suluhnusa.com – Pada era 1950an hingga 1990an, garam yang diproduksi secara masal di Desa Lamatokan. Lamatokan atau dikenal dengan Tokojaeng itu sejak puluhan tahun lalu menjadi sentra produksi garam lokal.
Penjualan garam di pasar pasar tradisional di Lembata, dikuasai oleh garam Tokojaeng, walau desa ini terletak persis di kaki Gunung Ile Ape, Gunung berapi yang mengandung belerang. Akan tetapi garam yang diproduksi oleh warga Tokojaeng aman untuk dikonsumsi. Tidak perlu cemas apalagi ragu.
Sejak tahun 1950 sampai 1990an garam Tokojaeng masih merajai pasar Desa Hadakewa, Tapulangu dan Waiwuring di Pulau Adonara, sementara garam produksi Warga Desa Watodiri merajai pasar Kota Lewoleba, Pasar Atadei hingga pasar Wulandoni. Kebutuhan garam di pulau Lembata dan pulau Adonara kala itu dikuasai produk garam asal kedua Desa di pesisir Ile Ape itu.
Seperti diceritakan Kepala Desa Lamatokan, Mikael Pureklolon, kepada wartawan saat launching garam Tokojaeng, 17 Maret 2018 di areal pelabuhan Jetti Tokojaeng.
Menurut Mikael, sayangnaya memasuki tahun 2000an, produksi garam lokal di kedua desa tersebut seolah seolah redum. Masayarakat tidak lagi memasak garam secara tradisional.
Dan saat ini, inisiatif Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata, menggandeng LPPM Universitas Widya Mandira Kupang, serta BP3TKI, mulai menemukan kembali jati diri warga desa Lamatokan, Ile Ape dalam Pembudidayan garam.
“Ketika itu, lahan di dua kampung ini gersang. Tidak ada gantungan hidup lain, selain membuat dan menjual garam. Bahkan, kami sekolah sampai bekerjapun karena hasil pembuatan garam ini,” ujar Kepala Desa Lamatokan, Mikael Marine Pureklolon.
Terdesak iklim yang kurang bersahabat kala itu, wargapun menggantungkan hidupnya pada usaha budidaya garam dengan teknologi sederhana.
“Dengan memanfaatkan tanah garam (hamparan gersang tanah, dipenuhi butiran garam) wargapun mulai membuat garam didukung peralatan sederhana. Hasilnya memang garam kasar belum beryodium. Kemudian garam itu dimasukan dalam kemasan daun lontar berbagai ukuran, untuk dipasarkan ke seluruh Lembata hingga Adonara, ” ujar Benediktus Bedil, Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat Lembata (Barakat), warga Desa Lamatokan.
Namun produksi garam di Dua Desa itu lumpuh total seiring serbuan produk garam dari daerah lain di Indonesia. Kala itu garam setempat diterpa isu yang menyebutkan bahwa produksi garam setempat, bercampur belerang dan tidak beryodium. Pasar di Lembatapun mulai dibanjiri produk garam dari luar Lembata pada era tahun 1990 an.
Usaha budidaya garampun mulai gulung tikar. Warga mulai beralih profesi menjadi petani, nelayan dan profesi lain yang lebih menjanjikan.
Kepala Desa Lamatokan, Mikael Pureklolon mengakui, hingga tahun 2014, ada intervensi anggaran dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi NTT untuk produksi garam Lamatokan. 20 ton garam yang diproduksipun tidak bisa dipasarkan sebab diterpa isu belerang dalam kandungan garam setempat.
Dengan menggunakan teknologi terapan yang diajarkan ahli kimia dari Unwira, warga pun mulai memproduksi garam beryodium, meski dengan teknologi yang relatif sederhana, yakni memasak air laut dengan kayu api. Hasil risetpun menjelaskan tidak ada kandungan belerang hasil produksi Desa Lamatokan, sebab telah memuai ketika dimasak.
“Launching hari ini menandakan kembalinya jati diri orang Lamatokan. Saya yakin dan percaya, konsistensi dan kemauan keras warga di desa Lamatokan, Watodiri, Dikesare, Kolontobo, Lamawara, untuk kembali merajai pasar Lokal di Kabupaten Lembata menjadi pemicu untuk siap bersaing dengan produksi garam luar. Teruslah berinovasi. Terimakasih untuk semua warga untuk memulai produktivitas untuk membangun diri dan Kabupaten ini,” ujar Wakil Bupati Lembata, Thomas Ola Langoday itu. Dengan demikian bertambah satulagi desa Tematik di Lembata dengan produk inovasi unggulan desa yakni Desa Lamatokan dengan inovasi unggulan Garam. ***
sultan ali geroda