suluhnusa.com_Parodi politik lingkungan Bali mengkonstruksi dirinya sendiri. Senyawa Walhi Bali dan Jaringan Tolak Reklamasi (Jalak) Sidakarya berhasil memasuki pergolakan politik lokal Bali. Dengan bergantung pada pro-kontra proyek reklamasi Teluk Benoa, dua kelompok itu merobek proses dialogis kebijakan publik. Bukan nalar keadilan ekologis yang diunggah, tetapi unjuk kekuatan nalar politik kekuasaan yang menjadi rujuk kerja advokasi lingkungan hidup.
Cermin nalar politik Jalak Sidakarya terlihat dalam aksi demonstrasinya pada 16 Februari 2014. Ekspresi politik itu diwujudkan dengan menggotong simbol kematian, teror dan anarki. Ditenggarai, Walhi Bali menjadi induk yang “menyusui” Jalak Sidakarya. Diseminasi pengetahuan, indoktrinasi bahkan sentimen tertentu diberikan oleh sang induk untuk demonstrasi.
Setelah aksi demonstrasi, Walhi Bali menobatkan empat (4) orang anggota Jalak Sidakarya sebagai pahlawan lingkungan. Penobatan itu bermula dari tafsir bebas Walhi Bali tentang kepahlawanan dan demonstrasi. Dalam demonstrasi itu, Jalak Sidakarya menulis pesan teror dan ancaman pada spanduk. Pesan itu berbunyi “penggal kepala Mangku P”. Tulisan “Mangku P” merujuk pada Gubernur Bali, I Made Mangku Pastika. Ironis, Walhi Bali menganggap aksi ini sebagai aksi heroik. Dimana letak watak heroik Jalak Sidakarya?
Subyektivitas seringkali memungkinkan kriteria kepahlawanan menjadi bias. Sebab, kriteria itu sering bertolak belakang dengan nilai-nilai universal. Ramuan kriteria heroisme seharusnya berkenaan dengan nilai keadilan (justice), kebajikan (righteousness), kepedulian (compassion) (Wesley Campbell, 2005, hlm 57). Plato menyebutnya sebagai keutamaan (virtue), yakni selalu berbuat baik (David K. Johnson dan Willian Irwin, 2009, hlm 94-95). Tanpa rujukan nilai universal (:virtue), heroisme hanya akan dibawa kembali pada arketipe epos Homerik, dimana pahlawan adalah sosok yang memenggal musuh, dengan darah sebagai persembahan kemenangan.
Nilai-nilai universal dapat ditemukan pada perjuangan pahlawan lingkungan Aleta Baun, misalnya. Pada tanggal 16 April 2013, Aleta Baun, seorang ibu dari NTT mendapatkan menghargaan Goldman Environmental Prize 2013 di San Fransisco, Amerika Serikat. Ia berjasa karena berjuang mempertahankan sumber daya lingkungan dan adat Suku Mollo di lembah Gunung Mutis, NTT. Ia berjuang melawan agresi destruktif perusahaan tambang.
Perjuangan Aleta Baun didasarkan atas rasa kepedulian, kebenaran dan keadilan. Inilah perjuangan tulus dan emansipatoris. Bahwa, agresi pengrusakan harmoni dan nilai kesakralan merupakan agresi terhadap kemanusiaan. Inilah horison “yang-politis” (the political) pahlawan lingkungan Aleta Baun. Atas nilai-nilai universal, dunia mendukung ibu Aleta Baun.
Komparasi perjuangan antara Aleta Baun dan pseudo-aktivis Jalak Sidakarya berujung pada standar nilai yang sangat berbeda. Perjuangan Jalak Sidakarya berhorison politik (politics). Dalam gelar aksinya, fokus perjuangan Jalak Sidakarya adalah delegitimasi kekuasaan politik Bali. Sikap kontra reklamasi teluk Benoa hanyalah modus operandi. Tentu, Jalak Sidakarya tidak sendirian. Skenario aksi Jalak merupakan skenario politik kelompok kepentingan.
Dalam skenario itu, Jalak Sidakarya sebagai pion politik. Aktor intelektual sudah tahu bahwa pion akan mendapatkan konsekuensi hukum. Hal itu terjadi. Empat orang anggota Jalak Sidakarya menjadi tersangka. Kondisi itu menjadi senjata untuk semakin menekan penguasa. Sayangnya, bau busuk taktik itu sudah terendus. Sebagai pemimpim Bali, I Made Mangku Pastika menangguhkan penanahan keempat tersangka itu, sebab mereka hanyalah pion yang diperalat. Empat tersangka itu telah memilih jalan sia-sia dan mudah dibodohi. Kata fisuf Hegel, “innocent suffering would only be sad” (Emily Wilson, 2007, hlm. 197).
Keluguan (innocent) empat tersangka Jalak Sidakarya kian tragis ketika dinobatkan sebagai pahlawan. Gelar ini bukan spontanitas, tetapi sebuah ungkapan berparas politik. Gelar pahlawan adalah garansi Walhi Bali akan keluguan perjuangan Jalak Sidakarya. Sebab, Jalak Sidakarya hanyalah boneka politik Walhi Bali cs. (cum suis: berserta kelompoknya). Takaran heroisme Jalak Sidakarya menjadi rancu di sini.
Heroisme (Yunani, heros) adalah kualitas kepahlawanan. Concise Oxford Dictionary mendefinisikan heroisme sebagai “an act of courage or bravery beyond the capacity of most ordinary people, so far that admiration or wonder are produced in others”’. Penghargaan kepahlawanan diberikan oleh orang lain dengan penyertaan nilai-nilai universal atau konsensus.
Psikolog Lloyd J. Thomas pernah menulis dalam The Daily Gazette (29/6/2001) tentang kriteria heroisme untuk dunia kekinian. Menurut Lloyd, “today’s heroes need to be morally strong, ethically humane, and persistent in protecting life especially human life, including their own”. Dengan kriteria ini saja, kepahlawanan Jalak Sidakarya sudah keliru. Secara moral dan etika, aksi Jalak Sidakarya telah melukai rasa kemanusian dan keadilan. Tarian pujaan “necrophilliac” (kecintaan akan kematian) dalam spanduk teror bukan ciri kepahlawanan masa kini. Jalak Sidakarya bukan pahlawan lingkungan, melainkan pemuja kematian. Di sini, Walhi Bali masuk dalam takaran apologetic(pembenaran diri) dalam romantisme kepahlawanan Jalak Sidakarya. Inilah erosi heroisme.
03 April 2014
Alfred Tuname