suluhnusa.com_Mungkin tidak banyak mengenal sosok ulama sufi berjasa mengembangkan islam di pulau Lombok yang juga dikenal dengan Pulau Seribu Masjid.
Dialah Tuan Guru Muhammad Zainuddin Arsyad, pendiri organisasi Maraqittalimat, putra pasangan Tuan Guru Muhamad Arsyad dan Ibu Makenun.
Beliau lahir di tahun 1912 di Desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur NTB dan berpulang kerahmatullah 4 Februari 1991, pada usia 79 tahun.
Ketika berumur empat tahun Zainuddin kecil menjadi anak angkat Amak Ismail dan Inak Isah karena mereka belum dikaruniai anak. Selang dua tahun kemudian, menginjak usia enam tahun, yaitu pada tahun 1918 Masehi mulai terlihat sifat ramah, bakti kedua orangtua.
Walaupun masih kecil sopan terhadap orang lain dan mencerminkan akhlak terpuji sehingga banyak orang yang sayang padanya.
Ayahnya, seorang tokoh agama bernama Tuan Guru Arsyad dengan gigih menentang penjajahan Jepang yang bermarkas di Wanasaba, Lombok Timur. Beliau gugur bersama seorang muridnya dalam pertempuran kala itu.
Karena melihat kepribadiannya sehari-hari yang dipandang bagus, dan menampakkan jiwa kemandirian, orang tuanya berkeinginan agar karakter tersebut dapat dibina menjadi alim berilmu. Dengan perjalanan mulus seperti air mengalir serta tidak bertele-tele, dalam musyawarah keluarga diputuskan agar Zainuddin belajar di Makkah Almukarromah.
Berbagai perbekalan dipersiapkan, sebab merasa Zainuddin kecil masih butuh belaian dan bimbingan, akan pergi jauh serta akan tinggal bersama orang yang tidak dikenal kebiasaannya dan juga bahasanya. Melihat si buah hati belahan jantung berangkat saat digendong, rasanya sangat sedih.
Isak tangis tak terbendung melihat anak yang semestinya masih bermain-main sanak saudara, tetangga akan pergi jauh dari rumah. Rasa haru melihat kenyataan perpisahan dengan putra yang merupakan suri tauladan berharga masa belia ini.
Setelah sampai dikota suci, dipondokkan dirumah Syekh Ali Mukminah, di sekolah Darul Ulum. Apa yang dilakukan Muhammad Zainuddin selama menuntut ilmu tidak pernah diceritakan karena takut menjadi kesombongan di masyarakat.
Menurut penuturan beberapa sumber terpercaya, beliau merupakan orang cerdas. Di usia lima belas mampu menghafal Alqur’an 30 juz dan mendapat predikat nilai “mumtaz” dari gurunya. Teman seperguruannya yang berasal dari Indonesia, Muhammad Yasin dari Padang dan Syekh Muhammad Basuni Asyafi’i yang masih keturunan imam Syafi’I, tinggal di tempat yang sama. Tempat penampungan mereka terletak di perkampungan Jarwal lebih kurang satu kilometer dari Masjidil Haram dan kini sudah tidak bisa ditemukan sebab diambil alih Pemerintah Arab Saudi.
Pernah satu kali, Inak Isah pengasuh kecilnya, bermimpi Zainuddin sedang asyik bermain layang-layang lalu tiba-tiba benang putus. Layang – laying itupun terbang sangat tinggi.
Mimpinya itu berulang sampai tiga kali. Kekhawatiran muncul, hati melayang serta jiwapun merana memikirkan sebuah makna mimpi. Karena merasa cemas kisahpun diceritakan ke suaminya Amak Ismail lalu disampaikan juga apa yang menggangu pemikiran orangtua ini kepada bapak tuan guru Arsyad. Lalu dikirimkanlah surat kepada anaknya menanyakan tentang kabar disana. Selang beberapa minggu surat dibalas dari Saudi, katanya jatuh dari tangga bangunan lantai atas. Syukurlah cuma sebagian tubuh Zainuddin yang masih merasa sakit.
Tahun demi tahun berjalan sampai dua puluh tahun lamanya dan sudah berhaji, barulah masa studinya selesai.
Ketika berusia dua puluh enam tahun Zainuddin kembali kekampung halaman yaitu sekitar tahun 1938. Bahasa komunikasi sehari-hari dirumah digunakan adalah bahasa Arab membuat orang jadi bingung menimbulkan sedikit miskomunikasi.
Karena kebiasaan, muncul asumsi menganggap Tuan Guru Bajang, sebutannya kala itu, sengaja tidak berbahasa Sasak atau Indonesia. Tidak sedikit mencemohkan namun semuanya diterima dengan lapang dada, dan sabar. Hampir setahun tinggal di Mamben, akhirnya bahasa daerah bisa dikuasai sambil membantu orang tuanya berdakwah.
Diawali pengajian kecil-kecilan dirumah sampai menjadi besar. Dakwah di Pulau Seribu Masjid dilakukan dengan menggunakan pendekatan sambil berniaga di jalan Allah dari kampung ke kampung dari pesisir ujung timur Kabupaten Lombok Timur sampai wilayah utara seperti Bayan, Panggung hingga Sidutan dilanjutkan kebagian Selatan, tepatnya di Bongor Lombok Barat.
Metode pertama bersilaturrahmi kepada para tokoh adat, agama, membicarakan tentang keimanan, dunia sementara dan akhirat selama-lamanya kemudian barulah membahas cara beribadah sambil berdagang keliling kerumah rumah.
Tokoh masyarakat Bayan mengatakan Tuan Guru Zainuddin berdagang bukan sebagai tujuan tapi sebagai alat berdakwah.
Barang yang diambil dari relasi dibawa berdagang ke seluruh Lombok . Jualannya kerap ditukar dengan hasil para petani. Ia menjual garam, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, kapas dan pakaian sambil mendirikan musholla, masjid sebagai tempat membina para umat.
Haji Lalu Akar mantan pengurus Maraqitta’limat menerangkan, sekitar 1941 beliau sudah masuk ke Dayan Gunung pertama kali dan bertemu Endi Abdul Gani keturunan Bugis-Makasar yang tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan.
Saat berdagang didusun Panggung Desa Selengen, disanalah tempat pertama mendirikan masjid bernama Masjid Panji Islam yang dibangun oleh Endi Abdurrahman yang berasal dari Sumbawa.
Pertemuannya, secara kebetulan Tuan Guru Zainuddin menjual garam, sementara Endi Abdul Gani sebagai pembeli. Si pembeli mengaku heran, karena penjual tidak mematok harga tinggi. Transaksi bisnis berlanjut dengan saling memperkenalkan diri sampai Tuan Guru Zainuddin diajak kerumahnya di Gubug Bangsal Telaga Begek Desa Sukadana. Sikap sopan, rendah hati dalam bertutur kata serta bertingkah santun membuat pemilik rumah semakin heran.
Bak gayung bersambut hubugan terjalin terus obrolan semakin serius saling menceritakan sejarah hidup. Ia menjamu seorang ulama sufi yang pernah menimba ilmu ditanah suci sehingga semakin kagumlah perasaan, lalu mengucapkan “alhamdulillah kami bersyukur tanpa disegaja kita dipertemukan allah swt ada tempat belajar ilmu agama Islam” . Dari sini syiar Islam megalami kemajuan di tanah Bayan.
Dalam menjalankan dakwahnya, kepala kampung (matua) Endi Abdul Gani membantu mendatangi warga sambil membawa dagangan dan sering menginap terdapat SR (Sekolah Rakyat) di Kampung Bugis Labuhan Carik Desa Anyar. Di kampung ini, terdapat dermaga yang memiliki sejarah yaitu sebagai tempat bersandar kapal Waliyullah pada saat Khuruj Fisabilillah keluar dari jalan Allah. Sistem Walisongo di Jawa tidak jauh berbeda dengan Tuan Guru Zainuddin, masuk Dayan Gunung pada masa kerajaan Raden Kertapati
Menurut cerita mantan camat Bayan Lalu Hasan, BA, ajaran yang dibawa Tuan Guru Zainuddin merusak kepercayaan yang dipegang teguh dan diwariskan nenek moyang seperti Wetu Telu. Untuk mencegahnya dilakukan dengan memutuskan hubungan jual-beli, bukan hanya beliau saja tapi juga pegusaha yang berasal dari Mamben Lombok Timur. Namun tidak berlangsung lama, mereka menyadari bahwa kegiatan ini tidak pernah menyinggung keyakinan tata cara yang berkembang selama ini.
Di Sembalun Lawang dan Bumbung, hal yang sama terjadi, setiap orang yang ditemuinya banyak menolak diajak sholat. Alasan mereka beragam. Bagi yang beralasan tidak memiliki pakaian, diberikan cuma-cuma asalkan mau mengerjakan sholat. Siapa belum mengerti diajarkan dengan lemah-lembut, sabar sampai bisa beribadah.
Penuturan orang orang, beliau sering memberikan pinjaman kepada membutuhkan dan tidak segan-segan membebaskan hutangnya apabila mau menjalankan syariat islam sepenuhnya.
Perjalanan kepelosok terpencil bukan berjalan mulus tapi penuh dengan tantangan dari orang yang benci. Ada yang melempari, ada yang ingin membunuhnya. Banyak yang tidak suka ajaran islam yang kaffah, tapi berkat kegigihannya beliau menghasilkan kader-kader mumpuni dari desa Mamben Lauk sampai tersebar wilayah Indonesia diantaranya diluar NTB seperti Sulawesi, Kalimantan yang ditandai dengan berdirinya Madrasah dan beberapa Pantai Asuhan.
Salah satu kader penerusnya, adalah H. Rohaiman, SE. yang ditemui suluhnusa.com di ruang kerja fraksi PPP dikantor DPRD Kabupaten Lombok Timur mengatakan “kami sukses mensosialisasikan 3S (Satu Rumah Satu Sarjana).
Ide ini direspon positif menteri agama RI ditahun 2010 dengan mendirikan Universitas STKIP, STIE, STIKES Hamzar serta pembentukan pusat bimbingan konseling dan lainnya.(habib)
tulisanya perlu di koreksi
nama ibunya bukan inak maknun brow
belia meninggal dunia dalam usia 80 tahun pada tanggal 2 februari 1992 artinya belia lahir bukan tahun 1912 tapi tahun 1908 brow
beliau berangkat ke makah tahun 1916
pulang dari mekah tahun 1932 bro