SULUH NUSA, ADONARA – Diskusi di bawah payung Bayolewun Talk bertema “Menemukan Kembali Kemurnian Spirit Bailake” telah diselenggarakan pada Selasa, 2 Agustus 2022. Dengan nara sumber Mikael Boro Bebe, Romo Sam Dosinaen, dan Pater Yohanes Kopong Tuan, serta moderator Ande Ola Nama, diskusi berlangsung semarak, dengan pikiran-pikiran bernas, tukar pikiran tentang praktek-praktek di berbagai wilayah Adonara yang inspiratif, dan keragaman pendirian yang menggugah.
Diskusi berusaha menemukan pengertian sesungguhnya (yang murni dan asli) dari Bailake, dengan nilai-nilai dan spirit utama di balik ritus dan wujud-wujud simboliknya, sambil mengidentifikasi praktek-praktek yang dipandang merupakan “modifikasi” dan pengembangan yang berlebihan. Diskusi juga menjaring dan mengenali keberagaman praktek antar wilayah dan pengalaman yang dialami dalam usaha melakukan “pemurnian”, dengan berbagai cerita sukses dan gagalnya. Untuk selanjutnya, Diskusi mempertajam pengenalan pada faktor-faktor yang mengganggu “kemurnian” dan menimbulkan gagalnya kesepakatan di beberapa wilayah, dan merekomendasikan pendirian-pendirian penting dan langkah-langkah yang diperlukan.
1. Pengertian
Bailake didefinisikan dengan bahasa yang berbeda-beda. Akan tetapi, pengertian utamanya sama, yakni sebagaimana sering diungkapkan dalam sambutan-sambutan acara kematian: kayo puken wai matan, dari mana kita berasal. Pukeket (sumber kita). Keluarga pemilik rahim yang menyemaikan kehidupan awal kita.
Karena posisinya yang sangat penting dan mulia tersebut, maka padanya hormat dengan cita rasa tinggi patut diberikan.
2. Nilai dan Spirit Utama di balik Ritus Bailake
Syukur dan hormat adalah nilai (atau spirit) utama di balik ritus Bailake. Dan syukur dan hormat terhadap Bailake, dalam tata nilai dan rasa Lamaholot, menempati tingkatan yang sangat tinggi.
Jika dibuat semacam pemeringkatan (kualifikasi), maka rasa hormat kepada sesama menempati tingkatan rasa hormat standar, sementara hormat kepada Bailake menempati tingkatan rasa hormat melebihi standar (premium), sama atau bahkan terkadang terasa melebihi rasa hormat pada orang tua sendiri. Sementara, tentu saja, rasa hormat terhadap Tuhan adalah segalanya (super premium).
Spirit syukur dan hormat ini tentu harus terus dijaga kemurniannya, agar tidak terkontaminasi oleh spirit gengsi dan materialisme yang (dalam pengalaman) gampang merasuki tata ritus dan wujud kebendaan sebagai ekspresi dari syukur dan hormat tersebut.
3. Keragaman Ritus dan Wujud-Wujud Simbolik
Diskusi merekam keragaman ritus dan wujud-wujud kebendaan yang ditujukan untuk mengekspresikan rasa hormat terhadap Bailake.
Terkait ritus, terdapat pola perbedaan yang relatif sederhana, terutama dalam adat kematian. Di wilayah tertentu, oho hebo adalah ritus utama yang memberikan tempat terhormat pada Bailake. Sementara di wilayah lain, paku peti adalah ritus utamanya.
Terkait wujud-wujud simbolik (berbentuk kewatek, keremot, dan lipa sebagai ungkapan rasa cinta Bailake terhadap bine ana; dan hewan kambing dan babi sebagai ungkapan rasa hormat ana opu terhadap Bailake), ada yang sudah sangat “dimurnikan” seperti di wilayah Kecamatan Ileboleng dan wilayah Kiwang Tapobali; ada yang secara alamiah tetap sederhana, tanpa pengalaman “berlebihan”, sebagaimana terjadi di wilayah Adonara bagian Barat; sementara ada pula wilayah dengan praktek berlebihan seperti Kelubagolit dan Witihama, yang telah berulang kali berusaha melakukan pemurnian tetapi masih mengalami “kegagalan” dalam upaya-upaya tersebut.
4. Sukses Pemurnian
Sukses pemurnian di wilayah Ileboleng, sebagaimana diceritakan oleh Bapak Yulius Beda Peduli, sangat ditentukan oleh beberapa hal:
a. upaya penyadaran bersama terkait dampak sosial ekonomi dari praktek berlebihan terhadap Lewo secara keseluruhan;
b. upaya rekonstruksi tata nilai dan kepercayaan dengan meniadakan mitos-mitos yang tidak perlu;
c. kepemimpinan lewo dan suku yang kuat;
d. contoh yang konsisten dari mereka yang berkedudukan dan mereka yang berkemampuan di desa; dan
e. langkah-langkah penegakan kesepakatan atau peraturan secara tegas dan konsisten.
Tanda-tanda kesuksesan di Desa Pepakgeka juga sangat ditentukan oleh kepemimpinan orang muda yang kuat, yang melakukan pembaruan melalui organisasi Karang Taruna.
Beberapa desa yang sedang berusaha melakukan pemurnian belakangan ini, di tengah kepemimpinan suku dan adat yang tidak terlalu kuat, memulai prosesnya dari inisiatif pemerintah desa, lalu dikonsultasikan dengan pemimpin-pemimpin adat dan suku. Proses itu memberikan tanda-tanda harapan, sekalipun sukses sepenuhnya belum terlihat.
5. Kegagalan Pemurnian
Cerita tentang kegagalan upaya pemurnian di wilayah Kecamatan Kelubagolit dan Kecamatan Witihama sudah relatif diketahui banyak orang dan mewarnai forum Diskusi, sebagaimana disampaikan oleh Bapak Maxi Gute dari Adobala. Setidaknya, upaya-upaya besar itu sudah dilakukan sebanyak 6 (enam) kali, dimulai sejak tahun 1990-an.
Kemajuan sesaat sempat dinikmati, dan dalam beberapa peristiwa kematian, adat Bailake sudah menjadi jauh lebih ringan. Kesuksesan ini kemudian berubah menjadi kegagalan, mana kala orang yang “berkedudukan” di Desa harus mempraktekkan penyimpangan terhadap kesepakatan yang sudah diambil sebelumnya.
Ada beberapa alasan:
a. Penyiasatan untuk melakukan penyimpangan oleh orang yang “berkedudukan” diketahui oleh masyarakat umum dan menciptakan preseden yang buruk;
b. Spontanitas rasa yang berkembang dari pihak Bailake untuk mengungkapkan cintanya dalam cara yang berlebihan;
c. Tekanan bine ana dari pihak ana opu (keluarga berduka) untuk mengambil bagian secara berlebih karena perasaan utang budi terhadap orang yang meninggal;
d. Ada rasa kepantasan dari dua belah pihak, tanpa memperhitungkan konsekuensi pada berkembangnya praktek-praktek balas budi berlebihan yang membebankan keluarga-keluarga sederhana.
6. Keragaman Kemampuan, Solidaritas dan Kerendahan Hati
Wujud-wujud ekspresi rasa hormat dalam jumlah kain kewatek, keremot, dan lipa, serta jumlah hewan (kambing dan babi) yang berlebih mungkin tidak menjadi soal bagi keluarga yang berkemampuan. Dan idealnya, mereka yang berkemampuan boleh mengekspresikan rasa hormat mereka dalam cara yang berlebih, sementara keluarga yang kurang mampu dapat saja mengekspresikan rasa hormat mereka dengan cara yang sederhana.
Akan tetapi, sehubungan dengan adanya semacam “hukum” ikut arus dan perang gengsi yang cenderung muncul dalam masyarakat, maka mereka yang berkemampuan dituntut menunjukkan solidaritas dan sikap rendah hati mereka untuk mengendalikan diri, agar tidak berkembang adanya praktek-praktek memaksa diri yang berujung pada adanya beban berlebih dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat.
Solidaritas dan kerendahan hati adalah pilihan moral yang dapat menyelamatkan kehidupan bersama dari beban sosial yang tidak perlu. Sebab, ungkapan rasa hormat sejatinya tidak perlu ditunjukkan dalam wujud-wujud material yang berlebihan.
7. Memisahkan Hormat dari Gengsi
Kualitas rasa hormat dan rasa kasih sayang tidak ditentukan oleh jumlah wujud kebendaan yang diberikan. Sejauh rasa hormat dan rasa cinta dinyatakan dengan tulus dan sepenuh hati, maka sekecil apapun ungkapannya, itu sudah cukup. Rasa hormat dan rasa cinta yang dinyatakan dalam wujud-wujud material berlebihan dapat mengindikasikan bahwa muatan rasa gengsi sudah diikutsertakan dalam proses pengungkapan rasa hormat dan rasa cinta tersebut. Rasa hormat harus dapat dipisahkan dari rasa gengsi.
8. “Menyempurnakan” Sistem Kepercayaan Seputar Kematian
Wujud-wujud material berlebih sering kali dibenarkan atas dasar sistem kepercayaan tertentu, yang mestinya sudah disempurnakan dengan pemahaman-pemahaman keagamaan yang sudah berkembang. Karena itu, sistem kepercayaan seputar kematian yang diwartakan agama-agama harus makin kuat diwartakan tanpa perlu meniadakan unsur-unsur kepercayaan asli yang masih dapat diterima.
9. Ketegasan Kepemimpinan
Menimbang dampak sosial ekonomi yang serius dari beban adat kematian yang berlebih, dituntut komitmen tinggi dari berbagai lini kepemimpinan di desa, entah pemimpin pemerintahan, pemimpin agama, maupun pemimpin adat. Komitmen itu ditunjukkan dengan upaya serius terus-menerus, walau dihantui oleh kemungkunan kegagalan, untuk terus memperjuangkan upaya oemurnian maupun untuk menjaga agar kesepakatan-kepakatan terkait pemurnian terus dipelihara.
10. Langkah-Langkah Praktis
Beberapa langkah praktis dapat diambil:
a. Pengambilan inisiatif
Inisiatif perlu diambil oleh siapa saja untuk memulai (kembali) upaya “pemurnian”. Tentu akan lebih baik apabila diambil oleh orang yang memiliki posisi kepemimpinan tertentu. Pengambilan inisiatif oleh seseorang atau sekelompok orang, bukan berarti upaya yang dilakukan akan berlangsung eksklusif. Ada baiknya, inisiatif yang diambil akan cepat berkembang menjadi upaya bersama.
b. Penguatan dasar pikiran di balik “pemurnian” adat Bailake
Karena akan berhadapan dengan arus “status-quo” yang melanggengkan praktek berlebihan, sebaiknya proses pengambilan inisiatif ditopang pula dengan usaha-usaha menguatkan kembali dasar pemikira di balik upaya “pemurnian”.
c. Promosi praktek-pratek terbaik
Praktek-praktek terbaik seperti di Ileboleng dan Kiwang Tapobali sudah selayaknya dipromosikan sebagai contoh dan dijadikan dasar argumentasi bahwa upaya “pemurnian” dapat berujung pada cerita sukses tanpa perlu khawatir pada bayangan konsekuensi-konsekuensi yang lebih berdasar pada mitos yang tidak perlu.
d. Komunikasi tanpa kenal lelah
Komunikasi terus-menerus tanpa kenal lelah adalah bagian dari upaya perjuangan. Komunikasi tersebut perlu dilakukan terhadap mereka yang berkedudukan, berpengaruh, dan berpendidikan. Berbagai lini kepemimpinan harus menjadi bagian dari upaya “pemurnian”.
e. Komitmen aneka lapis dan aras kepemimpinan
Komitmen pemimpin di tingkat suku lango, desa, dan kecamatan; serta berbagai aras kepemimpinan (adat, pemerintah, dan agama) adalah kunci sukses. Komitmen mereka harus dapat dipastikan dan dimatangkan.
f. Penataaan Upacara Pemakaman
Upacara pemakaman yang ditata dengan baik dapat membantu mengendalikan keadaan. Upacara adat Bailake (oho hebo) sebaiknya dilakukan terpisah terlebih dahulu dari upacara pemakaman secara keagamaan. Pengecekan kepatuhan (terkait batasan jumlah kain yang dibawa) pada upacara pemakaman seperti dipraktekkan di beberapa desa di Kecamatan Ileboleng juga patut dipertimbangkan.
g. Pelembagaan dalam Peraturan Desa
Penetapan kesepakatan dalam Peraturan Desa atau Peraturan Desa Bersama tentu merupakan cara yang baik dalam memastikan kekuatan hukum dari kesepakatan-kesepakatan yang diambil. Seperti yang dilakukan di Desa Lamawolo, sekalipun praktek pemurnian sudah lama dilakukan dan diterapkan secara konsisten, Desa Lamawolo masih mau memastikan kelestarian kesepakatan-kesepakatan pemurnian melalui penetapan kembali kesepakatan-kesepakatan tersebut dalam Peraturan Desa.
h. Penguatan Kelembagaan Adat/Suku
Kelembagaan adat/suku dengan organisasi dan kepemimpinan yang baik, merupakan kunci dalam pelaksanaan berbagai kearifan berskala lokal desa, termasuk kearifan untuk pemurnian adat Bailake. Karena itu, penguatannya melalui kebijakan-kebijakan di tingkat desa oleh pemerintah desa perlu mendapat perhatian.
i. Penanganan Dampak Pemurnian
Langkah pemurnian tentu memiliki dampak, terutama pada Ina-Ina yang mempunyai mata pencaharian di kegiatan tenun-menenun. Pendampingan dalam pengembangan pasar hasil tenun, dan peningkatan kualitas hasil tenun agar sesuai dengan kebutuhan pasar baru, merupakan bentuk-bentuk penanganan dampak pemurnian yang perlu dilakukan.
11. Maha Karya yang Perlu Terus Dijaga
Ritus Bailake adalah maha karya sistem sosial, yang fungsinya dalam menjaga solidaritas, integrasi, dan kekerabatan tidak diragukan. Jika Lamaholot, dan khususnya Adonara, hari ini masih mengalami iklim kekerabatan yang hangat (dengan tingkat kehangatan yang mungkin jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah dan bagian dunia lain), hal itu tentu tidak lepas dari sumbangsih adat kematian dan adat Bailake, di samping berbagai bentuk seni, budaya, dan adat lain. Karena itu, pemeliharaannya menjadi kewajiban kita bersama sebagai warga suatu kebudayaan (Lamaholot).
Diskusi-diskusi dan berbagai upaya pemurnian tidak ditujukan untuk menghilangkannya. Sebalikya, berbagai upaya perlu dilakukan untuk melestarikannya, dengan cita rasa hormat dan syukur yang tinggi, tanpa perlu dicermari oleh nilai-nilai lain seperti materialisme dan gengsi yang berlebihan.
Bayolewun, 5 Agustus 2022.
Penyelenggara:
Forum Bayolewun
Kamilus Tupen (Ketua)
Valentinus Gowa (Sekretaris)
Nara Sumber:
Mikael Boro Bebe
Romo Sam Dosinaen
Pater Yohanes Kopong Tuan
Moderator:
Ande Ola Nama
Tim Perumus:
Ande Ola Nama
Kamilus Tupen
Valentinus Gowa
Anton Doni Dihen
*****