suluhnusa.com – Dalam beberapa pekan belakangan ini ramai dipergunjingkan kasus perzinahan yang berujung kehamilan terhadap Perempuan berinisial JI (23) dengan Kepala Desa Mahal I Kecamatan Omesuri – Lembata berinisial LL.
JI yang saat ini tengah hamil dua bulan adalah isteri syah dari Tahir Ikram Ardiansyah yang selama ini merantau ke Kalimantan. Ketika berada di Kalimantan inilah LL yang juga adalah pria beristeri, mendatangi rumah Tahir Ikram Ardiansyah yang hanya dihuni JI, isterinya bersama Wildan Lington, anak laki-laki mereka yang berusia empat tahun. Hubungan pria dan perempuan yang masing-masing telah memiliki pasangan ini pun terkuak ke khalayak setelah JI hamil.
Sementara itu, Tahir Ikram Ardiansyah, sang suami JI kemudian kembali dari perantauannya di Kalimantan ke desanya, Panama Kecamatan Buyasuri yang berbatasan dengan Desa Mahal I sesaat setelah mendengar khabar kehamilan isterinya, JI. Ia (Tahir Ikram Ardiansyah) bersama Aktivis Perempuan dari Lembaga Bantuan Hukum Komnas PHD HAM Indonesia melaporkan LL ke Polres Lembata tanggal 14 September 2018. Dan saat ini kasusnya sedang ditangani penyidik Polres Lembata.
Pada pokoknya, kasus perselingkuhan atau perzinahan merupakan kasus yang biasa terjadi, hanya saja pelaku, waktu, dan tempat kejadian sajalah yang berbeda. Akan tetapi, dalam kasus perzinahan (demikian delik aduan) yang melibatkan JI dan LL yang adalah Kepala Desa Mahal I yang nota bene adalah orang yang berkuasa di desa, merupakan sebuah kasus yang menarik untuk dikaji. Betapa tidak, daalam perspektif Budaya Kedang, perzinahan yang melibatkan seorang pria yang sudah beristeri (ai ara) dengan seorang Perempuan yang sudah bersuami (binen puhun) merupakan hal yang tabu untuk dilakukan karena memiliki konsekuensi hukuman secara adat yang sangat berat.
Dalam pandangan masyarakat Kedang, apabila seorang pria beristeri berzinah dengan dengan seorang gadis, maka hukumannya akan lebih ringan dibandingkan dengan berzinah dengan perempuan yang sudah bersuami, karena pria tersebut bisa saja memperisteri gadis tersebut. Kalaupun mendapat sanksi adat (denda), sanksi dimaksud akan lebih ringan. Tetapi akan menjadi lain ceritera apabila seorang pria berzinah dengan perempuan yang telah bersuami. Ia akan mendapat sanksi adat yang berat karena telah mengganggu isteri orang (binen puhun).
Dalam perspektif masyarakat Kedang, seorang perempuan yang sudah menyandang status sebagai isteri (binen puhun), pada saat yang sama ia juga menyandang status sebagai weqrian suku leu (isteri untuk suku dari suaminya). Artinya, ia tidak saja mendharma-baktikan dirinya untuk suaminya, tetapi juga untuk suku dan kampung (leu) suaminya. Itulah sebabnya, persoalannya akan menjadi rumit dan bahkan dapat menimbulkan malapetaka berupa pertumpahan darah tatkala seorang pria mengganggu perempuan yang sudah berstatus isteri.
Salah satu alasan mengapa disebut weqrian suku leu adalah karena, sebagaimana di Kedang pada umumnya, sukulah yang membayar belis sang isteri. Pada saat pembicaraan adat perkawinan, yang bertemu adalah tetua suku dari perempuan dan tetua suku dari pria. Artinya, bukan hanya pihak keluarga perempuan dan keluarga pihak pria saja tetapi suku kedua belah pihak. Inilah yang memperkukuh hubungan suami-isteri dari pasangan yang bersangkutan.
Masyarakat Kedang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Dalam peristiwa perzinahan atau perselingkuhan seperti ini seorang perempuan tidak pernah dijatuhi sanksi adat. Menurut pandangan masyarakat Kedang pada umumnya, sejelek-jeleknya seorang perempuan, ia tidak akan pernah lebih dahulu membuka mulutnya kepada seorang pria. Prialah, entah dengan cara halus (berupa bujuk rayu) ataupun kasar (berupa ancaman) yang memulai proses perzinahan atau perselingkuhan ini. Dalam bahasa kiasan mereka, peu ohaq haba mi’i la’u (tak pernah ada mangga yang mencari kelelawar). Demikianlah, dalam adat budaya Kedang, harkat dan martabat perempuan diposisikan begitu tinggi.
Untuk itu, dalam kasus JI yang diduga berzinah dengan LL yang adalah seorang kepala desa, persoalannya membuat miris. Di sini, martabat dan harga diri perempuan yang diagung-agungkan dalam adat budaya Kedang menjadi runtuh seketika. Meskipun secara hukum LL dibenarkan, akan tetapi hal yang demikian sesungguhnya telah mencabik-cabik perasaan kaum perempuan Kedang. Belum lagi, dalam proses penyidikan itu JI dibentak-bentak, ditempatkan di ruangan tertutup, semuanya ini membuat seolah-olah harkat dan martabat kaum perempuan sudah berada di titik nadir. Perempuan Kedang yang suatu ketika sangat dijunjung harkat dan martabatnya, kini pudar sudah.
Tulisan ini diangkat sesungguhnya sekedar menggugah kita, bagaimana jika kasus seperti ini menimpa ibu dan saudari kita. Tentu kita tidak bisa membiarkan persoalan ini menimpa kaum yang dari rahim merekalah kita berasal.***
Nurhayati Kasman
Aktivis Peduli Perempuan
Bagai mana kalau dalam kasus ini ketika keduanya saling menyukai….apakah masih bisa di proses?…
Lembata gemar dgn kasus seperti ini….harus dihentikan.