suluhnusa.com – Langit sudah gelap sempurna. Beberapa bintang berpijar kilau. Putri malam belum menampakkan diri. Sementara di bumi, lampu Taman Kota Larantuka tampak remang-remang nyala. Mungkin sudah didesain nyalanya begitu oleh pemiliknya. Agar, memberi kesan suasana romantis bagi para pengunjung.
Rombongan Agupena Flotim yang baru pulang City Tour, usai acara puncak Harlah ke-12 Agupena, berjalan beriringan menuju sebuah kafe di bagian selatan taman kota. Ini Bukan Cafe, namanya. Kafe ini tidak terlalu luas. Mungkin empat kali lima meter ukurannya.
Letak Kafe ini cukup strategis. Berhadapan dengan Selat Gonzalu. Karenanya, pemandangan malam Dermaga Larantuka dengan nyala lampu mercusuar, lampu jalan, dan lampu-lampu kapal, tampak begitu menawan di mata. Juga, nyala lampu-lampu dari rumah warga di Pulau Adonara seberang, terlihat begitu elok. Sementara lautnya begitu teduh dan tenang. Beberapa sampan nelayan dan kapal penyeberang mondar-mandir di atas laut ini.
Di Ini Bukan Cafe, belum ada pengunjung. Tampak lesesahannya masih melompong. Maka, jadilah kami sebagai penguasa di Ini Bukan Cafe malam ini. Adapun rombongan kami terdiri dari Pengurus Agupena Cabang Flotim, beberapa utusan Agupena Wilayah NTT, dua orang utusan Agupena Wilayah Bangka Belitung, seorang utusan Agupena Wilayah Jawa Tengah, dan Ketua Agupena Pusat, Dr. Naijan Lengkong.
Sebenarnya, kafe ini bukan tujuan utama kami. Karena kami bukan ingin minum. Kami ingin makan malam. Sebelumnya, kami sudah memesan nasi di sebuah warung tenda bagian barat. Namun, lantaran tempatnya penuh, kami dipindahkan ke kafe ini. Makanannya nanti diantar dari warung tenda ke kafe. Sedangkan minumannya kami pesan dari kafe ini.
“Silakan pesan minumannya,” suara seorang perempuan pelayan, tiba-tiba mengagetkan saya setelah duduk.
Saya mengangkat wajah menatapnya. “Sepertinya rembulan itu kini sedang bersinar cerah di wajah gadis ini,” puji saya dalam hati saat menatapnya yang agak sedikit menunduk menatap mata saya.
“Oiya, Kakak pesan jeruk angat satu, ya,” suara saya sedikit imut, tetapi bergetar sembari sesekali menatap wajahnya. Dan pembaca bayangkan, dia pun tersenyum…… Duh, manis sekali! Mirip senyuman Raisa oro iso nolak itu loh!
Dia pun berlalu ke dalam dapur dan pandangan saya kembali kepada teman-teman yang ada di hadapan saya. Kebetulan, saya semeja dengan Ketua Agupena Pusat, dan beberapa pengurus Agupena wilayah di luar NTT. Kami pun terlibat omong-omong.
Tidak berapa lama, gadis ABG tadi datang lagi sembari membawa minuman pesanan kami.
“Ini, Om minumannya,” ujar sang gadis sembari meletakkan segelas minuman itu ke meja saya dibumbui sedikit senyuman manis.
Saya tersentak luar biasa. Jengkel sekaligus. Betapa tidak, saya yang masih muda begini disapa dengan Om? What?
“Heh, bawa minuman ini kembali. Saya tidak minum!” kata saya dengan wajah agak jengkel dengan tangan memerintahkannya untuk mengambil minuman itu.
Wajah gadis itu yang sebelumnya bersinar bagai rembulan tiba-tiba gelap dan agak memerah.
“Memangnya kenapa?”
“Kamu panggil saya apa tadi? Panggil Om? Saya ini masih muda. Tampan lagi. Panggil saya Kakak,” ancam saya.
Seketika kafe itu penuh dengan suara gemuruh tawa teman-teman. Mereka sudah hafal betul kebiasaan saya ini. Saya paling tidak suka disapa Om atau Bapak. Maunya disapa Kakak. Apalagi oleh Nona-nona muda seperti pelayan ini.
“Aduh, maaf, Kak. Ini minumannya,” kata gadis itu terbata sembari berbalik dan berlari kecil menuju dapur. Teman-teman belum berhenti tertawa. Pak Naijan sempat tercengang menyaksikan keusilan saya. “Ampun, Pak,” kata saya dalam hati.
Sembari menunggu datangnya makanan pesanan kami, saya meminta pemilik kafe, Bang Ipul, untuk menyiapkan sound system karena kami mau bernyanyi. Beliau pun menyanggupi.
Setelah peralatan musik siap, saya pun bergegas menuju panggung dan menggapai mik.
“Satu lagu dari Leola Draker akan mengawali hiburan kita malam ini. Pramuria!” kata saya dari atas panggung disusul tepuk tangan teman-teman.
Saya pun bernyanyi dengan penuh penghayatan. Saya sengaja menyanyikan lagu ini dengan memberi vibrasi pada bagian akhir lagu. Tujuannya agar terkesan agak jadul. Semi keroncong dan lawas begitu.
Saya mendapatkan saweran apresiasi yang lumayan banyak. Terutama dari Ibu-ibu Pengurus Agupena Wilayah NTT. Saya memaklumi. Karena jenis lagu ini sesuai dengan usia mereka.
Satu dua lagu selesai, saya mendaulat Bang Azam untuk bernyanyi. Beliau juga tidak tahu malu bernyanyi. Bahkan, lagunya keren-keren. Lagunya yang paling keren itu judulnya-Injit-Injit Semut. Maka, jadilah Taman Kota Larantuka malam itu milik Agupena Flotim.
Kala Bang Azam bernyanyi, Ama Maksi dan Ama Amber tiba. Beberapa menit kemudian, disusul kedatangan Kepala Kantor Bahasa NTT, Ibu Valentin beserta dua sahabatnya. Jadilah suasana semakin meriah.
Makanan pun tiba dan kami makan bersama seraya dihiburi lagu Pop Malaysia dari Bang Azam. Suasana terasa sangat romantis. Sebab, Ibu Valentin dan kedua sahabatnya yang juga seumuran beliau, duduk persis berhadapan dengan saya. Terpujilah saya di antara wanita!
Usai makan, saya bergegas menuju panggung dan menyanyi lagi.
“Bapak Ibu semua. Saya akan menyumbangkan sebuah lagu lagi. Lagu ini saya persembahkan buat Kepala Kantor Bahasa NTT, Ibu Valentin. Nah, karena Ibu Valentin ini berdarah Ambon, maka saya akan menyanyikan lagu Palu,” ujar saya disusul gemuruh tawa dan tepuk tangan penonton. Ketua Agupena Pusat, Pak Naijan, bahkan tertawa setengah mati.
Saya menyebut orang-orang yang menonton performa kami dengan sebutan penonton. Karena orang yang menyaksikan penampilan kami ini, bukan lagi hanya teman-teman Agupena. Tapi, sudah bertandang beberapa pelanggan kafe yang mulai memadati arena ini. Tapi, kendali acara masih dipegang oleh Agupena Flotim.
Setelah lagu ini, saya menyanyikan sebuah lagu daerah Ende. Di lagu ini, Abang Azam dan Ama Amber mulai bergoyang. Bang Azam melengkapi performa goyangnya dengan balutan selendang melingkari kepalanya seperti kerudung. Keduanya, berpelukan dan bergoyang dansa. Beberapa teman lainnya, Bang Jonter, Bang Apong juga ikut bergoyang.
Usai itu, saya kembali mendaulat beberapa orang untuk mengisi acara. Saya menyisipkan beberapa joke sederhana untuk menyegarkan performa kami malam itu.
“Baiklah, Bapak Ibu. Kita boleh goyang sampai pagi. Asalkan tetap dalam iman dan taqwa!”
Gerrr!!!
Berhasil. Bapak Naijan tampak tidak bisa menahan tawanya kala mendengarkan joke saya ini.
Selanjutnya, saya mendaulat Bang Zaeni Boli untuk membacakan sebuah puisi. Aktor Nara Teater ini menuju panggung dan membacakan sebuah puisi tentang Papa Novanto. Puisinya bagus sekali. Cara bacanya juga keren sekali. Maka jadilah panggung itu menjadi khusyuk lantaran semua fokus mendengarkan Bang Zaeni membaca puisi. Begitu turun, ia langsung dipanggil oleh Ibu Valentin untuk mendiskusikan sesuatu.
Tak ingin suasana kekhusyukan itu hilang, saya pun mendaulat Bang Ary Toekan untuk membacakan puisi. Bang Apong Hurint saya mintai bernyanyi. Saya sempat meminta Ketua Agupena Pusat, Pak Naijan, untuk bernyanyi tapi beliau menolak. Kae Saverinus, Bang Faizan, Bang Bismi, dan Bang Mardiono juga menolak bernyanyi.
Maka, dengan lantang saya pun mendaulat Ibu Valentin untuk bernyanyi. Beliau pun tampil ke atas panggung dan bernyanyi. Suara merdunya berhasil menghipnotis teman-teman Agupena, terutama yang laki-laki. Bang Azam dan Ama Amber semakin larut dengan dansa dekapan hangat keduanya. Teman-teman lain pun demikian.
Usai beliau bernyanyi dan hendak turun, saya cepat-cepat naik panggung.
“Sabar, Ibu. Ibu berdiri dulu di depan. Saya komentari dulu,” ujar saya menirukan cara para komentator pada ajang pencarian bakat.
“Suara ibu bagus. Vibrasinya oke. Ekspresinya numero uno. Dan, Anda berhasil mendapatkan golden ticket untuk bernyanyi lagi. Silakan, Ibu!” sebuah senyum kemenangan saya ulas usai memberikan mik kepada Ibu Kepala Kantor Bahasa NTT ini.
Beliau pun menerima dan mengatakan anak menyanyikan sebuah lagu Ambon. Gumuruh tepuk tangan dan teriakan penonton semakin menggema. Bang Azam dan Ama Amber kembali berdansa. Kami yang lain pun ikut bergoyang.
“Polo par kita, Sayang. Ciong par kita, Sayang. Ini yang terakhir, torang dua baku dapa. Bukan untuk mo bapisah,” suara merdu Ibu Valentin berhasil melarutkan kami semua dalam kenikmatan yang tak terkira. Setiap beliau menyelesaikan satu bait, pasti mendapatkan tepuk tangan.
Selesai bernyanyi, Ibu Valentin turun. Tak selang lama, kami pun pamit. Saya mengakhiri pertemuan itu dengan ucapan terima kasih dan permohonan maaf. Diiringi sebuah lagu terakhir. Turun dari panggung, saya bersalaman dengan pemilik kafe. Termasuk Nona ABG pelayan tadi.
“Maaf, ya. Tadi saya cuma main gila,” kata saya.
“Tidak apa, Kakak. Saya juga senang,” balasnya dengan seulas senyuman dan tatapan yang mematikan lawan.
Melihat itu, saya hanya bersenandung kecil menyanyikan lagu Ibu Valentin tadi di hadapan ABG itu. “Polo par kita, Sayang. Ciong par kita, Sayang. Ini yang terakhir, torang dua baku dapa. Bukan untuk mo bapisah.”
Dia kembali tersenyum. Sumpah, dia mirip Raisa oro iso nolak.
pion ratulolly