“Kritik R.Ama Raya* Terhadap, Pekerjaan Jeti Awololong, Kolam Renang dan Fasilitas Lainnya”
suluhnusa.com – PT Bahana Krida Nusantara selaku pemenang lelang pelaksanaan proyek Pembangunan Jeti Awololong, Kolam Renang dan Fasilitas Lainnya. Proyek tersebut belum ada tanda-tanda pekerjaan fisik dimulai. Padahal keuangan telah cair senilai 85% dari nilai kontrak, tapi per 31 Desember 2018 belum ada barang diterima dilokasi proyek, minimal Lewoleba. Sekalipun pencairan 85% tersebut bertentangan dengan peraturan berlaku yang telah diurai pada tulisan sebelumnya, tapi tidak ada nada protes tentang soal pencairan 85% tersebut termasuk para penegak hukum.
Sesuai ketentuan, seharusnya Plt. Kepala Dinas Budpar selaku Pengguna Anggaran (PA) tidak boleh menerbitkan SPM pembayaran Prestasi Pekerjaan Pembangunan Jeti Apung di Pulau Siput Awololong sebelum barang yang diadakan oleh Penyedia belum diterima di Lewoleba/Pulau Siput Awolong. Kemudian kuasa BUD mempunyai kewajiban untuk: (a) meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran; (b) menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam perintah pembayaran; (c) menguji ketersediaan dana yang bersangkutan; (d) memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran daerah; dan (e) menolak pencairan dana, apabila perintah pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Oleh karena itu, Kuasa BUD pun tidak boleh menerbitkan SP2D sebelum barang yang diadakan oleh Penyedia belum diterima di Lewoleba/Pulau Siput Awolong.
PPK harus menggunakan kewenangannya yang diberi oleh Pengguna Anggaran sesuai dengan Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yaitu PPK harus menolak Surat Jaminan dalam hal tidak dilampiri dengan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Permenkeu Nomor 145/PMK.05/2017. Tapi dalam kenyataan lain dari sebnarnya, Pengguna Anggaran Dinas Budpar telah menerbitkan SPMLS dan Kuasa BUD pun telah menerbitkan SP2-LS atas beban APBD TA.2018, sehingga dana sekitar 85% dari nilai kontrak telah dicairkan dari rekening kas umum daerah kepada rekening Penyedia/Kontraktor sebelum barang/jasa diterima di Lewoleba/Pulau Siput Awolong.
Sehubungan dengan itu, untuk mengetahui lebih dalam keputusan/tindakan Pengguna anggaran, PPK, Kuasa BUD, Bendahara Penerimaan, dan PPTK serta PPK-SKPD mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban APBD TA 2018 untuk pembayaran terlebih dahulu sebelum barang-barang yang diadakan oleh Penyedia untuk Pembangunan Jeti Apung di Pulau Siput Awololong, maka pihak berwenang dapat menyelidiki hal-hal sebagai berikut :
Menyelidiki dengan membandingkan beberapa hal antara lain; hari, tanggal, dan tempat Konosemen Barang (Bill Loading/BL) yang dikeluarkan oleh Kapal yang mengangkut dan membongkar barang pengadaan untuk pembangunan Jati Terapung Awololong dan hari, tanggal, dan tempat ditandatanganinya Berita Acara Pemeriksaan dan Penerimaan Barang di Lewoleba/Pulau Siput Awolong dengan tanggal SPM-LS yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran dan tanggal SP2D-LS yang diterbitkan oleh Kuasa BUD serta tanggal Pemindahbukuan dari rekening Kas Umum Daerah ke Rekening Penyedia oleh Petugas Bank NTT Cabang lewoleba.
Apakah tanggal penerbitan SP2D oleh Kuasa BUD dan tanggal pemindahbukuan pembayaran kepada Pihak Penyedia oleh Petugas Bank NTT TERLEBIH DAHULU (lebih dulu) daripada tanggal Berita Acara pada Konosemen/Bill Loading yang dikeluarkan oleh Pihak Berwenang pada Kapal Pengangkut Barang untuk Pembangunan Jeti Terapung Pulau Siput Awololong atau secara bersamaan.
Keputusan apa yang diambil dan tindakan apa saja yang dilakukannya, mengakibatkan pengeluaran APBD sebesar 85 % sebelum barang untuk pembangunan Jeti Apung Pulau Siput Awololong diterima oleh Panitia Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) di Lewoleba.
Apakah ada Jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan yang dibuat oleh Penyedia dengan Surat Pernyataan dari Penyedia?.
Perlu meminta keterangan dari PPTK, PPK-SKPD, dan Bendahara Pengeluaran sebagai pejabat yang berwenang memproses SPP-LS untuk penerbitan SPM-LS oleh Pengguna Anggaran.
Dan sejauh apa pelaksanaan fisik pekerjaan di lokasi Awololong, hal ini penting karena dana telah cair 85% dan masa adendun 90 hari hampir berakhir pada tanggal 31 Maret 2019, dll.
Denda Keterlambatan
Awololong, sebuah pulau yang disebut sebagai kuburan leluhur. Saat ini Pemerintah Lembata hendak mengembangkan sebagai salah satu destinasi wisata dengan membangun Jeti, Kolam Renang dan Fasilitas Lainnya. Tapi sampai saat ini pekerjaan fisik belum berjalan, sekalipun sudah dilakukan adendum selama 90 hari sampai dengan 31 Maret 2019 dan pencairan dana 85%. Sesuai ketentuan, dengan keterlambatan tersebut , penyedia jasa wajib dikenakan denda keterlambatan pekerjaan.
Denda keterlambatan pekerjaan sudah diatur dalam Perpres Nomor 16 Tahun 2018. Dalam Kepres tersebut dijelaskan : “Jika terjadi keterlambatan penyelesaian pekerjaan, penyedia dikenakan 1 0/00 (satu permil) dari nilai kontrak atau 1 0/00 (satu permil) dari nilai bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan?”.
Pekerjaan proyek Awololong per 31 Desember 2018 dilakukan adendum selama 90 hari sampai dengan 31 Maret 2019. Olehnya pihak penyedia dikenakan perlu dikenakan denda keterlambatan selama 90 hari.
Besarnya nilai denda keterlambatan tidak dibatasi dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018, tergantung dari lamanya tambahan waktu yang dibutuhkan oleh penyedia untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai persetujuan dengan PPK.
Oleh karena itu apabila PPK dengan penyedia sepakat untuk memperpanjang jangka waktu kontrak dengan mengaddendum kontrak sesuai kesepakatan perpanjangan waktu pemberian kesempatan, maka kepada penyedia diwajibkan memperbaharui jaminan pelaksanaan, dengan nilai sebesar nilai denda hari keterlambatan.
Misal kedua pihak sepakat untuk memperpanjang pelaksanaan kontrak selama 90 hari kalender, maka sebelum kontrak perpanjangan ditanda-tangani penyedia harus terlebih dahulu memperpanjang jangka waktu berlakunya jaminan pelaksanaan dengan menambah nilai jaminan pelaksanaan dari 5% kontrak menjadi 9% kontrak, tapi apabila tambahan waktu penyelesaian pekerjaan nilai denda akumulasi kurang dari 5% kontrak, maka jaminan pelaksanaan tetap 5%, hanya jangka waktu berlakunya jaminan pelaksanaan yang harus diperpanjang oleh penyedia, mengikuti tambahan waktu untuk penyelesaian pekerjaan.
Denda keterlambatan sebetulnya merupakan suatu hukuman yang harus di bayar oleh pelaksana pekerjaan akibat keterlambatan penyelesaian pekerjaan, yang menyebabkan munculnya kerugian Keuangan Daerah (negara), karena nilai manfaat dari pekerjaan terlambat dinikmati oleh rakyat.
Oleh karena itu, pada kontrak pekerjaan yang karena sifat pekerjaan harus dilaksanakan secara bertahap, apabila penyedia terlambat memenuhi kewajiban, maka kepada penyedia dikenakan denda keterlambatan. Demikian juga apabila PPK memutuskan pemberlakuan nilai denda keterlambatan dari bagian kontrak, maka pengenaan denda sebaiknya juga diterapkan pada setiap keterlambatan penyelesaian pekerjaan sesuai dengan metode kerja yang ditawarkan oleh penyedia dalam dokumen penawaran dan sudah disepakati oleh PPK dengan penyedia sebelum tanda-tangan surat perjanjian (kontrak).
Keterlambatan pekerjaan, kondisi dimana pelaksana pekerjaan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan tepat waktu sesuai ketentuan dalam kontrak. Keterlambatan pekerjaan dapat diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya:
- Kondisi kahar : Menurut Perpres 16 Tahun 2018, keadaan kahar adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak menjadi tidak dapat dipenuhi.
- Perubahan atau Penambahan Volume Pekerjaan : Perubahan kondisi lapangan dibandingkan dengan pada saat perencanaan, akan berdampak pada perubahan volume pekerjaan yaitu terjadinya pengurangan atau penambahan volume pekerjaan, kondisi seperti ini tentu saja akan berdampak pada pelaksanaan pekerjaan termasuk terjadinya keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
- Kesalahan Pelaksana Pekerjaan : Keterlambatan penyelesaian pekerjaan dapat juga terjadi akibat kelalaian atau ketidakmampuan pelaksana pekerjaan menyelesaikan pekerjaan, yang menyebabkan progress pekerjaan tidak dapat dicapai sesuai rencana kerja yang diperjanjikan.
Untuk proyek pembangunan Jeti Awololong, Kolam Renang dan Fasilitas Lainnya senilai Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) bukan karena kondisi Kahar dan memang tidak ada bencana alam di Lembata, bukan juga karena penambahan volume pekerjaan dan memang fisik pekerjaan belum berjalan tapi kelalaaian pihak pelaksana.
Pemberlakuan Denda Keterlambatan
Sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Pasal 56 ayat (2) Perpres tersebut , bahwa apabila PPK memberi kesempatan kepada penyedia yang terlambat menyelesaikan pekerjaan akibat kesalahan penyedia, dan PPK berkeyakinan bahwa penyedia mampu menyelesaikan pekerjaan, maka kedua belah pihak akan menandatangani perpanjangan waktu kontrak dengan dikenakan denda keterlambatan senilai 1 0/00 (satu per mil) dari nilai kontrak atau nilai bagian kontrak, perhitungan pengenaan denda dari nilai kontrak sebelum Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 79 ayat (4) dan (5).
Oleh karena proyek pembangunan Jeti Awololong, Kolam Renang dan Fasilitas Lainnya senilai Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) sama sekali belum dilakukan, sementara realisasi keuangan sebesar 85% dari nilai kontrak Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah). Karena proyek tersebut belum berjalan maka tingkat kemanfaatannya belum dirasakan oleh pengguna barang, maka penyedia jasa dikenakan denda keterlambatan sesuai ketentuan dan dihitung dari nilai kontrak.
Perhitungan denda keterlambatan :
Nilai Kontrak sebesar Rp 6.892.900.000,00.-
Denda Keterlambatan sebesar 1/1000 x Rp 6.892.900.000,00.-
= Rp 6.892.900,-/hari x 90 hari = Rp 620.361.000,- (enam ratus dua puluh juta tiga ratus enam puluh satu ribu rupiah).
Dan denda tersebut harus dibayar kepada pengguna barang (Pemilik Proyek) Pemerintah Kabupaten Lembata. Publik perlu mencari tahu, sudahkah penyedia membayar denda keterlambatan tersebut ? Proyek yang menggunakan uang daearh (negara) harus dikelolah sesuai ketentuan dan benar-benar berdampak pada rakyat.
Dan per 31 Maret 2019 jika dilakukan adendum lagi karena fisik pekerjaan belum berjalan tentu dilakukan dengan syarat-syarat dan salah satu syaratnya adalah perlu surat pernyataan dari Kepala Daerah bahwa kondisi Lembata pada lokasi proyek mengalami bencana. Benarkah mengalami bencana?
Jika adendum dilakukan kembali maka denda keterlambatan bertambah. Jika dikali dua dari denda keterlambatan maka nilai dendanya sebesar Rp 1.240.722.000,- (satu milyar dua ratus empat puluh juta tujuh ratus dua puluh dua ribu rupiah) yang diapat dari Rp 620.361.000,- x 2. Jika itupun pekerjaan tidak berjalan maka perlu diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku karena telah merugikan keuangan daerah (negara).
Pelanggaran yang timbul ini tidak terjadi jika dilakukan pengendalian kontrak dari awal kontrak dan dari waktu ke waktu dan dilakukan secara jujur dan sesuai ketentuan. Dan denda keterlambatan pekerjaan sebagai hukuman bagi pihak pelaksana proyek, sehingga ke depan tidak ada lagi atau paling tidak dapat diminimalisir terjadinya pengenaan denda keterlambatan pekerjaan karena pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu.***
*Penulis,
Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Janabadra Yogyakarta