suluhnusa.com_Sesungguhnya partai politik didirikan untuk menjembatani kepentingan rakyat dengan penguasa. Akan tetapi tugas mulia partai ini seperti jauh panggang dari api. Lacurnya, kepentingan rakyat terkadang ditunggangi elit partai dalam menggapai kekuasaan demi pundi-pundi partai. Imbasnya, rakyatpun tak lagi percaya dengan partai.
Janganlah heran bila partai politik yang lebih berorientasi pada upaya memenangi pemilu dan alpa terhadap tugas mulianya sebagai media perjuangan rakyat menjebak partai pada praktik kartelisasi politik. Kondisi ini semakin menjauhkan parpol dari rakyat. Kemandirian partai selayaknya menjadi keharusan untuk menjaga kualitas jalannya demokrasi.
Parpol adalah pilar penting dalam membangun demokrasi. Sayangnya, citra institusi ini kian buruk di mata publik. Citra partai negative, karena banyak elit partai yang berkarakter pragmatis daripada idealis, berkarakter egois dibandingkan mementingkan kesejahteraan rakyat (altruis).
Gede Ngurah Wididana, Ketua DPD Partai Hati Nurani Rakyat Provinsi Bali, dalam perbincangan dengan suluhnusa.com, di Renon, 18 Oktober 2012 menjelaskan, sistem multi partai yang saat ini diterapkan di Indonesia memberi andil dalam keegoisan Partai Politik sekaligus menghalalkan praktek pargmatis partai.
“Sistem multi partai yang saat ini diterapkan cukup memberi andil dalam pembentukan partai politik yang berkarakter pragmatis,” ungkap Wididana yang akrab disapa Pak Oles ini.
Selain sistem multi partai, faktor lain adalah tidak adanya krearivitas kader dan pengurus Partai. Biaya politik yang tinggi juga menyebabkan partai politik berperilaku pragmatis.”Bahkan tidak dapat dipungkiri karteliasai politik untuk kepentingan punddi-pundi partai dengan mengabaikan kepentingan rakyat saat ini sudah menjadi fenomena,” tegas Pak Oles.
Dan tidaklah heran bila banyak partai yang melanggengkan pundi-pundi paartainya dengan berjuang mendapatkan kekuasaannya dan menempatkan banyak kadernya menjadi perwakilan rakyat. itu tadi hanya untuk memberikan pundi-pundi untuk partai dari potongan presentase gaji bulanan.
“Memang ada aturan paartaai demikian. Sebegai bentuk ucapan terimakasih kepada partai politik yang mengusungnya, anggota DPRD diwajibkan rela dipotong gajinya untuk partai. Ini salah satu sumber pundi-pundi partai,” ungkapnya.
Imbasnya dalah anggota DPRD lalu berperilaku pragmatis agar bisa memberikan sumbangan terhadap partainya. Pandangan negatif ini tidak lepas dari ketidakpuasan publik pada kinerja parpol.
Tidak heran memang, bila kehadiran parpol di tengah publik hanya dirasakan saat pemilu dan kontestasi politik, seperti pemilihan presiden dan kepala daerah. Kekuasaan yang diraih pun berujung pada orientasi partai untuk meraup pundi-pundi ekonomi. Hal ini karena tidak ada partai yang benar-benar mandiri dalam pembiayaan partainya. Semua partai menebalkan kantong pundi-pundinya dari kantong Para Kader dan sumbangan Negara.
Praktek ini berlaku secara nasional. Tidak lepas dari banyaknya praktik penyalahgunaan anggaran negara oleh parpol melalui jaringan kekuasaan, baik di tingkat eksekutif maupun di legislatif. Ada kecenderungan dana bantuan sosial (bansos) meningkat tajam menjelang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).
Maraknya partai politik mengeruk uang Negara misalnya, kasus mafia anggaran di Badan Anggaran DPR serta praktik makelar proyek seperti disinyalir terjadi pada kasus suap di Kementerian Pemuda dan Olahraga dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah potret bagaimana partai mengeruk anggaran negara demi kepentingan politik mereka. Fenomena maraknya parpol merampas uang negara adalah gejala dari politik kartel atau pragmatis.
Situasi ini akibat kegagalan partai mengelola manajemen anggarannya secara mandiri. Kondisi ini membawa parpol lebih mendekat ke pengusasa dan menjauh dari masyarakat. Akibatnya, parpol terlena dan banyak menggantungkan diri pada anggaran negara.
Harapan agar partai politik bisa mandiri dari sisi keuangan belumlah terwujud karena pendanaan partai melalui iuran anggota dan menghimpun bantuan perorangan atau perusahaan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik belum optimal. Partai masih lebih banyak menggantungkan diri pada anggaran negara.
Dan Pak Oles dalam tuturannya ketika hendak menutup perbincangan dengan Suluh Bali menegaskan dirinya dalam mengelolah manajemen partai Hanura selalu mengandalkan sumber daya kader yang kreatif, mandiri dan organik. “Hal ini saya lakukan agar Hanura lebih mandiri dalam hal anggaran agar citra partai Hanura tak tercoreng manajemen pundi-pundi Partai,”tutur Pak Oles yang bercita-cita mencipta kerja-kerja politik oleh kader yang berkualitas dan lebih berorientasi pada kepentingan rakyat melalui panggung demokrasi yang lebih berkualitas.(sandro Wangak)
inilah politisi indonesia..terkadanmg prgamatis
Kalau tidak menghalalkan segara cara, bukan politik namanya..