6 Juni 1901, Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia lahir. Sosok yang sangat fenomenal ini adalah seorang yang dianggap serba bisa: seorang politikus handal, pejuang tangguh, orator ulung, pemikir visioner dan pemimpin hebat. Walau sudah tiada, tetapi nama dan segala jasanya akan terus diingat oleh segenap rakyat Indonesia.
Walau sebagai tokoh besar yang mungkin sangat sulit dicari bandingannya, tetapi Soekarno tetap dipenuhi misteri dan kontroversi, dimulai dari tempat kelahirannya. Setidaknya ada dua kota di Indonesia yang dianggap sebagai tempat kelahiran Bung Karno. Pertama adalah Blitar, sebuah kota yang terletak di bagian selatan provinsi Jawa Timur. Pada zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie atau perusahaan dagang Belanda di Hindia Belanda) berkuasa dulu, kemungkinan besar kota Blitar masuk ke dalam karisidenan Besuki.
Nama kota Blitar sebagai kota kelahiran sang Proklamator ditengarai muncul dari sebuah tulisan di dalam salah satu buku biografi Bung Karno. Sebagai seorang yang besar, memang banyak orang yang tertarik untuk membuat biografi Bung Karno.
Selain itu, semua buku pelajaran sejarah resmi di era Soeharto berkuasa memang menyebutkan Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno. Maka tak heran bila mereka yang pernah membaca buku sejarah hasil karya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) di masa Pak Harto berkuasa menganggap Blitar sebagai tempat kelahiran Bung Karno.
Tetapi seiring dengan runtuhnya orde baru yang tiran dan korup, sejarah pun ‘berubah’. Kini muncul nama Surabaya, sebuah kota di belahan utara provinsi Jawa Timur sebagai tempat kelahiran seorang Bung Karno. Tidak tanggung-tangung, putri Bung Karno sendiri, yakni Sukmawati Soekarnoputri yang meluruskan bahwa ayahanda tercintanya lahir di Surabaya.
Selain Sukmawati, pernyataan Bung Karno lahir di Surabaya juga diutarakan oleh banyak peneliti sejarah, seperti Bob Hering dan Nurinwa dalam berbagai karya tulisnya.
Terakhir, Peter A. Rohi, ketua dari Soekarno Institut juga mengatakan hal yang sama. Bahkan nama terakhir ini berencana untuk membuat prasasti Bung Karno di sebuah gedung yang dulu pernah digunakan sebagai kediaman orang tua Bung Karno.
Pemutarbalikan sejarah
Mengapa tempat kelahiran Bung Karno bisa ‘sangat membingungkan’ seperti ini? Jika keluarga Bung Karno saja mengatakan bahwa Sang Proklamator lahir di kota pahlawan, mengapa muncul Blitar? Apakah ada campur tangan dari pemerintah atau pihak-pihak tertentu dalam hal ini?
Perlu diketahui, bahkan pada saat Bung Karno berkuasa, Surabaya sudah dikenal sebagai kota kelahiran Bung Karno. Hal ini bisa dilihat dari beberapa dokumen bernilai sejarah tinggi, seperti buku berjudul Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, Ayah Bunda Bung Karno ataupun Ensiklopedia Indonesia 1955. Dalam ketiga buku tersebut, jelas disebutkan bahwa Bung Karno terlahir di Surabaya, bukan di kota lainnya. Lalu dari mana muncul Blitar?
Menurut Andreas Edison, salah satu budayawan kota Blitar, Bung Karno memang terlahir di Surabaya, tetapi juga pernah menghabiskan masa kecilnya di Bllitar. Inilah yang kemudian dapat menjelaskan mengenai kemunculan Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno.
Lanjut Andreas, Bung Karno kecil kerap sakit-sakitan. Akibatnya, orang tuanya mengirim beliau berobat ke kakeknya dari pihak ayah, yakni Hardjodikrama. Memang pada waktu itu, kakek Bung Karno terkenal sebagai orang sakti yang bisa menyembuhkan banyak penyakit.
Begitu sembuh, Bung Karno kembali ke Surabaya. Tetapi begitu tiba di Surabaya, Bung Karno kembali jatuh sakit. Hal ini terjadi berulang-ulang, yang akhirnya membuat keluarganya memutuskan untuk membiarkan Bung Karno tinggal bersama kakeknya. Di Blitar akhirnya Bung Karno meneruskan pendidikannya.
Karena sempat cukup lama tinggal di Blitar, ada kemungkinan untuk mengira bahwa Bung Karno terlahir di Blitar. Selain sebagai Kota Bung Karno (karena selain pernah dianggap sebagai tempat kelahiran bung Karno, Blitar yang pasti adalah kota tempat Bung Karno wafat), Kota Blitar juga dikenal sebagai kota PETA.
PETA atau Pembela Tanah Air adalah sebuah organisasi militer yang awalnya dibentuk oleh Jepang dengan tujuan untuk memobilisasi pemuda Indonesia agar mau berperang membela kepentingan Jepang, khususnya dalam perang Asia Timur Raya.
Tetapi pada perkembangannya, PETA justru digunakan oleh para pemimpin bangsa untuk menggembleng mental dan fisik para pemuda Indonesia dalam upaya merebut kemerdekaan. Pada tanggal 14 Februari 1945, PETA di Blitar bahkan sempat melancarkan sebuah pemberontakan besar yang membuat Jepang ketar-ketir. Pemberontakan dipimpin oleh duo pemimpin PETA, Syaodanco Supriyadi dan Daodanco Muradi. Karena begitu patriotis dan penting momen tersebut, maka Supriyadi pun diangkat sebagai salah satu pahlawan perjuangan kemerdekaan.
Surabaya, kota pahlawan dan proklamator
Jika pada buku-buku sejarah keluaran orde baru nama Blitar disebutkan sebagai kota kelahiran Bung Karno, maka menurut berbagai kalangan, justru Surabaya yang seharusnya ‘diakui’ sebagai kota kelahiran sang penggali pancasila tersebut. Hal ini bisa dibuktikan dengan berbagai hal. Tentu bukti paling kuat adalah pengakuan dari Sukmawati Soekarnoputri, selaku putri Bung Karno. Menurut Peter .A Rohi, Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno adalah sebuah kenyataan sejarah yang mutlak, dalam arti tidak terbantahkan lagi.
Menyingkap kabut sejarah
Menurut Peter Kasenda, Soekarno memiliki sebuah nama kecil, yakni Koesnoe Soesrodihardjo. Nama itu berubah menjadi Soekarno pada saat beliau berumur lima tahun. Adapun yang mengubah namanya menjadi Soekarno adalah ayahannya sendiri, yakni Raden Soekerni Soesroedihardjo. Pengubahaan nama tersebut karena pada saat itu Bung Karno sering sakit, sehingga menurut kepercayaan Jawa, namanya harus diubah. Nama Soekaro sendiri berasal dari kata Karnoe atau Karna, yakni seorang tokoh pahlawan tangguh dalam wiracrita Bharatayudha. Sementara penambahan awalan Soe- di depan memiliki arti ‘baik’.
Ketika kecil, Soekarno meniti pendidikan di Kota Blitar. Bahkan menurut Andreas Edinson, Bung Karno juga pernah bersekolah di Tulungagung. Walau untuk pernyataan yang satu ini tidak ada data sejarah yang memperkuatnya.
Pada saat Bung Karno berkuasa, beliau dikenal sebagai salah satu pemimpin yang disegani oleh banyak kalangan. Permintaan untuk mengulas sepak terjang Bung Karno atau latar belakangnya pun bermunculan. Semua dokumen maupun ulasan tersebut (yang ditulis pada saat Bung Karno berkuasa) menyebutkan kota Surabaya sebagai tempat kelahirannya.
Tetapi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, terjadi proses desukarnoisasi yang begitu hebat. Proses desukarnoisasi adalah proses pengaburan sejarah seputar Bung Karno. Tentu saja ini bersifat sistematis dan mengandung makna politik. Di era Soeharto pula, nama Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno hilang. Sebagai gantinya, muncul nama Blitar.
Pembohongan publik
Jika ini memang dilakukan secara sengaja, maka sungguh sangat disayangkan. Logikanya, jika kota kelahirannya saja sengaja dikaburkan dalam dokumen sejarah, lantas bagaimana dengan hal-hal lain yang memiliki nilai politis yang lebih kuat? Bukankah dengan sengaja melakukan penyelewengan sejarah adalah juga sebuah tindakan pembodohan publik.
Memang banyak kebohongan yang sudah dilakukan oleh rezim orde baru. Pembodohan publik melalui pengaburan sejarah juga dilakukan dengan sangat terkonsep, yakni melalui ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI).
Begitu bung Karno lengser dan Pak Harto berkuasa, kebebasan pers langsung berakhir. Dengan tangan besinya, Pak Harto memberangus media. Kemudian, melalui instruksinya, semua dokumen sejarah termasuk buku mata pelajaran sejarah harus disaring dan diverifikasi oleh ABRI. Dari sinilah semuanya berawal. Ditengarai, pemerintah orde baru sengaja menyelewengkan fakta sejarah mengenai kelahiran Bung Karno.
Upaya pelurusan sejarah
Entah apa motif di balik pembelokan fakta sejarah yang dilakukan oleh orde baru tersebut, tetapi upaya pelurusan sejarah harus segera dilakukan.
Memang kini buku-buku mata pelajaran sejarah sudah menuliskan Surabaya sebagai kota kelahiran Bung Karno, tetapi bagi para pelajar era Soeharto berkuasa, mereka sudah terlanjur dijejali dengan fakta yang salah.
Untuk itu harus ada upaya serius untuk meluruskannya, salah satunya dengan melakukan sosialisasi besar-besaran dan melunturkan kebohongan-kebohongan orde baru yang mungkin telah tertanam dalam benak sebagian rakyat indonesia. Jangan sampai Indonesia menjadi tertawaan dunia karena tidak tahu di mana proklamatornya sendiri lahir.
Setelah hal itu dilakukan, tidak ada salahnya untuk mencoba merevisi beberapa fakta yang kabur seputar Bung Karno yang memiliki nilai politis tinggi, seperti tuduhan keji orde baru bahwa Bung Karno berada di balik pemberontakan G30S/PKI di tahun 1965.
Tetapi mengingat hal ini menyangkut nilai politis yang besar dan berpotensi menyeret banyak pihak, mungkin masih butuh waktu yang lebih lama untuk melakukannya. Tetapi walau selama apapun, proses pelurusan sejarah harus dilakukan.
Karena hanya bangsa yang bodoh saja yang mau hidup pembodohan sejarah tanpa melakukan upaya pelurusan. Dan sebagai bangsa Indonesia, tentu kita tidak mau disebut demikian bukan? (Guritno Adi Siswoko).