suluhnusa.com_Kesukaannya memulas bibir dengan gincu berwarna pucat. Bila ada yang bertanya, dia akan berkata bahwa ada makna yang tersembunyi di balik gincu yang berwarna pucat itu. Alasan itu selalu ia ucapkan kepada siapa saja yang memandangnya dengan penuh keheranan.
Seiring berjalannya waktu, gincu yang dipulas di bibirnya terlihat semakin memucat, lambat laun bila ia memulasnya lebih tebal lagi, gincu itu akan pecah-pecah di bibirnya hingga menyerupai tanah yang retak. Tapi ia tidak peduli, ia terus memakainya.
Begitulah selalu, hingga kota di mana ia tinggal telah mahfum akan penampilan perempuan yang satu ini. Ia berpostur tinggi, kurus, rambut disemir coklat keemasan, gemar memakai memakai perona mata berwarna biru dan alis mata yang dikerok lalu dihias dengan lukisan berbentuk garis tipis melengkung, tegas dan nyata mirip bulan sabit.
Semua memang sengaja ia lakukan, agar segala yang asli yang ada di wajahnya tertutup oleh topeng hasil riasan tangannya yang kurus dan berjari tipis itu. Secara keseluruhan penampilannya memang seronok, namun orang-orang yang tinggal di kotanya sudah tahu kalau ia memang senang berpenampilan seperti itu. Mirip penampilan seorang pemain teater saat sedang manggung.
Ada yang menduga semua itu demi menutupi masa lalunya yang hitam penuh debu. Tapi seberapa tebal debu itu, tak seorang pun tahu. Ia hanya menerawang jauh bila ada orang yang menanyakan tentang kisahnya. Apa pedulimu? Katanya dengan wajah tak ramah.
“Kisahku tak ada yang istimewa. Aku bukan siapa-siapa, bukan pejabat korup yang bisanya menerima beberapa persen dari proyek-proyek yang ia tandatangani. Aku juga bukan selebriti dengan penghargaan atau award yang penuh pesona. Aku adalah aku, diriku sendirilah yang tahu siapa aku.” Katanya dengan kalimat-kalimat berputar yang membuat siapa pun yang mendengarnya akan menyangka ia sudah tak waras.
Panggilannya Um. Aku tahu nama panjangnya, aku tahu segalanya tentang dia, tapi ia melarang aku untuk mengatakannya pada siapa pun. Jika dua huruf itu diucapkan, maka ia akan menoleh. Menatap curiga si pemanggil, menghampirinya lalu dengan wajah tak senang ia meneliti orang yang memanggil itu dan bertanya, “siapa kamu? Mengapa panggil-panggil namaku?”
Akulah satu-satunya orang yang sedikit diberinya senyum ramah, bila ia kupanggil, tapi itu pun jarang. Sama seperti aku, Um tahu siapa aku, ia kenal sekali segalanya tentang aku. Namun semisterius dirinya, seperti itu juga hubungan yang terbina di antara kami. Ia tak pernah bertanya dan tak pernah pula ingin tahu mengapa aku juga menghilang dari kota yang penuh kenangan itu, kota di mana kami tumbuh bersama. Dan kota yang menyimpan kerumitan tentang hubungan kami.
“Itu urusanku. Kau mau pergi kemana pun aku tak mau pusing. Masalahku juga sudah banyak dan kau jangan sekali-sekali mencariku lagi. Kau tak cocok untukku. Di dunia ini masih banyak perempuan cantik yang butuh lelaki!” ucapnya selalu jika kukatakan mengapa ia selalu menghindariku.
***
Lima belas tahun Um menghilang dari kotaku. Tatkala kembali, perempuan yang sesungguhnya berwajah cantik blasteran Belanda-Depok ini, datang menyuguhkan penampilan aneh dengan gincu yang selalu berwarna pucat itu. Entah, apa yang dilakukan Um selama lima belas tahun dengan kepergiannya. Aku tidak pernah bisa mengorek kisah dari bibirnya, pun kedua orangtuanya, karena mereka sudah lama tiada.
Ketika ia kembali ke kota kami, wajah Um memang tidak secantik dahulu, tatkala ia remaja. Di wajahnya terdapat beberapa luka yang mulai menghitam, kulitnya mengering, hidung tirus menajam, bola mata cekung sehingga warna biru bening yang dulu selalu kukagumi, seolah tertutup oleh kabut putih tipis yang transparan.
Selebihnya, kerutan-kerutan tajam mulai terlihat di setiap sudut wajahnya. Seharusnya dia memang tidak boleh setua ini. Ditambah tubuh yang tipis karena terlalu kurus, Um terlihat semakin tak menarik, ia mirip tengkorak hidup yang rapuh tanpa daya. Kulitnya tidak lagi bersinar seperti dahulu. Um memang benar-benar telah berbeda. “Kau pasti tidak percaya bila melihat wujudku yang sekarang, kan? Aku pun tidak. Maka bila kau tetap bingung, tutuplah matamu, lalu kenanglah kisah kita yang pernah terjalin di beberapa masa yang telah usai!” ujarnya puitis.
Um yang datang kembali ke kota telah berubah menjadi sosok yang aneh, beberapa orang yang melihatnya menganggap ia sakit jiwa. Ia kerap duduk mematung di tengah pusat kota, tepat pukul dua belas siang, membacakan puisi-puisi ciptaannya dengan gaya acuh tak acuh, wajah dingin tanpa ekspresi dan lipstick tebal berwarna pucat.
Selepas senja, ia kembali ke rumahnya, rumah lama yang dulu ditempati ayah dan ibunya. Di sana, konon menurut cerita para tetangga, Um membersihkan rumahnya, menyapu halaman menanam sayuran, buah dan bunga-bunga, rumah itu kembali terlihat asri dan elok dipandang.
Aku ingin kesana, ke rumah yang dulu pernah akrab denganku. Namun sebelum niatku terlaksana, Um dengan garangnya besrkata, “jangan pernah kau menginjakkan kakimu ke rumahku, aku tak suka ada aroma laki-laki di sana!” bentaknya kasar.
Itulah mengapa aku hanya bisa memandang Um lamat-lamat dari kejauhan. Aku hanya bisa mendengar suaranya yang lantang tatkala ia membacakan puisi-puisinya, kalimat-kalimat yang ada dalam puisi ciptaannya sudah terstruktur, suara dan ritme yang ia ucapkan merdu dan penuh gelora, puisinya terdengar semakin dalam dan matang.
Aku serasa kembali ke masa silam, ke masa saat kami aktif di kelompok teater dan sastra di kotaku. Um selalu jadi bintang, ia disukai banyak lelaki. Wajah indonya yang cantik, kepandaiannya membaca puisi dan berteater, membuat ia bak bunga yang dikitari banyak kumbang. Um selalu kukenang di hati. Wajahnya yang elok menetap dalam di relung sabubariku. Aku hanya bisa menyimpannya rapat-rapat. Cintaku yang menggunung pun hanya menjadi kelebatan cahaya yang menghilang di balik senja, menghilang sebelum Um mengetahuinya.
“Jika kau setenar Jiwo aku mau denganmu!” itu katanya suatu hari. Jiwo adalah penyair tenar di kotaku. Dan tak mungkin aku bisa setenar dia. Tak mungkin.
Um! Kusebut nama itu berkali-kali. Aku menatapnya terus, wajahnya yang keriput sebelum waktunya, terus kupandang. Lalu aku terkenang waktu yang telah lewat puluhan tahun silam. Di belakang gedung kesenian kota, di tengah rimbunan alang-alang, di payungi langit hitam dan sedikit tebaran bintang, aku tak kuasa lagi menghentikan rasa yang bergejolak. Um tergolek lemah dengan isak di dadaku. Ia menampar pipiku berkali-kali. “Kau tak sehebat Jiwo, aku menyintainya, kau tahu itu!”
***
Suasana pementasan teater yang sedang dipertunjukkan seketika terhenti. Teriakan lantang terdengar di mana-mana. “Tolong ada perempuan mati bunuh diri, tolooong!” teriakan itu bergema di seluruh gedung kesenian kota.
Di tengah rerimbunan rumput alang-alang, di tengah gemuruhnya halilintar yang datang tiba-tiba, di tengah suara riuh permintaan minta tolong, Um tergeletak dengan selangkangan penuh darah. Ia tidak mati, namun hanya pingsan akibat terlalu banyak mengeluarkan darah.
Tubuhnya yang molek, putih dan jenjang, diangkat beramai-ramai. Setelah itu, Um benar-benar menghilang. Ada yang bergosip, ia hamil dan berusaha menggugurkan kandungannya di kebun belakang gedung kesenian kota malam itu. Siapa lelaki yang menghamilinya? Tak ada yang mau mengaku.
***
Puisi yang dibaca Um kini beralih judul. Kali ini ia berhasil melihat kehadiranku. “Hei pengecut!” teriaknya. “Kemari kau, jangan bersembunyi dan menanapku dari kejauhan, kalau kau suka dengan puisiku ini, mari duduklah di hadapanku!”
Aku ragu-ragu. Teriakannya kembali bergema. Kemudian dengan langkah cemas aku berjalan ke arahnya. Um tersenyum padaku, sebuah senyum yang kurasa bukan dari biasanya. Senyum yang dulu pernah kulihat, dan bibirnya ya bibirnya tidak lagi memakai lipstick berwarna pucat, bibir itu pernah kukecup berkali-kali, rias wajahnya juga seperti dulu. Ia kembali menjadi Um yang sederhana, yang polos, yang cantik seperti yang kukenal.
“Um, benarkah ini kau?” tanyaku penuh getar rindu.
Um Memutar tubuhnya, tulang-tulang di setiap siku tangan dan bahunya menonjol jelas. Ia menatapku tajam. Kemudian tangannya meraih jemariku, “mari, berpuisilah denganku. Di sana di dasar hati yang terdalam, ada kejujuran yang tercipta. Kaulah satu-satunya kejujuran itu. Kaulah yang seharusnya menerima hati yang lama terluka ini!” katanya.
Kemudian Um jatuh tak berdaya di pelukanku. Matanya terkatup rapat, bulu matanya yang lentik menggumpal oleh air mata yang mendekam di sana. Jemarinya yang kurus menyatu, wajahnya seolah menengadah ke langit, bertanya di mana cinta sejati itu. Aku memeluknya.
Di keremangan petang, kulihat seorang gadis remaja datang menghampiri kami. Ia cantik, berkulit putih, tinggi semampai dan bermata indah. “Dia putrimu,” kata Um sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Bibirnya kembali merah dadu, tidak pucat seperti gincu yang selalu dikenakannya. Barisan larik puisi tak lagi terdengar dari bibirnya. Umlenzky Diah Permata! Nama itu tetap terpatri di sudut hatiku.
Oleh : Fanny J.Poyk