SULUH NUSA, LARANTUKA – Halal tidak selalu identik dengan Muslim. Orang Korea, Thailand, Vietnam, banyak yang mencari makanan halal. Halal bukan hanya berarti tidak mengandung yang diharamkan, tetapi juga sehat, bersih dan higienis.
Akhir-akhir ini muncul riuh ramai respon masyarakat di media sosial terkait penggantian gambar label halal. Label halal yang baru ini akan digunakan Kemenag dalam hal ini BPJPH untuk menggantikan label halal MUI yang sebelumnya telah digunakan bertahun-tahun. Bahkan banyak pelaku usaha kecil menengah yang memproduksi makanan dan minuman belum familiar dengan label halal yang baru.
Oktavianus Bali Adonara, (34) salah satu pelaku usaha kecil menengah di Pulau Adonara, Flores Timur NTT pun merasa cemas dengan produk makanan dan minuman miliknya. Kecemasan ini Oktavianus ini beralasan sebab setelah ia berusaha sekian tahun menghadirkan produk Kripik Singkog (Kissing) dan Jagung Titi Honihama dengan nama Ambali dibawah naungan Managemen Si A’O, ia ingin produknya bisa diterima semua konsumen.
“Saya mau melebarkan sayap. Dan ingin produk ini ada label halal. Memang prosedurnya tidak sulit tapi syaratnya terkait syariat islam membuat saya sedikit pesimis produk saya mendapat label halal, “tutur Oktavianus.
Rasa pesimis Oktavianus ini disebabkan karena ia lahir dan hidup juga produknya berada ditengah tengah masyarakat yang beragama Katolik. Ada rasa pesimis.
Oktavianus yang tergabung dalam PODKOP Arisan Ilmu, Sahabat UKM Flores Timur ini mengaku senang, karena mendapat kesempatan untuk mengikuti Bimtek Sertifikasi Halal kerja sama Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Majelis Ulama Indonesia tahun 2022.
Sertifikat halal pada sebuah produk sudah menjadi suatu keharusan. Sebab, nantinya masyarakat akan semakin selektif dan enggan mengkonsumsi produk yang tak mempunyai sertifikat halal. Berarti produk yang tak punyai label halal lama kelamaan akan ditinggalkan.
Sekarang ini juga muncul fenomena, banyak produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan industri besar yang mencantumkan label halal, akan tetapi tak memperoleh sertifikat halal. Padahal prosedur yang berlaku dalam pemberian izin label halal ialah berdasarkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) lewat keputusan komisi fatwa MUI. Artinya ada banyak produsen atau pelaku usaha yang tidak mengurus sertifikat halal tapi mereka mencetak label halal sendiri untuk kemasan produknya.
Sebenarnya pengetahuan masyarakat akan makanan, minuman, obat atau produk lainnya yang berkaitan dengan halal cukup tinggi. Namun kesadaran untuk memverifikasi produk yang terjamin kehalalannya masih rendah. Makanya masih banyak produk-produk yang belum terjamin kehalalannya sebab tak adanya sertifikat halalnya.
Dikutip dari World Halal MUI, Mencantumkan label halal dengan sertifikat halal itu sendiri ialah untuk meningkatkan pangsa pasar dan jumlah penjualan serta kepercayaan konsumen. Selain itu, sertifikat halal juga dapat memenuhi tuntutan, memberi kepuasan kepada konsumen. Meningkatkan kualitas produk, memenuhi minat dan kenyamanan kepada konsumen terutama konsumen muslim.
Sebelum mendapatkan sertifikat halal dan diperbolehkannya pencantuman label halal, pelaku usaha/ produsen harus terlebih dahulu menjalani sertifikasi. Sertifikasi itu sendiri merupakan suatu kegiatan pengujian secara sistematik untuk mengetahui apakah suatu produk yang diproduksi pelaku usaha/ perusahaan produsen sudah memenuhi ketentuan halal atau tidak.
Nyatanya, perkembangan yang lahir dari ‘rahim’ teknologi pengolahan, pengemasan dan pemasaran produk barang dan/atau jasa dewasa ini menyebabkan sistem sertifikasi halal mutlak diperlukan. Tanpa sertifikat dan label (tanda) konsumen sulit mengenali bahan baku, komposisi dan proses yang dilalui oleh produk tersebut. Namun demikian, perlu digaris bawahi bahwa sertifikat halal melalui label halal hanya satu bagian saja dari sistem pengawasan produk secara keseluruhan. Label hanya sekadar informasi yang diberikan untuk pemasaran dan bukan termasuk ke dalam proses produksi.
Menurut Oktavianus, hasil dari kegiatan sertifikasi ini adalah terbitnya sertifikat halal yang menandakan bahwa produk tersebut telah memenuhi kaidah kehalalan. Output dari terbitnya sertifikat halal adalah dicantumkannya label halal di produk yang di produksi dalam bentuk kemasan.
Pemberian sertifikat halal melalui label dan iklan pangan pada produk pangan UMKM/ industri ialah sumber informasi bagi konsumen tentang suatu produk pangan karena konsumen tak dapat langsung bertemu dengan pelaku usahanya atau dapur pembuatannya. Namun dapat juga digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi konsumen untuk menentukan pilihan dan melakukan perbandingan pangan dengan produk pangan lain dari segi komposisi, berat bersih, harga dan lain-lain sebelum membeli dan menjatuhkan pilihan.
Sesungguhnya dasar penerapan sertifikat halal beserta label halal merupakan pengejawantahan dalam pemenuhan hak konsumen untuk mendapatkan produk yang dipilihnya.
“Namun sayang sekali kami mengalami kendala dalam memenuhi salah satu syarat yaitu harus ada penyelia halal dengan syarat; Beragama Islam, memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan, memiliki sertifikat penyelia halal (mengikuti pelatihan), dan memantau setiap kali proses produksi dilakukan, “Tutur Oktavianus Pria Katolik yang masih lajang ini.
Pria yang juga pendiri pondok baca Nubun Puhun ini menjelaskan berada di tengah kampung dengan mayoritas warga beragama Katolik, tentu sulit mendapatkan satu orang sahabat beragama Islam yang memenuhi syarat untuk menjadi penyelia halal bagi kami, agar mendapat sertifikasi halal. Mungkin belum rezeki. Produk Kissing Ambali dan Jagung Titi Honihama diproduksi di Desa Tuwagoetobi, Kecamatan Witihama, Flores Timur NTT.
“Dengan tidak adanya penyelia halal di rumah produksi Si A’O, bukan berarti produk kami haram bagi sahabat sekalian yang beragama Islam. Dari Nenek turun ke mama kecil saya yang juga beragama Islam, kami jadi cukup tahu bagaimana membuat produk yang halal bagi teman-teman yang beragama Islam. Tidak hanya bahan baku namun juga alat dan bahan yang kami gunakan selama proses produksi, menjadi perhatian penting. Bagaimana membersihkan dan di mana alat alat itu sebaiknya diletakan, agar tidak dijangkau oleh hewan yang haram bagi sesama kita yang beragama Islam, ” Kisah Oktavianus.
Hal ini dengan sadar dilakukan sejak awal produksi hingga hari ini sebab, Oktavianus tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Walau di Flores timur Katolik jadi Mayoritas, Dia ingin Produksi Si A’O dinikmati oleh semua orang. Karena itu kehalalan hasil produksi adalah utama dan wajib selama proses produksi berjalan.
Untuk memenuhi salah satu syarat tersebut dirinya meminta keluarganya yang beragama Islam menjadi penyelia dalam proses produksi produk Kissing dan Jagung Titi.
“Mudah mudahaan diwaktu yang akan datang, sertifikasi halal boleh dilakukan di rumah produksi kami, Si A’O Honihama.
Terima kasih sahabat dan keluarga Islam yang telah menggandeng tangan kami dengan membeli produk yang kami bikin. Halal buat mu adalah kebanggan kami di dapur produksi, ” Harap Oktavianus. +++kristina/sandrowangak