya ada kegiatan liturgis tapi juga aspek pastoral yang nampak melalui aksi yang terwujud dalam derma, kolekte, persembahan,tanggungan, pengumuman, penyampaian dan apresiasi lainnya yang memotivasi iman umat.
Semua kegiatan ini mau menunjukkan ciri persatuan umat Allah dibawah kegembalaan pemimpinnya sebagaimana kesatuan antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Persatuan atau komunio yang dibangun secara mendalam menjadi kekuatan untuk melaksanakan tugas misioner, yakni segenap umat Allah siap sedia untuk diutus ke seluruh dunia mewartakan kabar sukacita Allah bagi sesama.
Hari minggu merupakan hari Tuhan dengan beberapa aspek penting yang telah diuraikan di atas berdasarkan ensiklik Dies Domini. Yang menjadi tantangan terbesar umat katolik pada masa pandemi covid-19 ini adalah, bagaimana membangun kembali hakekat iman yang utuh dan kokoh?
Pemberlakuan PSBB dan slogan #stayathome membuat kita kembali berkumpul bersama keluarga. Kita membangun kembali kehidupan iman keluarga dan mengikuti perayaan ekaristi yang difasilitasi oleh media live streaming secara sungguh-sungguh dan mendalam. Persekutuan keluarga di rumah hendaknya membawa semua anggota keluarga menyadari bahwa, hanya Tuhanlah sumber dan asal hidup. Dalam nada syukur, keluarga-keluarga Katolik menyadari sungguh akan kehadiran Tuhan dan mendaraskan doa koronka untuk kemaslahatan seluruh umat yang ada di dunia. Ketekunan dan penghayatan iman gerejani yang terpatri dalam Dies Domini harus dirayakan dengan semangat dan kegembiraan agar pada masa pandemi ini kita bisa merayakan kemenangan sejati yang ilahi, yaitu kemenangan bersama Yesus Kristus.***
Mikhaela Kidi Balawangak
Guru Agama Katolik SMAN Larantuka-Flotim