suluhnusa.com – Selepas Workshop Proses Kreatif Menulis di Almamater tercinta, Universitas Muhammadyah Kupang.
Atas permintaan Pion Ratulolly kami diantar oleh Dr. Lanny Koroh ke rumah Prof. Felysianus Sanga. Menggunakan mobil Avanza Hitam kami meluncur menuju rumah sang profesor. Selama menjadi mahasiswa di Kupang saya hanya sekali melihat dan mendengar sang profesor menjadi pembicara. Itu pun dalam waktu yang cukup singkat.
Ketika tiba, mata saya tertuju ke seorang pria yang berada tepat di bawah rindang pohon kedondong. Sedang keempat teman saya berusaha menyapu teras rumah demi mencari keberadaan sang profesor. Saya terus memastikan bahwa pria berambut uban yang tengah membelah kayu itu profesor Feliks (demikian ia biasa disapa). Dan benar. Pion Ratulolly langsung menggenggam tangannya dan kedua guru dan murid ini berpelukan erat. Bulir bening pun menetes di pipi keduanya.
Melihat adegan itu, dengan sigap saya pun mengabadikannya menggunakan Handphone. Ketika memotret ada persaan haru, lantaran keduanya begitu akrab. Saya membatin, betapa sang profesor sangat menyayangi sang murid.
Sebuah pelajaran berharga bagi saya yang juga seorang guru. Setelah kami berjabatan tangan dengan Prof. Feliks, kami diajak duduk di dalam rumah, namun kami menolaknya. Kami lebih memilih berada di bawah pohon rindang ini, maklum musim ini cuaca di Kupang cukup panas. Setelah mengambil kursi dari dalam rumah kami pun duduk.
Prof Feliks mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku bajunya. Beliau menawar rokok itu kepada teman-teman. Tapi diantara kami hanya dua orang yang perokok termasuk saya. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya lalu menerima tawaran beliau dan mengambil sebatang rokok dari beliau. Ini rokok seorang profesor pasti rasanya lebih nikmat. Inilah yang membuat pertemuan ini semakin cair. Kami begitu akrab hingga saya pun sempat membakar rokok untuk beliau.
Mengapa saya memutuskan untuk menerima tawaran rokok dari sang Profesor?. Padahal rokok yang ditawarkan beda dengan rokok yang menjadi selera saya. Saya merasa ini sebuah kehormatan, dan bentuk rasa sayang sorang ayah pada anaknya. Rokok yang beliau berikan pada saya itu “Dji Sam Soe” rasa cerutu yang nikmat.
Kami terus mendengarkan beliau bercerita, tentang metode perpikir ilmiah, kisah beliau tentang pendidikan pasca sarjananya. Dan saya baru tahu, ternyata pendidikan S2 beliau adalah matematika, dengan tesisnya tentang Etno Matematik.
Beliau mulai bercerita tentang kisah pertama kali menjadi dosen yang mengundang gelak tawa kami. Di usianya yang telah menginjak 70 tahun ini, beliau masih menjadi dosen dan terus diundang ke beberapa daerah menjadi pembicara. Beliau berpesan “Hidup tanpa seni itu, serupa tak bernyawa, maka teruslah bergiat dan berseni agar hidup ini terus indahdan bernyawa”. Terima kasih Profesor. ***
Ary Toekan