
suluhnusa.com – Persoalan pelik pembangunan infrastruktur di Kabupaten Lembata sedang mempertontonkan kepada publik Lembata bahkan se-NTT bahwa Lembata seperti memiliki sebuah hipotesis gaya pemimpinnya yang otoriter.
Klaim ini bukan tanpa alasan karena secara kasat mata tanpa melalui sebuah survei ilmiah untuk mendapat data, masyarakat dapat melihat Yantji Sunur (selanjutnya YS) sebagai kepala daerah memiliki gaya kepemimpinan antagonis terhadap masyarakatnya sendiri. Kehadiran YS yang semestinya adalah bagian dari lembaga pemerintahan (eksekutif) menjadi pelindung dan penyelemat nasib ekonomi, sosial, dan budaya masyarakyat Lembata dari kebijakan dan pendidikan politik yang diambilnya, malah menjadikannya sebagai stigma di mata publik Lembata.
Dalam hal ini, masyarakat Lembata mesti mawas daya kritisnya agar tidak terjebak dalam hegemoni kekuasaan sang bupati terhadap beberapa kasus yang belum menemukan benang merahnya, namun terus dipaksakan.
Kasus Reklamasi Pantai Balauring yang hingga saat ini masih belum tuntas mengafirmasi otoriterianisme YS yang menjadi biang keributan masyarakat Lembata karena seperti “maling” yang mengambil hak milik masyarakat dengan mengambil pagu dari APBD 2018 tanpa sebuah dialog bersama DPRD Lembata sebagai perwakilan rakyat untuk menemukan mufakat untuk kemudian tertuang dalam Perubahan APBD 2018 sesuai Permendagri Nomor 13 Tahun 2016 Pasal 160 ayat (5) yang mengatakan bahwa menambah, mengurangi, menggeser objek belanja dan anggaran dapat dilakukan melalui perubahan APBD.
Hemat saya, resistensi berujung perlawanan dari masyarakat Lembata terhadap gaya YS masih terus berlanjut, sebab masih ada kejanggalan-kejanggalan pada proyek pembangunan infrastruktur yang berkedok kesejahteraan rakyat. Ekses ini terlihat dari demonstrasi penolakan dan perlawanan masyarakat terhadap pembangunan resto apung di Pulau Siput Awololong yang diprioritaskan dari pada nasib Jembatan Wai Ma sebagai “Jembatan Ekonomi” masyarakat Nagawutung. Perlawanan ini pula sebagai akulumasi panjang oleh rakyat terhadap YS yang telah memilih menyewa Kuma Resort sebagai pengganti rujab.
Resistensi Rakyat
Tidak dapat dipungkiri bahwa ekonomi masyarakat perlu ditopang dengan pembangunan infrstruktur, seperti jalan (jembatan) yang memadai. Hal ini guna menjaga stabilitas dan kesenjangan harga dan nilai barang di pasar serta meminimalisir para tengkulak yang mempermainkan hasil komoditas masyarakat. Jalan, air, dan listrik akan memudahkan masyarakat kecil berpeluang mengembangkan home industry untuk dipromosikan kepada para pengguna jalan, dalam hal ini adalah para wisatawan. Hemat saya, ketika infrasrtuktur, jalan, air, dan listrik telah memadai akan menjadi atensi wisatawan terhadap potensi alam Lembata, baik topografi, keunikan sumber daya alam, dan budaya lokalnya sambil menjajakan hasil home industri masyarakat.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai praksis menjadi sarana multi-fungsi di tengah upaya Pemda mendongkrak popularitas pariwisata Lembata. Begitu juga akan membuka peluang bagi para pelaku usaha untuk bekerjasama, serentak menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan dan perantauan yang selama ini seringkali menjadi “alasan” TKI ilegal keluar daerah. Namun, seperti yang terjadi di Lembata saat ini, masyarakat yang tergabung dalam FP2L, AMPPERA Kupang, ASTAGA, hingga yang terbaru yakni APPERAL (Pos Kupang, 24/1/2019) menolak dan menggugat beberapa proyek yang dinilai abal-abalan dan bukan menjadi prioritas dan menyentuh kebutuhan masyarakat akar rumput. Penolakan yang semakin masif ini disebabkan kebijakan-kebijakan “unggulan” untuk mengekspolitasi kekayaan alam dan tradisi setempat atau memfasilitasi kebutuhan masyarakat tersurat dalam dokumen-dokumen proyek yang terkesan palsu.
Ketiadaan transparansi Pemda Lembata, baik terhadap masyarakat umum maupun kepada DPRD yang mewakili suara rakyat di parlemen Peten Ina menambah barisan faktor penyebab resistensi massa rakyat akan gaya kepemimpinan YS di pemerintahan kabupaten Lembata. Perihal inilah kerap melahirkan pertanyaan dari publik terhadap proyek-proyek yang tengah dikerjakan di Lembata.
Salah satunya dari adinda Rian Odel dalam opininya Melawan Kepalsuan Pojok Cinta (Flores Pos, 6/1/2019), “reklamasi untuk siapa?”. Pertanyaan ini wajar karena didukung oleh pengakuan ketua DPRD Lembata Ferdinandus Koda. Jauh sebelum pertanyaan tersebut, nirtrasparansi akan pagu proyek Pojok Cinta oleh YS berbuntut gugatan ke meja hijau. Masyarakat adat Dalulolong melaporkan Yanji Sunur dan mulai muncullah pertarungan antara pemilik kedaulatan dan YS di Pengadilan Negeri Lembata.
Hasilnya? Majelis hakim PN Lembata memberi keputusan NO (Niet Ontvankelijkeverlaard) dengan mengabulkan error in persona dari Yanji Sunur yang mempertanyakan legal standing hak ulayat masyarakat adat Dalulolong. Sedangkan proyek “palsu” pemerintah yang digugat oleh masyarakat Dalulolong seakan tidak dikabulkan oleh hakim PN Lembata.
Secara rasional, pembangunan Pojok Cinta yang membuat kaget DPRD Lembata merusak akal sehat kita yang menghendaki penertiban regulasi birokratis di tubuh pemerintahan sebagai modal pertanggungjawaban hukum ke hadapan publik. Namun, yang terjadi sebaliknya sehingga keputusan majelis hakim PN Lembta terhadap kasus tersebut menurut dugaan saya ada perselingkuhan elit yudikatif dan Yance Sunur sebagai eksekutif. Alhasil, hukum yang menjadi panglima tertinggi di negara ini nyatanya masih berkutat pada semboyan “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.
Demikian pula, penolakan terhadap pembangunan resto apung dan pusat kuliner di pulau Siput Awololong sebagai perlawanan terhadap gaya YS mengambil dana APBD 2018 yang masih simpang siur di dalam tubuh parlemen Peten Ina sebagaimana yang diakui oleh seorang aktivis ASTAGA (bdk: https://suluhnusa.com, 24/1/2019).
Panggilan Bertanggungjawab
Berbagai macam strategi dan bentuk perlawanan massa rakyat terhadap gaya kepemimpinan YS dalam mengelolah tampuk pemrintahan kabupaten Lembata adalah sebuah panggilan etis untuk bertanggungjawab yang lahir dari kesadaran terhadap realitas kemiskinannya. Ketika mereka merasa tertipu oleh pemerintah di tanahnya sendiri, panggilan kemanusiaan sebagai responsibilitas keluar dari nurani masing-masing mereka dan bersatu untuk melawan.
Secara etisnya, panggilan bertanggungjawab itu harus datang dari kedua belah pihak, baik masyarakat maupun YS sebagai bupati Lembata yang memiliki legalitas dalam konstitusi untuk mengelolah dan mengeksplorasi kekayaan alam untuk pembangunan daerah.
Pertama, aksi demo oleh berbagai kalangan massa rakyat Lembata tidak hanya dilihat sebagai suatu bentuk penolakan dan menggagalkan kebijakan YS dalam proyek-proyek siluman, namun dilihat sebagai satu bentuk tanggung jawab massa rakyat terhadap generasi yang akan datang dan kelestarian alam pulau Lembata, sehingga menurut saya, ini adalah panggilan dari nurani massa rakyat untuk merespon kejanggalan-kejanggalan dari YS yang terkesan dengan gaya otoritaifnya.
Kedua, panggilan sebagai tanggung jawab oleh YS agar lebih terbuka, transparatif dengan penggunaan keuangan daerah, bekerja sama dengan seluruh elemen masyarakat dengan membangun dialog dan sosialisasi untuk mendapatkan kesepakatan dan pemahaman bersama untuk menciptakan keadilan dan mereduksi gejolak konflik antara Pemda dan massa rakyat yang akan datang.
YS sebagai kepala daerah mesti menanamkan rasa tanggung jawab terhadap realitas kemiskinan di Lembata dan menjadikannnya sebagai panggilan kemanusiaan dengan mengabaikan kepentingan pribadi yaitu panggilan untuk peka terhadap kebutuhan urgen masyarakat, yakni jalan, air, dan listrik yang memadai.
Malang, 25 Januari 2019
Kornelis Kedaman, S.Pd
Orang Kolontobo, Ile Ape –
Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Cabang Malang