suluhnusa.com_Catatan ini ditulis untuk membangkitkan rasa nasionalisme pemuda agar tidak menjadi primordialisme. Sepasang Pipit merenda hari dalam kemesraan. Berdua sepakat membangun bahtera dalam kebersamaan tanpa ikatan sakramen, tanpa undangan, tanpa icap Kabul, tanpa proklamasi juga naskah kerjasama (MOU).
Untuk membangun mahligai cinta, keduanya terbang menantang maut mencari ranting untuk membangun istana cinta agar boleh bermesraan terhindar dari teriknya matahari atau dinginnya malam dan juga percikan bunga api atau sentilan tangan jahil. Hanya dengan bahasa burung, sang kekasih Pipit itu melintasi waktu penuh kemesraan. Pipit itu begitu mesrah kendati zaman terus berganti, musimpun datang silih berganti.
68 tahun lalu, para pemuda bangsa ini menghentak dunia dengan memproklamirkan diri untuk hidup dalam kebhinekaan dibingkai dalam satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air. Tekad yang kuat seperti sepasang Pipit membangun negeri ini. Pesan moral yang terkadung pun sederhana,
“Jangan biarkan kata-kata penuh kebencian merasuki para pemuda untuk membenci Negara ini, jangan biarkan ranting-ranting sukuisme menjadi penghalang Indonesai bersatu, jangan biarkan tanah air kita tercabik-cabik karena kepentingan primodialisme tetapi bangunlah negeri ini dengan satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air”.
Para pemuda mendaraskannnya dalam peristiwa akbar penuh makna Sumpah Pemuda. Para Pemuda pingin agar bara ketimpangan social dan kemajemukan negeri ini tereliminasi dengan Ikrar Setia Sehidup Semati membangun negeri dalam detak yang sama, derap yang sama dan dalam nafas yang sama. Negeri inipun menghela perahu kemajemukan dan berlayar dalam kebersamaan menuju kesejahteraan.
Para pemuda, pelopor gerakan bersatu Sumpah Pemuda bernasar agar negeri ini senantiasa damai, tenang dan bersahaja karena kultur dan peradaban bangsa ini yang terkenal romantis dan selalu tersenyum meski badai disintegrasi bangsa terus saja mengancam. Bangsa inipun kemudian mengembang pekerjaan rumah yang maha besar yaitu harus selalu menghormati jasa para pahlawannya termasuk kelompok pemuda Sumpah Pemuda. Benarakah demikian?
Mari bermenung sembari berzikir tentang tembang lawas Ebiet G. Ade yang memantik nurani kita “bila masih mungkin kita menorehkan batin, atas nama jiwa mari heningkan cipta, karena sesungguhnya Tuhan telah memperhitungkan amal dan dosa kita”.
Dosa kita menumpuk bagai pasir pantai. Beragam tragedi kemanusiaan tumbuh dan bersemi bagai mawar berduri mewarnai negeri ini. Banyak nian jasa para pahlawan yang pudar dan mulai hilang dalam ingatan kita. Bangsa ini mulai sombong, gampang tersinggung, tidak jujur dan munafik. Banyak nian alasan yang diciptakan demi kelanggengan kekuasaan, banyak nian strategi dan jalan pintas yang dipakai demi menghangatkan jabatan.
Bencana dan tragedi yang kerap melanda negeri ini sebenarnya merupakan pesan pendahulu yang mesti direfleksikan untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Pertanyaannya..beranikah kita bangkit dari keterpurukan? Mulailah menghitung berapa sih kekuatan kontribusi masing-masing kita untuk negeri ini. Yang paling tulus untuk negeri ini mungkin hanya segelintir orang karena masyarakat akar rumput pun saat ini layu diracuni dengan racun rumput jenis gromeson, terbuai dengan kata manis nan masin para elite.
Masyarakat kelas menengah selalu tampil menepuk dada sebagai pahlawan, dan yang lebih ironis lagi, warga kelas kakap cenderung menjadikan warga kelas akar rumput sebagai alas kaki seumpama sandal jepit sawalo. Bencana, tragedi kemanusiaan, tragedi administrasi menjadi menarik untuk didiskusikan.
Tapi diskusi itu berujung rusuh tanpa notulen dan praktis ngalor ngidul saja. Contoh soalpun dapat kita lihat. Indonesia layer club ataupun wawancara langsung sejumlah media cenderung dijadikan ajang untuk mempertontonkan kepintaran para nara sumber, karena setelah diskusi itu, negeri inipun masih berlayar diterpa badai. Institusi penegak hukumpun mulai layu, kendur imannya dan nyaris tak berdaya melihat silaunya rupiah. Padahal para pemuda Sumpah Pemuda menyemangati nafas organisasinya kala itu hanya dengan mengumpulkan ranting-ranting idealisme tanpa rupiah, tanpa janji manis tanpa kepentingan politik. Janjinya sederhana saja, satu Nusa, Satu Bahasa dan Satu Bangsa atau Satu Tanah Air—indonesia. Kepentingannnyapun hanya satu…agar merah putih berkibar dari Sabang sampai Merauke.
Merah Putih memang telah berkibar dari Sabang sampai Merauke bahkan dari Merauke sampai ke Sabang diiringi “kantar” Berkibarlah Benderaku, Merah Putih Teruslah Berkibar di tiang tertinggi, bahkan untuk itu, gelar pasukanpun disiagakan demi Merah Putih- dan orang Indonesia bangga memiliki Merah Putih. Seiring dengan itu, mari “katong” bertanya, seberapa besar Merah Darah kita seberapa besar Putih tulang kita, seperti apa Merah Putih itu berkibar dalam sanubari kita. Jangan menggunakan ilmau matematika untuk menghitung berapa besar kontribusi kita untuk negeri ini tetapi pakailah ilmu batin agar jangan lagi gampang tersinggung, jangan lagi terjerumus dalam diplomasi hayalan, karena untuk membangun negeri ini pakalilah kalimat bijak jangan bertanya tentang berapa banyak yang telah diberikan negeri ini untuk kita tetapi bertanyalah pada diri sendiri berapa banyak yang telah kita lakukan untuk negeri ini.
Karena janji para pemuda Sumpah Pemuda bagaikan shymphoni rindu yang harus terus mengalun dalam lubuk hati kita masing-masing. Janji para pemuda Sumpah Pemuda sederhana saja, satu Nusa, Satu Bahasa dan Satu Bangsa atau Satu Tanah Air—indonesia. Kepentingan para pemuda Sumpah Pemuda hanya satu…agar merah putih berkibar dari Sabang sampai Merauke. (Sultan Ali Geroda)