suluhnusa.com – Hari ini segenap masyarakat Banjar Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Kabupaten Karangasem, Bali mengadakan ritual menyambut yang disebut ngaturang pemendak kepada Sang Hyang Giri Tohlangkir atau manifestasi Ida Sang Hyang Widhi yang beristana di puncak Gunung Agung .
Hal ini mengingatkan kembali sejarah letusan Gunung Agung tahun 1963 dimana saat itu ada satu desa yang tidak mau mengungsi dan bertahan di di pura desa setempat menghaturkan penyambutan bagi Ida Betara Sang Hyang Giri Tohlangkir yang saat itu akan meletus.
Segenap warga laki laki di desa tersebut menolak untuk mengungsi ke desa lain. Karenanya yang mengungsi saat itu hanya kaum perempuan dari desa tersebut. Sampai Gunung Agung meletus mereka tidak beranjak dari Pura Desa sambil membunyikan gamelan. Sehingga mayat mayatnya pun ditemukan dalam posisi duduk. Sungguh sebuah kepercayaan, keikhlasan dan penyerahan diri yang luar biasa kepada Tuhan Yang Maha Esa . Sebuah totalitas dari kepercayaan terhadap yang memberi hidup.
Dan di masa sekarang, seperti dilansir dari nowupdate @denpasarnow pada hari ini Senin 27 November 2017 saat lahar pertama turun dari Gunung Agung warga Banjar Geriana Kauh melakukan upacara penyambutan kepada Sang Hyang Giri Tohlangkir yang bermakna penghormatan kepada beliau yang disebut dengan ngaturang pemendak.
Ngaturang pemendak bisa dianalogikan demikian. Ketika seorang pemimpin atau yang kita hormati melintas didaerah kita disanalah kita menyambut pemimpin tersebut dengan sukacita. Dalam hal ini adalah Gunung Agung yang disucikan oleh umat Hindu dan dianggap sebagai ibu dari semesta.
Perlu diketahui konsep gunung pada masyarakat Hindu memiliki makna suci , dijadikan sebagai hulu atau kiblat dalam berbagai persembahan kepada Tuhan. Sehingga Gunung juga bisa disebut sebagai ibu alam semesta.
Sungguh luar biasa sebab di tengah gempuran arus teknologi dan globalisasi seperti sekarang, ketika pemerintah menghimbau untuk segera mengungsi , menyelamatkan harta benda dan nyawa sebab status Gunung Agung sudah pada level IV Awas , warga Banjar Geriana Kauh masih tetap melakukan tradisi tersebut.
Tradisi tetap menjadi tradisi apapun yang terjadi. Sebuah keunikan yang membuat decak kagum. Bagaimana tidak, ketika orang lain ketar ketir bahkan mengungsi secepatnya mereka masih sempat untuk melakukan upacara penyambutan.
“Memargi .. memargi alon alon , dumogi rahayu jagate sami”
Kurang lebih terjemahannya demikian “berjalan.. berjalanlah dengan pelan, semoga selamat alam semesta ini “
Yang terpenting makna dari ritual ini sebagai penyerahan diri kepada kuasa Tuhan . Alam semesta dan isinya adalah kuasa Tuhan . Beliau yang menciptakan, yang memelihara juga melebur semua ciptaannya.
Di sisi lain saya melihat Bali yang benar benar selalu ajeg menjaga budaya dan umumnya teguh pada agama leluhur . Di tengah gempuran arus modernisasi dan globalisasi dimana Bali menjadi tujuan wisata dari mancanegara , Bali tetap denggan dirinya sendiri.
Banyak pertanyaan tentang bagaimana orang Bali menjaga tradisi hingga tetap lestari. Buat saya hal ini tak lepas dari hakekat pelaksanaan budaya Bali yang terkait erat dengan agama. Sehingga ketika kepercayaan (baca:agama) tidak tergoyahkan oleh arus luar yang begitu deras, maka budaya Bali akan tetap lestari.
Konsep yang mendasar dari kehidupan orang Bali (baca:Hindu) adalah melihat segala sesuatu dalam dua perspektif utama seperti kiri kanan, positif negatif yang disebut rwa bineda.
Orang Bali meyakini rwa bineda yang artinya selalu ada dua sisi yang berbeda di dunia ini, seperti hitam putih, laki laki perempuan , dll. Yang maknanya kebaikan akan berdampingan dengan kejahatan begitupun sebaliknya. Karenanya orang bijak menyebutkan, jangan terlalu senang dan jangan terlalu sedih. Artinya merasakan sesuatu hendaknya biasa saja.
Hal ini jika dikaitkan dengan ritual penyambutan pada letusan pertama Gunung Agung di Banjar Geriana Kauh adalah mereka melihat letusan Gunung Agung dari sisi yang lain. Bagi orang awam ini, adalah bencana tapi tidak demikian dalam kacamata mereka. Lahar adalah anugrah yang akan membuat subur tanah tanah yang dilaluinya sebab mengandung zat hara yang diperlukan tumbuhan. Belum lagi material yang ditumpahkan oleh letusan Gunung Agung akan membawa dampak peningkatan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Material tersebut akan bisa dinikmati bahkan sampai ke generasi generasi selanjutnya.
“ Alam tidak bisa dicegah, magma itu memang saatnya keluar, tapi keluarlah dengan damai ibu”
Salam Rahayu
Luh Dias