suluhnusa.com_Sebagai orang yang peduli terhadap masa depan Bali, meskipun kami tinggal jauh di luar negeri, setiap perkembangan yang terjadi di Bali selalu kami ikuti. Akhir-akhir ini, polemik terkait ekspansi industri pariwisata di provinsi pulau kecil ini kembali terjadi dan menyita waktu, energi dan sumberdaya kita bersama.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari politik pembangunan nasional dan daerah yang sedang mengarah pada neoliberalisme melalui model public-private partnership dan kebijakan koridor ekonomi yang diramu menjadi satu dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Bagi lingkungan dan rakyat Bali, politik pembangunan ini adalah sebuah ancaman atas keberlanjutan dan keadilan. Bagaimana tidak? Bali Selatan yang sebernarnya telah jenuh dengan masifnya perkembangan industri pariwisata masih pula dijadikan Kawasan Perhatian Investasi (KPI) dalam MP3EI di mana setidaknya ada 4 investasi pariwisata di kawasan Bali Selatan, yakni Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa oleh PT. TWBI, Pengembangan Resort Wisata Kura-Kura Bali oleh PT. BTID yang merupakan lanjutan dari reklamasi Pulau Serangan yang sempat tertunda, Pengerukan Alur Pelabuhan Benoa, Pembangunan Sarana dan Fasilitas Wisata Bahari Marina dan Yacth Benoa, dan Pengembangan Sarana Prasarana Pariwisata Bali International Park (BIP). MP3EI juga menjadi jalur bypass bagi proyek yang selama ini ditolak oleh masyarakat Bali, yakni Geothermal Bedugul.
Tanpa bermaksud untuk mengesampingkan kekhawatiran kami atas seluruh proyek MP3EI, kami di sini memfokuskan perhatian pada salah satu proyek yang saat ini berpotensi mengakibatkan perpecahan dalam masyarakat Bali. Proyek tersebut adalah pembuatan pulau baru di Teluk Benoa oleh PT. TWBI atau perusahaan sejenis lainnya yang dalam MP3EI namanya disamarkan menjadi ‘Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa’.
Kawasan Teluk Benoa sudah menjadi incaran investor sejak pertengahan tahun 1990an melalui proyek Bali Benoa Marina yang bernafsu ingin membuat pulau baru seluas 269,2 hektar yang merupakan proyek kembar reklamasi Serangan oleh PT. BTID dan sama-sama dimiliki oleh Keluarga Cendana. Meski gagal untuk dilaksanakan karena kejatuhaan Soeharto dan krisis moneter tahun 1998-1999, strategisnya posisi Teluk Benoa yang berada di segi tiga emas pariwisata Bali (Nusa Dua-Kuta- Sanur) membuat Teluk Benoa kembali menjadi incaran banyak perusahaan, salah satunya PT. TWBI.
Berkaitan dengan rencana pembuatan pulau baru di Teluk Benoa ini, kami ingin menyampaikan pendapat kami sebagai berikut: Pertama, pada prinsipnya kami mendukung harapan masyarakat Tanjung Benoa untuk merevitalisasi Pulau Pudut yang saat ini kondisinya semakin terkikis. Namun, kami melihat ada upaya investor untuk membajak harapan masyarakat ini dalam mendorong agenda mengejar keuntungan.
Di sini investor memposisikan diri seolah-olah sebagai dewa penyelamat yang dengan penuh kedermawanan ingin membantu merevitalisasi Pulau Pudut. Namun, kelicikan investor terlihat jelas karena apa yang ditawarkan tidak sebanding dengan resiko yang harus ditanggung masyarakat setempat, yakni revitalisasi Pulau Pudut seluas 8 hektar dengan konsesi dukungan membuat pulau baru 838 hektar. Jika hanya sekedar merevitalisasi Pulau Pudut tentu kita tidak perlu sebuah perusahaan bernama PT. TWBI untuk melakukannya. Banyak dana publik yang seharusnya bisa digunakan untuk itu sehingga tawaran PT. TBWI di Teluk Benoa tidak akan dibutuhkan lagi.
Kedua, pembuatan pulau baru di Teluk Benoa akan berdampak besar bagi lingkungan. Menurut pemodelan yang dilakukan Conservation International (CI), pengurugan laut seluas 838 hektar untuk kawasan wisata terpadu ini akan menyebabkan perubahan arus air yang pada gilirannya akan dapat menyebabkan abrasi dan beberapa wilayah yang secara geografis berposisi rendah tergenang akibat banjir rob. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan Puslit Geoteknologi LIPI 2010, Teluk Benoa memiliki potensi bahaya likuifaksi. Artinya, lapisan tanah pada kawasan ini sangat rentan mengalami perubahan dari padat menjadi cair maupun terjadi amblesan jika terjadi pergeseran lapisan bumi.
Dengan demikian, tentu kawasan ini sangat beresiko jika dibangun infrastruktur pariwisata skala besar dan tinggi. Sebagai perbandingan, proyek pulau Bali Benoa Marina (BBM) seluas 269,2 hektar membutuhkan material sebanyak 24 juta meter kubik, maka untuk pulau baru PT. TWBI dengan luas 838 hektar akan membutuhkan lebih dari 72 juta meter kubik. Pertanyaannya adalah dari mana material itu akan diperoleh dan siapa yang harus menanggung dampak sosial dan lingkungannya. Dengan material sebanyak itu, sebenarnya cukup untuk mereklamasi bekas Galian C Gunaksa yang terlantar dan penuh kubangan hingga setinggi 2 meter dari tinggi semula.
Ketiga, pulau buatan ini akan mengubah jalur distribusi sumber daya alam terutama air. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa Bali diambang krisis air karena menurunnya kualitas dan kuantitas air. Bahkan Kementerian Lingkungan Hidup memperkirakan Bali akan mengalami defisit air hingga 27,6 milliar meter kubik pada 2015. Jalur air bersih yang ada akan diprioritaskan untuk dialirkan ke kawasan Bali Selatan di mana industri pariwisata yang rakus air berlokasi. Sungguh ironis. Di saat banyak masyarakat Bali, misalnya di Kecamatan Kubu, Karangasem, harus berjalan kaki hingga 3 kilometer atau menjual ternak untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, ternyata di pusat industri pariwisata Bali para turis menggunakan air sebagai pemuas kesenangan semata. Bagi kami, ini adalah ketidakadilan.
Keempat, jikalaupun pulau buatan tersebut secara adminsitratif akan menjadi bagian Provinsi Bali, namun yang dapat mengakses dan menikmati pulau tersebut adalah kelompok kecil elit berduit semata. Tentu pulau baru ini akan dibuat se-ekslusif dan se-istimewa untuk memberikan kesan mewah. Kontrol
keluar dan masuk orang dan barang akan didesain secara ketat demi menciptakan kenyamanan bagi para orang kaya yang sedang berlibur dan bersenang-senang. Lagi-lagi kita sebagai masyarakat Bali hanya diminta untuk berbangga diri karena memiliki sebuah pulau mewah nan megah. Sejatinya kebanggaan ini adalah semu semata karena kita sendiri sebagai ‘pemilik’ tidak bisa menikmatinya sebab tidak mampu membayar. Sehingga tidak berlebihan pulau buatan ini disebut sebagai ‘pulau koloni’ yang hanya diperuntukkan bagi orang kaya, dan tinggalah kita tetap sebagai tontonan.
Kelima, konon ketika pulau koloni tersebut beroperasi akan cukup untuk menampung 200,000 tenaga kerja yang baru lulus. Jangan lupa tahun 2015 kita akan memasuki masyarakat ekonomi ASEAN di mana mobilitas modal, jasa dan tenaga kerja akan semakin tinggi. Masyarakat Bali harus bersaing dengan tenaga kerja Thailand yang lebih matang dalam industri pariwisata atau pun dari Singapura, Filipina dan Malaysia yang menguasai bahasa asing yang jauh lebih baik. Dan, pulau buatan tersebut akan menjadi arena kompetisi sumber daya manusia regional. Namun masalahnya, arena ‘tarung’ di tingkat regional
dipersiapkan terlebih dahulu tanpa ada perbaikan sumber daya manusia di tingkat lokal. Alhasil, wajah industri pariwisata hanya akan menyisakan masyarakat lokal yang hanya menjadi tenaga kasar dan tersisih dari kerasnya kompetisi yang tidak adil.
Jadi berdasarkan pandangan di atas, kami dari Sekaa Diaspora Bali, sekelompok individu yang menganggap Bali sebagai tanah air yang saat ini sedang hidup di luar negeri, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak tegas rencana pembangunan pulau buatan untuk kawasan pariwisata terpadu di Teluk Benoa;
2. Menuntut Pemerintah Kabupaten Badung dan Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan revitalisasi atas Pulau Pudut dengan menggunakan anggaran pemerintah;
3. Menuntut Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menghentikan setiap upaya dalam mewujudkan pembangunan pulau buatan di Teluk Benoa;
4. Mendorong masyarakat Bali untuk mengambil posisi kritis terhadap agenda pembangunan Bali yang termuat dalam MP3EI maupun model pembangunan yang tidak adil lainnya.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk disebarluaskan dan ditindaklanjuti. Terima kasih.
Perth, 14-04-2014
Sekaa Diaspora Bali
C/P: Agung Wardana (Fasilitator)
HP. 082147429332/ancakramone@
Inisiator Sekaa Diapora Bali:
1. Agung Wardana, Kandidat PhD di Asia Research Centre (ARC), Murdoch
University, Australia.
2. Anak Agung Gede Mahardika, Mahasiswa Technische Universitat Berlin, Jerman.
3. Rezza Jiwana, Mahasiswa Curtin University, Perth, Australia.
4. Gusti Ayu Fransiska Sri Rahajeng Kusuma Dewi, Kandidat Master in
Environmental Science, State University of New York (SUNY), Syracuse, New. York, Amerika Serikat.
5. Saichu Anwar, Seniman, New South Wales, Australia.
6. Agung Krisna, Mahasiswa Techische Universitat Berlin, Jerman.
7. G. Putu Aryani Willems, Event Organiser, Hannover, Jerman.
8. Ariana Tara Kriegenburg, Mahasiswa Pop Akademi Mannheim, Jerman.
9. Niclas Alit Krigenburg, Editor, Hannover, Jerman.
10. Markus Willems, Guru Musik, Hannover, Jerman.
11. I Putu Widhi Yuda Yadnya, Mahasiswa Justus Liebig Gieβen Universitat,Jerman.
12. Putu Teguh Satria Adi, Anggota STT Jerman.
13. I Kadek Varezha Gary Sanjaya, Mahasiswa University of Applied Sciences Sudwestfalen, Jerman.
14. Ni Nengah Ita Suryani Utami, Mahasiswi University of Lubeck, Jerman.
15. Ni Putu Sri Rahayu Sarah Mindhoff, Mahasiswi University of Bonn, Jerman.
16. Merry Ajeng Putri Dewi, Mahasiswi Cologne University of Applied Sciences,
Jerman.
17. I Gusti Ayu Udiyani Puspaningrum, M.Sc of Construction & Real Estate,
Hochschulte Technik und Wirtschaft Berlin, Jerman.
18. Ayu R. Dewi, Mahasiswi RWTH-Aachen, Jerman.
19. I Made Agus Dwi Ginartha, Kandidat Master, Program Double Degree di Regional and Environmental Science, Ibaraki University, Jepang.
20. Benita Nathania, Kandidat Master, Double Degree Program, Jurusan
30. Environmental Science and Engineering, Yamaguchi University, Jepang.
21. R. Arvan S Adi Pratama S.Sn, Mahasiswa Master of Applied Design and Art, Curtin University, Australia.
22. I Gusti Ngurah Agus Arista Putra, Ketua STT, Perth, Australia.
23. Fidy Waty Kvaich, Anggota STT, Perth, Australia.
24. Ida Bagus Putra Aryana, Anggota STT, Perth, Australia.
25. Ida Ayu Dezira Parahita, Mahasiswa Central TAFE, Australia.
26. Ida Bagus Ngurah Yudiantara, Anggota STT, Perth, Australia.
27. Febryna Ayu Rosalia, Mahasiswi Chalenger TAFE, Australia.
28. I Gede Purnama Putra, Mahasiswa Murdoch University, Australia.
29. I Putu Bagus Andryn Tresna, Mahasiswa Hochschule Esslingen, Jerman.
30. I Gede Agni Krishadinata, Anggota STT, Hamburg, Jerman.
31. I Gusti Agung Eka Semarajaya, Network Engineer di Brennan IT, Australia.
32. Wayan Dania, Seniman, Yunani.