“…Ooo Lera Wulan, Tanah Ekang. Timur Teti Wara Pelali, Lali Pe Gere Teti Pe Lodo…”
“Ao ao kenali kawok oo. Utim mato likat tawa lekem megali kawok ooo ooo”. (Hai anjing, makhluk hina. Sehari-hari hanya berbaring melingkari tungku dapur. Kemaluanmu kau letakkan dekat alas tungku untuk mengais abu dapur).
suluhnusa.com – Pulau Awololong, sebuah pulau indah di pulau Lembata, letaknya di utara Kota Lewoleba dengan luas sekitar kurang lebih 600 meter dengan garis tengah sekitar 25 meter, ketinggian kurang lebih 50 cm.
Jarak kota Lewoleba dan pulau Awololong sekitar kurang lebih 1,5 kilometer. Untuk menuju pulau Awololong dapat ditempuh sekitar 10 sampai 25 menit dengan menggunakan sampan. Pulau Awololong dihuni ribuan kemang dan siput, pulau Awololong dikenal juga sebagai PULAU SIPUT.
Awololong, pulau yang indah. Diapit dua gunung Ile Lewotolok dan Ile Boleng. Pagi dan sore hari tampak perahu nelayan keluar masuk di teluk Lewoleba, yang ditengahnya terdapat tumpukan pasir putih, laut yang bening. Bila hendak landing dengan pesawat di Wunopito Airport, para penumpang dan awak pesawat menikmati begitu indahnya pulau Awololong dengan pasir putih jernih dan mengkilau, pulau yang tampak alami.
Pulau yang belum dicemari oleh apapun ini bernuansa kultural yang tinggi. Pulau Awololong adalah “beting penghalang” yang sebagian besar masih berada dibawah permukaan laut. Pulau Awolong menyimpan sejarah dengan terkubur ratusan leluhur-leluhur yang tenggelam dengan tenggelamnya pulau Awololong kedasar laut kala itu, dan masih dikenang sampai hari ini oleh anak tanah lewo ini, Lomblen. Pulau Awololong sebelum tenggelam adalah satu daratan dengan Lewoleba dan Lamahora.
Konon, pada suatu malam pesta ini mencapai puncak dengan menggelar tarian dolo-dolu yang telah membentuk beberapa lingkaran. Syair dan pantun muncul silih berganti dari pasangan suami istri “Peni Utan Lolong dan Sadu Lima Letu”, dan penyanyi dari peserta penari lain.
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, muncullah seekor anjing jantan berlari kesana kemari seperti sedang mabuk, anjing tsb mengelilingi lingkaran tarian dolo-dolo di bagian dalam lingkaran penari. Tingkah anjing ini sungguh mengganggu peserta hamang (penari), anjing tsb ditendang kesana kemari oleh para penari. Seorang dari penari tsb meludahi anjing tsb sambil memaki “kalau kau mau ikut menari, siapkanlah dirimu dulu baru masuk kemari”.
Mendengar dirinya ditendang dan di caci maki, anjing tsb berlari keluar dari dalam lingkaran tarian tsb menuju sebuah rumah penduduk. Masuk dan mengambil sebuah alas periuk yang dianyam dari daun lontar, langsung dipakai dikepalanya sebagai pengganti topi (kenobo koli lolo). Dengan topi kolinya, anjing itu lalu berlari masuk ketengah-tengah lingkaran tarian (hamang) yang kian meriah tsb dan melantunkan syair;
“…Ooo Lera Wulan, Tanah Ekang. Timur Teti Wara Pelali, Lali Pe Gere Teti Pe Lodo…(dst)”
“Ao ao kenali kawok oo. Utim mato likat tawa lekem megali kawok ooo ooo”. (Hai anjing, makhluk hina. Sehari-hari hanya berbaring melingkari tungku dapur. Kemaluanmu kau letakkan dekat alas tungku untuk mengais abu dapur).
Seluruh peserta menari tersontak hening mendengar syair yang keluar dari mulut anjing tsb. Seluruh peserta penari bercampur antara takjub dan ketakutan. Awololong mendadak gempar dan panik dan pada saat bersamaan muncul angin kencang (badai) dan gelombang pasang melanda seluruh Awololong. Awololong tenggelam tersapu air laut waktu itu. Banyak penduduk Awololong terkubur ke dasar laut. Sebagian penduduk menyelamatkan diri dengan sampan dan menyebar. Sebagian ke Lewoleba, Lamahora, Baolangu, Lewokukung, Ileape, Lite Ulumado, Nubamado, Belang, Atadei, Lamalera dll. Awololong tinggal pulau dengan pasir putih dengan laut yang jernih. Di dasar terdalam Awololong adalah tumpukkan mayat para leluhur yang tenggelam bersama tenggelamnya Awololong masa itu, Awololong adalah kubur para leluhur. Awololong bukan pulau kosong, tapi kubur leluhur. Bencana memisahkan Awololong dan Lewoleba / Lamahora.
Bencana Awololong
Setelah terjadi bencana tenggelamnya Awololong, sebagian penduduk yang selamat dari bencana tsb mencari tempat tinggal dengan cara berlayar. Mereka berlayar menggunakan dua perahu yakni “Tena Tobilolo dan Wato Tena”. Dalam pelarian dengan menggunakan perahu layar tsb ada yang singgah dan menetap di kampung Lamahora kemudian membentuk komunitas dalam bentuk suku antara lain suku Lewoleba, suku Suworongan, suku Lamalerek dll.
Dan sebagian lagi sempat singgah di tanjung “Noni dan Poho”, tapi setibanya ditanjung tsb, mereka tidak mendapatkan tempat yang nyaman, akhirnya mereka kembali berlayar untuk mencari tempat yang nyaman. Tapi saat mereka berlayar, tiba-tiba mereka dihempas gelombang yang ganas dan perahu yang ditumpangi hancur di batu karang. Diantara mereka yang terdampar dan selamat, ada yang bernama “Ata dan Watolite”. Sementara itu sebagian lagi yang selamat dari terpaan badai kemudian mengungsi dan membentuk komunitas dalam bentuk suku-suku antara lain suku Nunang, suku Kolin, suku Tapun, suku Puor, suku Hakeng (Sakeng), suku Mudaj, suku Ladjar, suku Amanuban, suku Karangora di Atadei. Suku Tapoona di Lamalera. Demikian juga rumpun suku-suku di kampung Baolangu, Lewokukung, Lite Ulumado, Nuba Mado di Nubatukan.
“Ata dan Watoile” yang selamat dari gelombang ganas tsb konon menyaksikan kecelakaan rombongan Awolong yang mengungsi ini. Meraka bingung dan ketakutan dan mereka pasra pada kehendak “Lera’ Wulan, Tanah Ekang”. Tidak ada lagi yang bisa dimakan, akhir mereka meninggal dalam keadaan lapar (kelaparan). Ata meninggal dalam keadaan berdiri, kemudian keduanya berubah menjadi batu. Batu yang tingginya mencapai 3 (tiga meter) dan lebarnya sekitar 1 (satu) meter. “Ata Dei” artinya Ata yang lagi berdiri.
Olehnya suku-suku di Atadei dan sekitarnya memiliki hubungan historis dengan Awololong. Suku-suku tsb beranak pinak sampai saat ini, ada dalam bentuk rumpun pemuda, suku dll karena ada ikatan historis dari leluhur mereka. Orang-orang yang disebutkan tsb memiliki rasa yang dalam, mengenang bencana Awololong dan pengembaraan leluhur mereka dalam mencari tempat tinggal. Awololong itu mereka, dan mereka itu Awololong.
Proyek Awololong
Pembangunan Jeti Apung, Kolam Renang dan Fasilitas Lain Awololong menuai protes. Pesan yang ditangkap dari kelompok yang melakukan protes, Pembangunan Jeti Apung, Kolam Renang dan Fasilitas Lain Awololong bukan prioritas. Selain soal kultur/budaya, juga soal keterbelakangan dan keterisolasian yang harusnya menjadi perhatian. Keterisolasian menghambat pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur jalan di Lembata yang rusak berat kurang lebih sekitar 346,90, rusak sedang sekitar 170,70 dan rusak ringan mencapai 102,84 dari total panjang jalan di Kabupaten Lembata kurang lebih sekitar 703,15. Publik menghendaki adanya perbaikan infrastruktur jalan, air bersih dll di Lembata.
Pendapatan perkapita di Kabupaten Lembata tergolong rendah, yakni sekitar kira-kira 2,33. Dari rendahnya pendapatan perkapita menjadi satu indikator bahwa perekonomian rata-rata penduduk Lembata rendah. Salah satu penyebab pendapatan perkapita yang rendah adalah infrstruktur belum memadai. Dengan penggunaan anggaran yang tidak sesuai kebutuhan publik merugikan publik. Publik menginginkan adanya infrastruktur jalan yang baik dan ketersediaan air minum yang memadai sebagai kebutuhan dasar minimal dipenuhi oleh pemerintah.
“Pembangunan Jeti Apung, Kolam Renang dan Fasilitas Lain Awololong” yang dimenangkan PT Bahana Krida Nusantara dengan nilai penawaran Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) dari Pagu Rp 7.033.000.000,00.- (tujuh milyar tiga puluh tiga juta rupiah) yang sampai hari ini tidak berjalan atau belum tampak pembangunan fisiknya dinilai merugikan publik dan keuangan daerah. PT Bahana Krida Nusantara memenangkan lelang dengan mengalahkan 9 (sembilan) perusahaan lain yakni CV Volcano Construction, CV Mercuri, PT Tri Karya Adi Jaya, PT Alor Prima, PT Karya Terang Mulia, CV Ghita Buana, CV Fajar Indah Pratama, PT Aliran Berkat Mandiri, PT Kalimantan Zahra Jaya (lpse.lembatakab.go.id).
Pembangunan Jeti Apung dan Kolam Renang dan Fasilitas Lain Awololong menurut informasi yang berkembang, per 31 Desember 2018 keuangan telah cair sekitar 85% dari nilai kontrak sebesar Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) kepada PT Bahana Krida Nusantara. Tapi posisi per 31 Desember 2018 selain belum ada realisasi fisik dan barang belum tiba/terima di lokasi kegiatan di Pulau Siput Awololong, minimal di Lewoleba. Akibatnya sampai dengan 31 Desember 2018, realisasi keuangan lebih besar daripada realisasi fisik.
Pembayaran Atas Beban APBN/APBD tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima, sesuai Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/jasa Pemerintah. Pasal 53 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), menjelaskan : Ayat (5) Pembayaran dapat dilakukan sebelum prestasi pekerjaan untuk pengadaan barang/jasa yang karena sifatnya dilakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum barang/jasa diterima, setelah Penyedia menyampaikan jaminan atas pembayaran yang akan dilakukan. Ayat (6) Pembayaran dapat dilakukan untuk peralatan dan/atau bahan yang belum terpasang yang menjadi bagian dari hasil pekerjaan yang berada di di lokasi pekerjaan dan telah dicantumkan dalam kontrak.
Pasal 66 ayat (1) PP Nomor; 58 Tahun 2005 menegaskan bahwa “Penerbitan SPM tidak boleh dilakukan sebelum barang dan/atau jasa diterima kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan”. Peraturan perundang-undangan dimaksud mengacu pada UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) mengatakan bahwa Jenis dan hirakis peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD Negera RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa selain jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) peraturan perundang-undangan lain yang termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan, antara lain Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota.
Atas dasar itu, Peraturan Bupati termasuk dalam jenis dan hirarki “peraturan perundang undangan”. Dengan demikian perlu mencari tahu Peraturan Bupati Lembata tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, sesuai frasa “sesuai dengan peraturan peraturan perundang-undangan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (1) PP Nomor; 58 Tahun 2005.
Bupati Lembata telah menetapkan Peraturan Bupati Lembata Nomor; 27 Tahun 2007 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah dan diubah dengan Peraturan Bupati Lembata Nomor; 37 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Bupati Lembata Nomor 27 Tahun 2007 tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Bupati ini belum mengatur Tata Cara Pembayaran atas beban APBD sebelum barang/jasa diterima.
Berdasar Pasal 6 ayat 2 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Kepala Daerah diserahkan kekuasaan oleh Presiden selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah untuk melaksanakan kewenangan Atribusi antara lain “menetapkan kebijakan pelaksanaan APBD”. Atas dasar kewenangan tersebut, Bupati Lembata melakukan Perubahan Peraturan Bupati Lembata Nomor; 37 Tahun 2009 tersebut.
Muatan materi Perubahan Peraturan Bupati Lembata harus menambah Bagian khusus yaitu “TATA CARA PEMBAYARAN PEMBAYARAN ATAS BEBAN APBD SEBELUM BARANG/JASA DITERIMA tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Penegasan ini sesuai ketentuan Pasal 250 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerinhtahan Daerah, yang menyatakan bahwa “Perda dan Perkada dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi…..”.
Peraturan Bupati Lembata Tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah harus berpedoman pada ketentuan Pasal 53 ayat (5), ayat(6) dan ayat (7) Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (6) UU Nomor 1 Tahun 2004, Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.05/2017.
Khusus mengenai kegiatan-kegiatan yang karena sifatnya harus dilakukan pembayaran terlebih dahulu sebelum barang dan/jasa diterima yang akan diatur dalam Perubahan Peraturan Bupati tersebut, hanya mencakup : (a) pemberian uang muka kerja; (b) sewa menyewa; (c) jasa asuransi dan/atau pengambih alih resiko; (d) kontrak penyelenggaraan beasiswa; (e) pekerjaan pemeliharaan; (f) pemasangan atau penambahan daya listrik oleh PLN; dan (g) pengadaan barang/jasa secara elektronik yang dibayarkan dengan uang persediaan (UP).
Oleh karena Pembangunan Jeti Apung Pulau Siput Awololong dan Fasilitas Lainnya tidak termasuk dalam kelompok kegiatan yang karena sifatnya tidak dapat dilakukan pembayaran sebelum barang dan/atau jasa diterima, maka Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018, UU Nomor 1 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.05/2017, serta Peraturan Bupati Lembata Nomor 27 Tahun 2007 jo Peraturan Bupati Lembata Nomor 37 Tahun 2009 serta jika Perubahan Kedua Atas Peraturan Bupati Lembata tentang Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah ditetapkan oleh Bupati Lembata, tidak dapat dijadikan dasar hukum pembayaran atas beban APBD sebelum barang diterima di Lewoleba/di lokasi pembangunan Jeti Apung di Pulau Siput Awololong. Tata cara pembayaran demikian merugikan publik dan keuangan negara, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengalihan Proyek Awololong
Informasi berkembang bahwa paket pekerjaan Jeti Apung di Awololong hendak memindahkan paket kegiatan tersebut ke lokasi yang lain, maka langkah yang perlu ditempuh adalah melakukan perubahan Perda RPJMD, karena Paket Kegiatan Pembangunan Jeti Apung dan Kolam Renang dan Fasilitas Lain di Awololong telah dituangkan dalam Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang RPJMD Kabupaten Lembata 2017-2022 dan Perda APBD Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2019.
Hal ini karena, pemerintah telah menuangkan dalam Perda Nomor 9 Tahun 2017 tentang RPJMD 2017-2022 dan Perda APBD TA.2019, sementara dokumen kontrak telah dilakukan addemdum sumber biaya dan jadwal waktu pelaksanaannya selama 90 (sembilan puluh) hari atau berakhir tanggal 31 Maret 2019. Pertanyaannya: kapan Perubahan Perda RPJMD dan APBD selesai ditetapkan dengan Perda, sementara addemdum waktu pelaksanaan hanya sampai 31 Desember 2019?.
Rencana pemerintah untuk memindahkan lokasi pembangunan Jeti terapung tsb dengan melakukan perubahan Perda RPJMD dan Perda APBD TA 2019 harus dengan persetujuan DPRD. Jika lokasi dipindahkan, maka konsekuensinya adalah semua dokumen terkait paket pekerjaan tersebut baik perencanaan, dokumen kontrak mapun dokumen pembayaran harus dilakukan perubahan, karena paket pekerjaan ini telah dilakukan addemdum waktu pelaksanaannya selama 90 (sembilan puluh) hari atau berakhir tanggal 31 Maret 2019.
Sampai dengan batas waktu addendum kontrak, pekerjaan tersebut juga belum mencapai fisik 100%, hal ini menjadi tanggung jawab pemerintah dan PPK yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran (PA) untuk melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja daerah TA 2018.
Jika hingga tanggal 31 Maret 2019 sesuai adendum Kontrak belum terjadi pembangunan fisik, maka PT Bahana Krida Nusantara harus mengembalikan dana 85% yang telah cair dari nilai Rp 6.892.900.000,- (enam milyar delapan ratus sembilan puluh dua juta sembilan ratus ribu rupiah) dari Pagu Rp 7.033.000.000,00.- (tujuh milyar tiga puluh tiga juta rupiah). Karena dana tsb milik publik, rakyat Lembata.***
R. AMA RAYA, SH.
Mahasiswa Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Janabadra Yogyakarta.