Drama Larung, Seni Tradisi Melawan Ancaman Revitalisasi

suluhnusa.com – Aula SMAN 2 Bantul, Jogjakarta, masih ramai. Padahal catatan waktu di android sudah tertulis 21.02 WIB. Di tengah aula berkerumun gadis – gadis berhijab mengangkat tongkat bambu ke atas sambil berjalan memutar.

Bambu itu adalah pengganti properti sesungguhnya, gunungan. Akting yang dimainkan puluhan gadis itu adalah adegan pembuka latihan drama modern berjudul Larung karya Jumarudin, seorang guru di SMAN 2 Bantul. Naskah ini disutradarai oleh Purwadi Ponco Admojo, alumni jurusan seni teater, Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Negeri Jogjakarta (Sekarang Sekolah Menengah Kejuaruan Negeri 1 Kasihan, Bantul).

Larung bercerita tentang tradisi turun temurun yang masih mengakar di Jawa, khususnya Jawa Tengah. Lakon ini merupakan gambaran eksistensi budaya dan seni tradisi di tengah kemajuan jaman. Drama ini akan dipentaskan pada Festival Teater Bantul 8 Desember 2018.

Rutinitas latihan sangat menentukan keberhasilan sebuah pementasan teater. Butuh waktu yang tidak singkat untuk memadukan dialog, akting, serta ilustrasi musik dalam pementasan drama modern. Tiga bulan adalah rentang waktu yang singkat buat latihan sampai manggung.

Pemain Larung rata – rata bukan seniman teater terkenal atau punya kemampuan dasar formal drama modern. Mereka gabungan dari pelajar, warga serta sedikit pelaku seni. Tantangan besar itulah yang harus diurai oleh Purwadi Ponco Admojo sebagai sutradara agar tetap menampilkan sebuah pertunjukan yang menarik dan enak ditonton.

“Sebagian pemain berasal dari Kecamatan Pleret. Ada juga yang pelajar SMAN 2 Bantul. Tantangan terberatnya adalah soal menentukan jadwal latihan karena banyak pemain yang masih pelajar,” aku sutradara berambut gondrong.

Untuk mengintepretasikan naskah drama yang digarap, Purwadi, harus berdiskusi dengan sang penulis. Tujuannya untuk mendalami seting dan arah cerita agar mengena seperti yang dimaksud pembuat naskah.

“Kebetulan saya dekat dengan Pak Jumarudin sehingga mudah dalam komunikasi. Dan Larung itukan naskah drama modern bermuatan konten lokal Jawa. Jadi tidak susah untuk mengintepretasikannya,” ujar Purwadi.

Jogjakarta bisa dibilang jantungnya seni teater. Banyak nama – nama besar yang berawal dari Kota Gudeg. Sebut saja Butet Kartarajasa, MH Ainun Najib, WS Rendra, Jemek Permadi, serta masih banyak lagi. Tapi perkembangan seni teater disini tetaplah berat.

Jumarudin pun mengakui ada pergeseran arah dalam berkesenian. Para pelaku drama tidak lagi idealis sebagai seniman teater. Saat ini bermain drama lebih mengarah sebagai hiburan bukan penghidupan.

“Teater sulit untuk dijadikan sandaran ekonomi. Maka tidak heran jika banyak pelaku seni drama yang mengurangi eksistensinya. Mereka lebih fokus pada pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Sementara manggung semata – mata untuk hiburan. Menghibur orang dan dirinya sendiri agar tidak penat dengan rutinitas pekerjaan,” jelas lulusan Fakultas Sastra Universitas Negeri Yogyakarta yang telah banyak menulis naskah drama.

Bantul sebagai salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Jogjakarta berupaya mempertahankan perkembangan seni teater. Festival Teater Bantul merupakan jawaban atas kegelisahan itu dan menjadikannya agenda tahunan.

Pementasan itu diikuti oleh perwakilan kelompok – kelompok seni teater tingkat kecamatan. Grup seni ini dalam pengembangannya didampingi oleh seorang pendamping yang berasal dari pelaku seni dibawah monitoring Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul. ***

Subahrodin yusuf

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *