suluhnusa.com – Saat ini di dunia, tercatat sebanyak lebih dari 700 juta perempuan menikah ketika mereka belum menginjak 18 tahun. Sedangkan di Indonesia, BPS dan UNICEF yang menggunakan data Susenas 2008-2012 dan Sensus Penduduk 2010, mencatat sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap tahunnya. Peningkatan terjadi pada perempuan usia antara 15 hingga 18 tahun.
Perkawinan usia anak kini menjadi masalah serius. Di Lembata Data YAP menunjukkan sebanyak 26 persen anak usia sekolah menikah di usia anak. Tingginya angka perkawinan usia anak di Lembata tentunya tak lepas dari faktor kurangnya pemahaman masyarakat terhadap dampak negatif yang bisa ditimbulkan. Selain kurangnya pemahaman, Kawin di usia anak juga merupakan seolah telah menjadi tradisi.
Hal ini menjadi sorotan dalam rapat pembahasan Bupati dan Wakil Bupati Lembata Sehari yang digelar Plan International Program Area Lembata, di aula kantor Bupati Lembata, 27 September 2017.
Siti Alawiah, remaja perempuan yang terpilih menjadi Bupati Lembata Sehari, dihadapan delapan OKP Setda Lembata membeberkan peningkatan angka perkawinan usia anak juga disebabkan oleh pergaulan bebas yang berkaitan dengan maraknya perilaku seks beresiko di kalangan remaja. Hal ini seringkali membuat para orangtua terpaksa menikahkan putera-puterinya di usianya yang masih muda.
Perkawinan usia anak ini akan berpengaruh pada angka kelahiran di bawah 18 tahun. Dari perspektif pendidikan, perkawinan usia anak dapat menghalangi anak untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Mereka tidak memiliki kesempatan kedua untuk kembali sekolah dan mengenyam pendidikan. Hanya sedikit dari mereka yang meneruskan pendidikannya. Masa remaja anak yang menyenangkan pun tidak bisa dinikmati sebagaimana mestinya. Tentu bukan hal mudah jika di usianya yang muda, seorang anak harus mengurus sebuah keluarga dan bertindak sebagai orangtua bagi anak-anaknya.
Erlina Dangu, Deputi Field Sponsorship Manager Plan International Indonesia Program Implementasi Area Lembata mengungkapkan di Lembata, isu ini pun sudah seharusnya menjadi perhatian bersama, mengingat tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak dan angka putus sekolah yang cukup signifikan. Kedua hal ini merupakan beberapa factor pemicu adanya perkawinan usia anak, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat.
“Pernikahan usia anak mesti menjadi isu bersama agar bisa mewujudkan Lembata Kabupaten Layak Anak di tahun 2019 mendatang,” ungkap Dangu.
Diharapkan fenomena usaha mencegah pernikahan usia anak menjadi pekerjaan bersama antara pemerintah Kabupaten Lembata dan semua pihak.
Lebih jauh Erlina Dangu menjelaskan, Plan ketika masih menjadi NGO international masih berhati hati membicarakan isu ini. Akan tetapi saat ini Plan sudah berubah menjadi Yayasan Plan Indonesia sehingga berhak membicarakan soal isu ini.
“Kami plan fokus di perlindungan hak anak khususnya anak perempuan. Dan pernikahan usia anak menjadi isu central tahun 2017, visi kami adalah memperjuangkan sebuah dunia yang adil dan beradab bagi anak, khusus anak perempuan,” ungkap Dangu.
Dunia anak perempuan yang adil bagi Plan adalah Anak perempuan harus bisa belajar, anak perempuan berhak memimpin, berhak memutuskan, dan berhak berkembamg sesuai dengan bakat dan potensi yang dimiliki.
“Bila Anak perempuan menikah pada usia anak, akan menghambat empat proses ini,” tegas Erlina Dangu.
Untuk itu Plan International Program area Lembata pada tahun 2017, fokus pada isu pencegahan pernikahan usia anak sebagai baguan dari perayaan hari anak perempuan international dengan tema penghapusan pernikahan usia anak.
“Kami berharap dengan kegiatan ini semua kita membangun persepsi bersama, dan melakukan gerakan bersama rencana tindak lanjut, bekerja sama dengan semua stake holder, advokasi bersama dengan pemerintah agar ada program khusus untuk anak dan kaum muda berikut kebijakan anggaran untuk anak dan remaja menuju Lembata sebagai Kabupaten Layak Anak tahun 2019,” harap Dangu.
[sandrowangak]