suluhnusa.com – Terkait kasus MTS di Desa Dikesare, Kecamatan Lebatukan, Lembata, Ahmad Bumi, salah seorang pengacara asal Lembata meminta pemerintah Kabupaten Lembata untuk bertindak arif dan bijaksana.
Sebab, bagi Ahmad Bumi, Pemerintah Lembata mengambil langkah arif dan bijaksana akan jauh lebih terhormat dari pada dibuat malu di meja pengadilan.
Akhmad Bumi, SH ketika dihubungi suluhnusa.com, 20 Maret 2018 menjelaskan sekolah tersebut dibangun atas permintaan masyarakat setempat kepada Yayasan Afro Al Ghafiriyah Lembata yang sudah membuka sekolah di desa Atuq Waq Lupang, kecamatan Buyasuri, kabupaten Lembata belasan tahun lalu. Di desa Dikesare paralel dari Kedang dan sudah memiliki ijin.
Sekolah di Dikesare di bangun di atas tanah hak milik Amir Raya Paliwala sesuai SHM No. 194 dengan luas 20.970 M2. Amir Raya Paliwala melakukan Wakaf atas tanah hak miliknya kepada Yayasan untuk membangun sekolah melalui Ikrar Wakaf. Sekolah di desa Dikesare di buka, di bangun terlebih dahulu di lakukan musyawarah antara pihak Yayasan, Keluarga Besar Suku Paliwala, Pemerintah Desa dan Masyarakat setempat lalu terjadi kesepakatan untuk dibangun, jelas Bumi.
TERKAIT
https://suluhnusa.com/hukum/20180321/kasus-mts-dikesare-wahon-dan-lamabelawa-siap-hadapi-pemda-lembata.html
“Yayasan tersebut dibentuk berdasar Akta Notaris, terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM RI, memiliki NPWP dan ijin domisili. Negara telah mengakui, bukan Yayasan liar. Baik tanah, bangunan dan pendidikan sah menurut hokum,” ungkap Ahmad Bumi, kepada suluhnusa.com, 20 Maret 2018 di Kupang.
Lanjut Bumi, berdasar informasi dan keterangan dari Yayasan yang masuk di kantor Law Firm Akhmad Bumi & Rekan, lokasi tersebut konon masuk dalam pantai yang di beri nama “Pantai Sunur”. Sedang di cek kebenarannya kepada pemerintah dan masyarakat setempat.
Sesuai keterangan pihak Yayasan lanjut Bumi, pihak Yayasan sudah ke Kuma Resort untuk ketemu Bupati Lembata, Eliazer Yentji Sunur.
“Tapi tidak dilayani, tidak mau bertemu, langsung dilarang ajudannya. Hari dan tanggal masih tercatat,” urai Bumi.
Pihak Yayasan mengurus IMB, tapi pemerintah tidak memberikan rekomendasi, alasannya karena ada perintah dari atas melarang untuk tidak memberikan rekomendasi. Ada utusan ke BPN Lembata, meminta pihak BPN untuk membatalkan sertifikat tsb, tapi pihak BPN menolak. BPN menjelaskan, sertifikat adalah dokumen negara, sudah diterbitkn sesuai prosedur, tidak ada yang salah.
BACA JUGA:
https://suluhnusa.com/hukum/20180313/diduga-pemda-lembata-diboncengi-kepentingan-elit.html
Alasan bahwa lokasi tanah tersebut adalah area pariwisata, Bumi pertanyakan sejak kapan pemerintah membebaskan tanah milik warga tersebut menjadi tanah milik Pemda untuk kepentingan pariwisata?
Lokasi tersebut yang di bangun sekolah adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan. Lokasi tsb bukan tanah hak pengelolaan yang dikuasai oleh negara tapi diberikan kepada warga untuk mengelolah.
Bukan juga tanah sisa (bukan tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah kaum, bukan pula tanah kawasan hutan) tapi lokasi itu adalah tanah hak milik, yang telah dilekati hak oleh negara, masa negara mengingkari hak yang telah diberikan dengan logo garuda di depan sertifikat?.
“Sertifikat itu bukti otentik terkuat, tidak sama dengan bukti lain,” tegas Bumi.
IMB bukan bukti hak, jelas Bumi, tapi syarat administrasi membangun, IMB tidak bisa menggugurkan bukti hak. Masuk ribut di area orang saja sudah pidana, apalagi bongkar hak milik orang, terkecuali ada perintah atau putusan pengadilan untuk eksekusi. Mau bongkar dasarnya apa? Pemda tidak perlu bertahan dengan sesuatu yang tidak benar menurut hokum.
“Ya sudahlah, arif dan bijaksana jauh lebih baik, daripada dibuat malu di pengadilan berulang kali. Berkaca pada kasus sebelumnya dan belajar malu pada masyarakat masih jauh lebih terhormat dan bermartabat,” pinta Bumi dengan nada santun. ***
sandro wangak