
JAKARTA – Setelah hampir 30 menit melakukan perjalanan dengan Ojek Online dari tempat kediaman, langkah kaki saya terasa ringan ketika tiba di depan Gereja Katolik Santo Servatius, Paroki Kampung Sawah, Bekasi, Jawa barat. Perjalanan Ziarah ini saya lakukan secara personal dan kali ini merupakan gereja keempat yang saya kunjungi di Tahun Yubelium 2025.
Setiba di Gereja Santo Servatius, saya langsung disambut oleh umat Paroki Kampung Sawah. Mereka tersenyum ramah, tutur kata sopan, dan sangat informatif. Sambutan mereka terasa hangat dan bersahabat, berbeda dengan beberapa geraja yang saya kunjungi sebelumnya. Setelah mengisi buku daftar peziarah Yubelium, mereka mengantar saya ke depan pintu Gereja. Langkah saya terhenti, seraya mempersiapkan diri untuk berdoa sesuai panduan peziarah Yubelium 2025.
Doa-doa terlantun di depan pintu Gereja. Dalam suasana hening dan haru sarat makna dan nilai spiritual saya merenungkan bahwa melaksanakan ziarah Yubelium 2025 ini merupakan sebuah perjalanan iman yang tidak hanya menuntun hati untuk semakin dekat dengan Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi, tetapi juga meneguhkan persaudaraan sesama umat Tuhan serta rasa bangga menjadi pengikut Kristus dan teguh dengan keyakinan Katolik.

Mengenal Singkat Paroki Kampung Sawah
Diberi nama Kampung Sawah karena mulanya dulu disekitar gereja terdapat persawahan masyarakat asli Betawi yang sangat luas. Misi pelayanan dan pimpinan Gereja ini dari Ordo Serikat Yesus yang saat ini ditugaskan kepada Pastor Wartaya SJ, Pastor Wahono SJ, dan Pastor Clay Pareira SJ. Paroki ini memiliki sejarah panjang, yang mana mulai berkembang sejak tahun 1896.
Mulanya pada 06 Oktober 1896, ada 18 orang asli Kampung Sawah dibaptis, peristiwa ini menandai lahirnya Gereja Katolik Betawi di Kampung Sawah. Kemudian terus berkembang hingga tahun 1900 jumlah umat mencapai 78 orang. Pada tahun 1906 Gereja Katolik dilarang oleh Pemerintah Kolonial, ketika itu jumlah umat mencapai 130 orang.
Larangan ini berdampak pada pertumbuhan gereja pun ikut meredup, hingga tahun 1917 jumlah umat tinggal 1 orang saja. Kemudian lanjut ke tahun 1945 zaman Gedoran, yakni Perang Revolusi Kemerdekaan banyak laskar-laskar atau barisan pelopor, di mana gereja dibakar dan terjadi penjarahan. Hingga umat harus mengungsi ke Jakarta. Gereja Kampung Sawah sempat merasakan jatuh bangun dalam perjalanan hidup menggereja. Hingga pada tahun 1949 rekonstruksi gereja dilakukan kembali, dan tahun 1996 dilaksanakan perayaan besar Seratus Tahun Umat Katolik Betawi serta ditandai dengan pemberkatan Gereja Santo Servatius (Sumber : R. Kurris SJ. 1996. Terpencil di Pinggiran Jakarta. Satu Abad Umat Katolik Betawi)
Penuturan dari Bapak Bambang, umat Paroki Kampung Sawah yang bertugas melayani peziarah saat itu, menuturkan bahwa “saat ini umat sudah mencapai 9950 orang, bahkan sebelumnya lebih dari 12 ribu umat. Tapi karena diresmikannya Stasi Kranggan menjadi Paroki ke 69 Keuskupan Agung Jakarta, ikut berdampak pada terbaginya umat Paroki Kampung Sawah menjadi umat Paroki Kranggan.
“Meski dilingkungan asli Betawi, umat Kampung Sawah cukup beragam, yakni berasal dari berbagai suku dan etnis mulai dari Jawa, Sunda, Betawi, Flores, Batak, Manado, juga Cina. Statistik yang tersedia (1996) menunjukkan 37% Jawa, 20% Betawi, 18% NTT, 10% Batak, dan sisanya dari Tionghoa, Sunda, Maluku dan beberapa suku lainnya”, terangnya.
Berada di tengah masyarakat yang kaya budaya dan tradisi lokal. Tempat ini menjadi saksi perjumpaan lintas tradisi dan keyakinan, yaitu Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Selain itu juga disebut sebagai jalur Segi Tiga Emas karena posisinya berada dalam satu deret di jalan Raya Kampung Sawah, yaitu Gereja Katolik Santo Servatius, Gereja Kristen Pasundan (GKP) Jemaat Kampung Sawah, dan Masjid Agung Al Jauhar Yasfi.
Tentu perjumpaan ini menambah nilai keunikan dari Gereja Paroki Kampung Sawah. Hal yang biasa terdengar suara dentangan lonceng penanda waktu berdoa Angelus berbarengan dengan seruan sholat menggema dari Masjid jelang magrib. Pembauran itu sangat terasa sebagai warga negara yang Bhinneka Tunggal Ika. Pikiran hemat saya menjawab, ini lah yang menjadi dasar alasan mengapa di pelataran halaman depan sebelah kanan Gereja dibangun patung Garuda Pancasila, sebab mereka terlahir dan hidup berkembang ditengah keberangaman suku, etnis, dan keyaninan. Mereka menjunjung tinggi dan merawat keberagaman itu sendiri dan hadirnya patung Garuda di pelataran Gereja adalah satu simbol yang terus mengingatkan mereka akan jati dirinya sebagai NKRI.

Pengalaman Ziarah Yubelium 2025 Di Paroki Kampung Sawah
Saat memasuki halaman gereja, saya merasakan aura teduh yang seakan menyambut setiap peziarah untuk berhenti sejenak, berdoa, dan merefleksikan perjalanan hidup serta menjadi saksi perjalanan iman umat Tuhan di Kampung Sawah. Dalam iman, saya memaknai ziarah itu sebagai salah satu praktik baik umat beragama dan memiliki nilai penting. Sebab kita melakukan perjalanan ke tempat suci yang dapat membawa transformasi pribadi dan setelah kita kembali ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Lanjut pada konsep lainnya adalah juga dapat merujuk pengalaman perjalanan hidup kita di dunia yang dianggap sebagai periode pengasingan atau perjalanan batin seorang pencari spiritual dari keadaan sengsara menuju keadaan bahagia yang kekal.
Ziarah Yubelium ini membawa saya dalam rangkaian doa, misa, serta perenungan batin yang mendalam. Di setiap sudut gereja, ada cerita dan simbol iman serta nilai-nilai spiritual yang sangat tinggi. Mengingatkan akan kebesaran dan cinta Tuhan yang tak terbatas. Perjumpaan dengan umat setempat dan umat dari Paroki Garut, Jawa Barat semakin menghangatkan hati, di mana ada keramahan, saling berbagi pengalaman spiritual, doa bersama, dan rasa persaudaraan yang kental.
Ada pun rangkaian kegiatan yang saya lakukan dalam perjalanan ziarah ini adalah pertama berdoa di pelataran pintu gereja; berdoa di ambang pintu masuk gereja dan menandai diri dengan air suci; berdoa di depan Altar; berdoa di depan Patung Bunda Maria sesuai doa Tahun Yubelium yang telah disusun oleh Bapa Paus Fransiskus. Selain itu saya juga berdoa di depan Patung St. Servatius dan 2 peti Relikuarium yang berada di dalam gereja.
Berdoa dan mengenal sejarah St. Servatius serta melihat langsung Relikui St. Servatius merupakan momen langka. Saya merasa mendapatkan kesempatan yang istimewa dari Tuhan. Sebab di paroki lain yang di Keuskupan Agung Jakarta Relikui ini tidak ada. Perjalanan ziarah ini memberikan saya, pengalaman spiritual yang luar biasa. Saya menjadi merasa sangat layak menjadi pengikut Kristus dan semakin dikuatkan hidup tumbuh dalam iman Katolik.
Menurut Pak Bambang yang juga merupakan penduduk asli Kampung Sawah, salah satu keturunan dari 18 orang yang dibaptis tahun 1896, kepada para peziarah menuturkan bahwa “yang paling menarik dan sangat sakral adalah terdapat 2 peti Relikuarium di dalam Gereja. 2 peti Relikuarium ini datang beberapa waktu setelah Relikui St. Servatius diterima oleh umat Paroki Kampung Sawah. Relikui ini merupakan kelas satu, yakni berupa tulang St. Servatius yang seorang misionaris dari Armenia, Asia Barat kemudian menjadi Uskup Tongeren, Belgia. Penyerahan dan penerimaan Relikui St. Servatius ini merupakan berkat yang diterima oleh umat Paroki Kampung Sawah atas faktor kedekatan dengan Basilika Saint Servast di kota Maastrich, Belanda sebuah Gereja yang dibangun di lokasi makam St. Servatius. Pengantaran dan penyerahan Relikui St. Servatius dilakukan oleh Uskup dan 2 Imam dari Maastrich pada 30 September 1996. Kemudiaan diikuti dengan penerimaan 2 Relikuarium berisi puluhan Relikui.
“Penyerahan Relikui ini bukan semata-mata sebuah seremoni, tetapi merupakan peristiwa iman yang besar bagi umat Paroki Kampung Sawah”, turur Bambang.
Gereja ini kini menjadi tempat penahtaan tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada atau melalui para KudusNya – sebuah sarana rohani yang harus dihormati – dan untuk selalu mengingatkan umat akan besarnya Kuasa dan Kasih Allah. Bahkan beberapa orang memberikan kesaksian baik lisan juga melalui pesan WhatsApp bahwa penyakit yang dideritanya atau oleh keluarganya, seperti telinga, tulang dan lainnya sembuh setelah mereka berdoa di Gereja St. Servatius, khususnya setelah melakukan devosi kepada St. Servatius di depan Relikui St. Servatius yang ada di dalam gereja, tambah Bambang.
Patung St. Servatius (tengah) dan 2 peti Relikuarium (kiri dan kanan)
Sumber: Dok. Pribadi 2025
Bagi saya, ziarah ke Gereja St. Servatius Paroki Kampung Sawah adalah perjalanan batin yang mengajarkan bahwa harapan selalu hidup, meskipun di tengah derasnya tantangan. Di sana, saya belajar bahwa menjadi peziarah berarti terus berjalan bersama Tuhan, menyalakan harapan, dan membagikannya kepada orang lain.
Ziarah Yubelium 2025 ini meninggalkan jejak mendalam dalam hati saya karena bukan sekadar perjalanan fisik ke sebuah gereja bersejarah, tetapi sebuah perjalanan iman yang membarui hidup. Semoga semakin banyak umat yang berani melangkah sebagai peziarah harapan, membawa cahaya kasih Tuhan ke mana pun mereka pergi. (My journey LERS)
















