suluhnusa.com-Kedaulatan ada di tangan rakyat. Begitu katanya. Persis teori politik mengatakan demikian.
Ceritanya, rakyatlah yang menentukan dan mensyaratkan keberlangsungan sebuah negara. Melalui pajak, rakyat membiayai kehidupan bersama.
Dengan berpolitik, rakyat memilih wakil-wakilnya yang representatif dalam lembaga legislatif. Demikianlah puisi indah kehidupan berdemokrasi.
Lantas melalui penerimaan pajak dan pendapatan lainnya yang sah, negara membiayai para aparatur sipil negara untuk melayani rakyat. Melalui belanja-belanja pembangunan, negara membangun infrastruktur demi kepentingan rakyat.
Semua sarana dan prasarana publik dibiayai untuk kebaikan bersama. Negara mengatur agar semuanya didistribusikan secara adil dan merata. Setiap warga negara berhak menikmati fasilitas publik, sebab setiap warga negara wajib membayar pajak dalam segala variasinya bentuknya kepada negara.
Atas semua itu, kedaulatan diasumsikan sebagai otonomi, legitimasi dan kontrol. Otonomi, karena ada pengakuan dunia internasional akan kemerdekaan suatu negara. Suatu negara harus bebas dari intervensi atau penjajahan negara lain. Karennya pada awal kemerdekaan, Bung Karno berkata: “kita cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Negara pun mengakui kebebasan dan hak asasi warga negaranya.
Legitimasi, karena warga negara memberi kepecayaan kepada pemerintah dan pengambil kebijakan untuk membuat regulasi dan hukum untuk menghatur kehidupan bersama. Setiap warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum (equal before the law).
Melalui regulasi dan hukum, negara menjaga wilayah dan teritori. Batas-batas teritorial negara dijaga (military control) atas nama kedaulatan negara.
Tak boleh sejengkal pun tanah dan air serta langit direbut oleh bangsa-bangsa asing. Bumi, air dan langit dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya demi kepentingan rakyat.
Melalui regulasi dan hukum, negara mengatur dan menata kehidupan bersama warganya. Tujuan penciptaan hukum adalah kebaikan bersama. Negara harus menjamin hak-hak warga negara melalui hukum yang adil. Rule of law lebih diutamakan, bukan rule by law. Sebab, dengan rule by law, seorang pemimpin negara akan cenderung menjadi tiran. Ia memanfaatkan hukum sebagai alat politik untuk kepentingan kekuasaan.
Lebih celaka bila aparat penegak hukum ikut menjadikan hukum sebagai “perkakas politik”.
Seperti makan pisang yang telah dikupas orang lain, aparat penegak hukum berkongsi dengan elite-elite politik tertentu dalam sebuah manuver pragmatisme politik. Perselingkuhan biadab tersebut mencabut nilai-nilai keadilan dan keutamaan hukum.
Tak boleh ada toleransi pada pemanfaatan dan praktik rule by law. Kita ingat penyair Heinrich Heine:
Tersenyum meninggal seorang tiran
Karena tahu, sesudah ia mati
Despotisme hanya berpindah tangan
Dan perbudakan tetap abadi.
Kedaulatan berada di tangan rakyat harus berarti kontrol rakyat terhadap laku negara yang sewenang-wenang, langgam politik yang tiran. Tanpa aktivitas rakyat seperti itu, keadaulatan hanya berhenti sebagai “puisi indah prosa buruk”. Negara bukanlah alat sekelompok elit untuk meraih keuntungan pribadi.
Legitimasi kedaulatan rakyat ada pada kebijakan negara yang mengutamakan kepentingan rakyat. Kekerasan negara (legitimate violence) terhadap negara hanya bisa dimengerti manakala warga negara tersebut melanggar kehendak bersama (Rousseau: la volontée générale) dan melanggar konstitusi dan dasar negara. Negara kita berbentuk republik sebab “setiap negara yang berdasarkan atas hukum adalah republik”.
Rakyat menuntut kehidupan bersama yang baik dan hukum yang adil sebab unsur inti dalam kehidupan bernegara adalah rakyat itu sendiri. Rakyat adalah segenap warga negara; bukan elite tertentu, buku agama tertentu, bukan etnik tertentu, bukan golongan tertentu, bukan suku tertentu. Di negara republik ini, rakyat tidak saja menuntut kemerdekaan, tetapi juga kesejahteraan. itu harus adil dan merata. Itulah makna kedaulatan rakyat.
Borong, 2016
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)